Semua Bab Istri Kesayangan Bos Arogan: Bab 31 - Bab 40

124 Bab

Tidak Ada yang Gratis

“Kenapa kamu tidak meminta Kelvin-mu yang membuatkannya?” sahut Alister di luar dugaan Naomi. “Ke-kenapa—”“Kamu mengatakan Kelvin-mu itu sangat baik. Dia pasti bersedia mengabulkan permintaanmu,” jawab Alister dengan sorot datar. Lebih parah dari penolakan, Alister malah berkata demikian. Naomi mengerutkan keningnya heran. Tak mengerti mengapa Alister mendadak aneh seperti ini. Mungkin ini karena permintaannya terlalu berat. Dirinya pun terlalu naif. Berharap Alister akan mengabulkan permintaan anehnya. Naomi menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum kaku. “Maaf, kalau permintaanku terlalu berat. Tuan bisa melanjutkan istirahat lagi. Lupakan yang aku katakan barusan. Besok pagi aku akan meminta Bibi membuatkannya untukku.”Tak ingin merengek meski ada dorongan untuk melakukan itu, Naomi pun kembali berbaring dengan posisi membelakangi Alister. Ia kecewa, namun tidak mungkin juga memaksakan kehendaknya. Dirinya bukan orang penting yang harus dipenuhi keinginannya. Naomi kemba
Baca selengkapnya

Amara dan Pria Asing

“Ada apa, Kak?” tanya Attar khawatir. Pemuda itu baru menyadari jika Naomi tampak lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu. Naomi hanya menggeleng sembari menutup mulutnya. Wanita itu bergegas bangkit dan berlari ke toilet karena mual yang dirasakannya tak tertahankan. Saat bangun tidur, ia tidak merasa mual atau pusing sama sekali. Dirinya mengira morning sicknessnya tak akan kambuh hari ini. Sebelum berangkat, Naomi juga sudah memakan permen yang katanya dapat mengurangi mual ibu hamil. Namun, sepertinya permen itu tidak berguna. Kalau tahu morning sicknessnya akan kambuh. Ia tidak akan datang di pagi hari seperti ini. Hanya cairan bening yang Naomi muntahkan, seperti biasa. Namun, itu nyaris merampas separuh tenaganya. Ia berpegangan pada dinding toilet. Tak ingin terlihat lemah di depan Attar yang ia tahu sedang memperhatikannya dari pintu toilet. Setelah membaik, Naomi langsung mencuci mulut dan wajahnya. Kemudian, keluar dari toilet dan menyunggingkan senyum kaku. “Maaf
Baca selengkapnya

Apa Alister Tahu?

“Siapa yang bersamanya? Kenapa mereka sangat mesra?” batin Naomi. Ketika kedua insan yang seolah asyik dengan dunia mereka berdua itu bergerak menjauh, Naomi pun mengikuti. Tentu saja dengan jarak aman agar tidak ketahuan. Ia juga berpura-pura memilih beberapa produk sembari memperhatikan mereka dari kejauhan. Naomi yakin sosok wanita yang sedang bergelayut manja dengan pria itu adalah Amara. Ketika sang wanita menoleh ke samping beberapa kali, ia dapat mengenali wajah itu. Namun, tidak dengan sang pria yang menggunakan masker dan topi. Pria itu bukan Alister. Meski lelaki itu juga kerap menggunakan topi dan masker di keramaian, tetapi ia mengenali postur suaminya. Lagipula, Alister sedang menunggunya di mobil, tak mungkin lelaki itu tiba-tiba berada di sini dan malah bersama Amara. “Apa dia itu saudara Nyonya Amara?” Naomi kembali bergumam dalam hati sembari terus membuntuti Amara dan pria misterius itu. Akan tetapi, jika mereka bersaudara, sepertinya tak mungkin semesra itu. Ke
Baca selengkapnya

