Home / CEO / Dilamar Presdir yang Menyamar / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Dilamar Presdir yang Menyamar: Chapter 31 - Chapter 40

124 Chapters

31. Menemukan Sesuatu

Nawa menelepon Dany. Ia ingin meminjam jaket agar setidaknya bisa pulang tanpa memperlihatkan baju basah yang memperlihatkan lekuk tubuh seperti ini. Dany pun dengan senang hati memberikan jaketnya.“Mas Dan, saya pakai dulu jaketnya, ya. Nanti kan Mas dan tim ngatar saya kembali ke kosan, nah, saya copot dan kembalikan ke Mas lagi jaketnya. Nggak apa nggak saya cuci dulu?” tanya Nawa saat keduanya bersisian keluar kafe hendak pulang.Dany tertawa. “Udah, buat kamu aja. Buat kenang-kenangan. Oh, ya, masalah honormu, barusan sudah saya transfer.” Keduanya berhenti di halaman kafe. Tim Dany sudah ke mobil dulu.“Duh, jadi nggak enak. Kesannya jadi kayak malak. Atau nanti saya paketkan aja jaketnya setelah dicuci?”“Nggak usah, Nawa. Saya masih punya banyak stok jaket di rumah. Dikasih satu ke kamu nggak bikin saya kere kali.”Nawa tertawa.“Hai, Guys. Kali ini gue ada di sebuah kafe yang sedang hits di kota ini. Dan di sini gue ketemu sama konten kreator terkenal. Hai, Dan. Apa kabar?”
Read more

32. Mantra Payah

Nawa mengepalkan tangan. Ia siap menyembur Brama dengan serangan api amarah, tetapi suara ketukan di pintu terdengar dan membuatnya urung.“Bram, ini Mommy. Buka pintunya!”Pintu di ruangan Presdir memang didesain khusus. Jika ada yang berteriak dari dalam ketika pintu tertutup, tidak akan terdengar dari luar. Sementara bagian luar pintu diberi sensor suara hingga suara bisa terdengar dari dalam.Brama pun menekan remote dan pintu pun terbuka. Sementara Nawa memasukkan barang aneh yang tidak seharusnya ada di laci seorang Presdir tersebut ke dalam plastik, dijadikan satu dengan barang yang akan dibuang. Nawa akan mengambilnya lagi saat di luar nanti.“Mom.” Brama bangkit menyambut.Gahayu memeluk sang putra.“Mommy sehat?”“Sehat. Kamu?”“Ya. Mommy sendirian?”Gahayu mengurai pelukan. “Sama seseorang. Mommy mau membuat kejutan untuk kamu. Gimana kerja di sini? Betah?”“Hm. Mommy datang sama siapa? Bimbim?”“Bukan, tapi seseorang yang spesial. Sayang, masuk!”Pintu masih terbuka hingga
Read more

33. Butuh Kamu

“Sir! Apa yang hendak Anda lakukan?” Nawa bergerak mundur ketika Brama sedikit membungkuk di hadapannya.“Menggotongmu, membawa ke rumah sakit.”“No! Jangan berlebihan! Ini nggak parah!” Nawa terus menolak.“Apa kamu dokter sampai tahu ini nggak parah? Nawa, itu tadi kopi panas. Kakimu melepuh!”Nawa mengangkat tangan. “Enggak. Saya cukup memberinya salep pasti sembuh. Dan satu lagi. Di pundak saya, ada nama pesantren, di kepala saya ada doa dan tirakat kiai saya. Jadi, jangan menyentuh saya sembarangan. Saya tidak suka dan saya tidak mau!”Brama berdecak. “Jangan sok bersih. Malam itu–““Jangan diungkit lagi! I-itu saya dalam kondisi yang entah. Kesurupan mungkin.” “Baiklah. Saya tidak akan menyentuhmu. Tapi kita harus tetap ke rumah sakit.”“No, Sir!”“Nawa, jangan keras kepala! Kalau kamu sampai sakit, saya juga yang repot nggak ada yang saya suruh-suruh. Kalau tetap menolak, saya gendong beneran kamu.”“Iya iya. Tapi saya bisa jalan sendiri.”“Oke. Sebentar.” Brama menghubungi Ya
Read more

