Sesak dada Jeta sebab geram. Entah sungguh-sungguh, gertak sambal, atau justru hanya menggoda. Merasa sungguh risih setiap Faqih mengklaim bahwa Jeta adalah calon istrinya. Menggelikan sekali."Jeta …? Kamu masih di sana?" Faqih bertanya heran. Talian dalam selular terasa hening tanpa desih nafas."Tidak, aku tidak di sini," ucap Jeta. Ingin menghibur diri sendiri kali ini."Kamu di mana?" Faqih menyahut cepat di talian."Di belakang kamu, Faqih. Hi … hi … hi …," sahut Jeta. Rasa kesal telah berubah tawa sebab lelucon yang dibuat sendiri."Jeta …! Itu ucapanmu ya. Kupastikan dalam tiga hari ini kamu sudah harus terbang kembali ke sini," tandas Faqih tegas. Rasanya geram sekali sebab dipermainkan, berani-beraninya. "Kenapa kamu tidak tertawa? Sesekali bercandalah, agar kamu tidak tampak setua umurmu, Faqih …," ucap jeta di sela reda tawanya. Mengingat wajah tegang lelaki itu, rasanya terus ingin tertawa. Marah pun hanya seperti itu. Tidak memaki, membentak, apalagi membanting, sangat
Baca selengkapnya