Wanita Malam

Alister langsung melepas rangkulan di pinggangnya dan itu membuat Naomi ingin kembali menarik kata-katanya. Ia sadar telah salah bicara dan membangunkan macan tidur. Namun, ketika wanita itu hendak mengatur jarak, Alister malah kembali menariknya. “Tempat ini milikku. Tidak ada bedanya aku ingin pulang ke mana,” jawab Alister masih dengan sorot tajam. “Emm ... aku tahu. Tapi, kalau Tuan berada di sini terus, bagaimana dengan Nyonya Amara? Nyonya Amara juga pasti ingin punya waktu lebih banyak bersama Tuan.” Meski takut mendapat amukan, Naomi tetap melanjutkan pembicaraan ini. Sebelah sudut bibir Alister terangkat membentuk senyum sinis. “Kamu tahu apa tentangnya? Kamu yang hamil, anakku lebih membutuhkan keberadaanku.”Alasan itu membuat hati Naomi menghangat. Sayangnya, ia harus menyadarkan diri jika perhatian Alister hanya tertuju pada anak dalam kandungannya. Bukan dirinya. Inilah salah satu alasan Naomi memberanikan untuk membahas persoalan ini. Ia tidak mau terlena akan perhat
Baca selengkapnya

Masih Kecewa

Tangan Naomi nyaris terangkat, namun ia kontan menahannya. Jemarinya mengepal di sisi tubuhnya dan agak gemetar. Kedua netra hazelnya berkaca-kaca Naomi sungguh tak menyangka akan mendapat tuduhan seperti itu dari adiknya sendiri. Tuduhan Attar sangat melukai hatinya. Menusuk dalam dan meninggalkan luka menganga lebar. Sesak dan perih, itu yang dirasakannya sekarang. Namun, Naomi bahkan tak bisa menjelaskan apa pun. Tetapi, apa mungkin dirinya memang pantas mendapat tuduhan demikian? Atau malah lebih parah. Naomi menghela napas pelan, berusaha menetralkan sesak yang kini membelenggu dadanya. Ia tak mau terbawa emosi dan membuat permasalahan semakin runyam. Biar bagaimanapun ini salahnya dan Attar tidak tahu apa-apa. Wajar pemuda itu berpikir macam-macam. “Kenapa kamu bicara begitu?” Naomi bertanya dengan suara yang terdengar parau. “Kamu ... tega menuduh Kakak seperti itu?”Sorot mata Attar masih penuh emosi. Pemuda itu pun mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Ia menoleh pad
Baca selengkapnya

Kakak Hamil?

Naomi terlonjak dengan mata membulat sempurna. Menatap masakan yang susah payah ia buat tadi pagi sembari menahan mual itu, kini berserakan di lantai. Berikut juga dengan piring yang kini telah pecah. Penolakan kasar Attar membuatnya terkejut bukan main dan sedih di saat bersamaan. Naomi pikir, satu hari cukup untuk sedikit meredam amarah Attar. Itulah yang membuatnya semangat datang hari ini, bahkan berencana menginap. Ia ingin memperbaiki hubungan mereka yang kacau. Meski belum bisa menjelaskan. Wanita itu tidak tahan melakukan perang dingin dengan adiknya sendiri. “Pergilah, Kak! Suruh dua perawat itu pergi juga! Aku tidak membutuhkan mereka! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” usir Attar tanpa menatap Naomi. Tak peduli dengan kekacauan yang dibuatnya, pemuda itu hendak langsung beranjak pergi dari sana. Naomi buru-buru menahan kursi roda Attar dan berlutut di depan sang adik dengan sorot penuh permohonan. “Kenapa kamu jadi seperti ini? Apa kamu tidak mau mendengar penjelasan Kak
Baca selengkapnya

Hancur

Wajah Naomi yang sudah pucat kini semakin pucat pasi. Wanita itu spontan menegakkan tubuhnya. Pandangannya yang berkunang-kunang pun seketika membulat sempurna. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat bersamaan dengan keringat dingin yang mulai muncul di pelipisnya. “Ti-tidak. Apa yang kamu bicarakan? Kakak tidak mengerti,” balas Naomi dengan senyum paksa. “Kakak hanya kurang sehat. Jadi, mudah masuk angin. Permisi, Kakak ingin mengambil minyak kayu putih.” Naomi hendak beranjak, namun Attar sengaja menghalanginya. “Masuk angin lagi? Apa sekarang Kakak masuk angin setiap hari? Sejak sebulan lalu, alasan itu yang Kakak pakai,” jawab Attar dingin. Naomi semakin gelagapan. Ia pikir Attar tidak akan seteliti ini karena pemuda itu masih sakit. Dirinya hanya asal beralasan agar tak banyak dicerca pertanyaan dari Attar. Dan sekarang alasan itu menjadi bumerang yang menghantam tepat ke dadanya. “Tubuh Kakak memang kurang fit. Kenapa kamu selalu menuduh Kakak macam-macam? Tolong buang jau
Baca selengkapnya

Mandi Bersama

Naomi menatap Alister dengan sorot kosong dan lesu. Seperti kehilangan separuh hidupnya dan nyatanya memang seperti itu. Setelah ini, hubungannya dengan Attar tidak akan pernah sama lagi. Sekalipun sang adik dapat memaafkannya. Penampilan Naomi saat ini sangat berantakan. Mata merah dan membengkak. Wajah yang memucat juga rambut berantakan. Sama seperti hati dan pikirannya yang porak poranda. Dan mungkin baru akan pulih dalam waktu yang lama. “Ya. Aku akan membantumu. Lagipula dia masih marah. Dia tidak akan mau mendengarkan siapa pun,” ucap Alister sembari menangkup wajah Naomi. Alister telah mengganti pakaian formalnya yang basah oleh air mata Naomi dengan pakaian kasual. Sebab, lelaki itu tidak jadi berangkat bekerja. Meski seharusnya hari ini ia mengecek beberapa restorannya untuk mengecek kinerja bulanan. “Oke,” jawab Naomi lirih dan tak bertenaga. “Kamu belum sarapan, ‘kan? Aku akan mengambilkan sarapanmu,” tutur Alister seraya membimbing Naomi kembali berbaring dan menyeli
Baca selengkapnya

Lebih Baik Aku Mati

Air muka Naomi semakin tegang mendengarnya. Ia panik dan khawatir. Jika tidak ada kedua perawat itu, Attar akan tinggal seorang diri. Kemarin Attar terjatuh dari kursi roda dan didorong oleh Alister juga. Kaki adiknya pasti semakin sakit dan harusnya mendapat perawatan.Naomi yakin adiknya belum mau bertemu dengannya. Apalagi dirawat olehnya. Lagipula Alister juga tidak akan mengizinkannya melakukan itu. Namun, ia tidak bisa membiarkan adiknya sendirian di saat masih membutuhkan perawatan ekstra. “Semalam asistenku menemuinya. Adikmu juga mengatakan tidak mau diterapi lagi,” imbuh Alister lagi yang membuat Naomi semakin sesak napas. Tidak boleh, tidak bisa seperti ini. Keberadaannya di sini adalah demi pengobatan adiknya hingga benar-benar tuntas. Jika Attar tidak mau lagi mendapat perawatan, apa gunanya dirinya berada di sini. Attar bahkan belum bisa menggerakkan kakinya. Pemuda itu masih membutuhkan banyak perawatan. “Aku akan mencari waktu untuk bicara dengan—”“Jangan! Biar aku
Baca selengkapnya

Membungkam dengan Cara Lain

“Kamu bicara apa? Jangan berkata seperti itu!” seru Naomi marah. Naomi tak suka Attar mengatakan itu. Tidak ada yang tahu seberapa takut dan frustasinya ia malam itu. Melihat keadaan satu-satunya orang yang berarti di hidupnya sekarat. Berlumur darah di mana-mana, seolah tak akan bertahan lebih lama. Melihat keadaan Attar yang mengenaskan membuat Naomi hampir sesak napas. Malam itu dirinya seolah kehilangan pijakan. Takut luar biasa membelenggu dadanya. Jika Attar sampai kenapa-kenapa, ia tidak memiliki siapa pun lagi. Dirinya akan benar-benar sendirian selamanya. Itu yang membuatnya nekat mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Namun, dengan mudahnya Attar membicarakan tentang kematian. Setelah semua perjuangan yang ia lakukan. Ia tahu adiknya marah dan kecewa, tetapi tetap tak pantas membahas kematian. [“Kakak pikir aku senang diselamatkan dengan cara seperti itu? Tidak! Tidak sama sekali!”] Suara Attar yang penuh penekanan kembali terdengar dari sebrang sana. [“Di sana Kak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status