34. Gencatan Senjata

Nawa terdiam. Harusnya malam ini ia mengamuk karena Brama jelas-jelas sudah membohongi dan membodohinya. Namun, permintaan Brama dengan nada memohon itu seperti dirasa diucapkan dengan tulus. Nawa tidak sampai hati memaki pria itu. “Saya menyamar karena ingin tahu siapa yang tulus dan masih bekerja secara bersih di Sunmond. Beberapa parasit utama sudah saya hempaskan dari kantor. Di sana tinggal yang bersih. Semoga begitu. Tapi ada satu bibit kotor yang suatu saat juga akan saya depak,” ujar Brama. “Siapa? Saya? Ayo depak saya.” Brama menyentil pelan kening Nawa. “Didepak ke pelaminan. Mau?” “Dih, ogah.” Brama tertawa. “Bisnis memang basic saya. Tapi saya lebih suka bisnis yang bekerja secara online, bukan perusahaan nyata dan besar seperti Sunmond. Sebenarnya hanya sedikit yang saya tahu tentang Sunmond, tapi tiap hari selalu saya pelajari. Apalagi ada kamu yang selalu membantu saya. Nawa, saya mohon. Kali ini saya mohon dengan sangat, lupakan perjanjian sebulan kita itu. Batalka
Read more

35. Niatan Frengki

Gahayu terduduk. Ia belum percaya dengan apa yang dikatakan sang putra. “Dia wanita miskin, Bram. Dia nggak sepadan dengan keluarga kita. Kamu yakin memilih dia?" “Tante benar. Wanita yang hanya mengobral kemalangan dan cerita menyedihkan akan menghancurkan tatanan.” Elea ikut mengompori. “Daripada kamu yang mengobral tubuh? Elea, dengar. Sebagai artis terkenal, kamu sebenarnya jauh lebih buruk dari Nawa. Kamu juga mengobral kesedihan dan kemalanganmu lewat akting, lalu dibayar. Bukankah itu lebih buruk? Sedangkan Nawa tidak pernah mengobral air mair matanya di hadapanku. Dia bekerja karena keahlian dan kecerdasan. Dan kalau Mommy ingin tahu sepak terjang kerja Nawa, silakan dicek sendiri di perusahaan. Bahkan Daddy mengakuinya. Dia juga yang membuat Nuklir diterima sangat baik di masyarakat dan penjualannya meroket.” Gahayu menggeleng. “Kalau di lingkungan perusahaan memang sudah kewajiban dia bekerja keras. Dia dibayar untuk itu. Pokoknya Mommy nggak suka kalau kamu sama dia.” Se
Read more

36. Sugar Baby

Selain panti asuhan, Nawa juga membagikan makanan di panti jompo. Nawa dan pihak katering ke panti jompo dulu sebentar, baru ke panti asuhan.Suasana panti asuhan ramai dengan sorak-sorai anak-anak. Di sana, Nawa membaur dengan mereka sambil sesekali ikut bercanda. Sementara acara doa akan dimulai nanti setelah salat Magrib.“Kamu rutin ngadain amal kayak gini, Wa?” tanya Sari.“Enggak juga. Cuma kalau ada rezeki lebih dan punya hajat aja. Rasanya kalau sering berkumpul dengan mereka tuh, aku jadi ngerasa ngaca sama kondisiku dulu, Sar. Nasibku mirip dengan mereka. Cuma aku lebih beruntung karena ibuku meninggal saat aku udah baligh, ada bapak dan kakak lelaki yang menjagaku. Aku jadi banyak bersyukur. Hidupku jauh lebih baik dari mereka. Aku bisa kuliah, bisa kerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi. Bukankah itu nikmat yang sangat mewah? Bagiku, anak yatim piatu sudah seperti saudaraku.”Sari mengangguk. “I pround of you.”“Hih! Aku nggak suka kalimat itu. Karena apa? Kepalaku j
Read more

37. Kepergok Gahayu

“Idih, amit-amit.” Nawa bergidik. Brama hanya terkikik.Keduanya lalu membagikan amplop pada anak yatim piatu tersebut.Setelah Brama dan Nawa memberi uang saku, anak-anak membubarkan diri. Tinggallah Nawa dan Brama yang masih duduk berhadapan, menghabiskan nasi kotak di depannya masing-masing.“Nawa, bilang ke pihak keuangan. Mulai bulan depan, anggarkan dana untuk sedekah. Entah itu ke panti asuhan, panti jompo, menyumbang pembangunan sekolah, masjid, atau langsung terjun ke fakir miskin,” titah Brama setelah keduanya selesai makan.“Udah ada, sih, Sir anggaran untuk itu. Kalau ada bencana alam, perusahaan cepat tanggap membantu.”“Itu beda lagi. Yang ini katakanlah buat zakat perusahaan, membersihkan perusahaan tiap sebulan sekali.”“Oke siap.”“Nggak sia-sia saya ngkuti kamu ke sini. Lihat anak-anak adem di hati. Ya, meskipun ilmu agama saya bisa dibilang sangat minim, tapi saya ingin menjadi lebih baik. Untuk perusahaan juga.”Nawa tersenyum. “Alhamdulillah. Tapi tunggu! Sir tadi
Read more

38. Kriteria

“Mrs.” Nawa spontan melepaskan tangannya dari dasi Brama. Sementara Brama masih memegang ujung hijab Nawa.“Sir, lepas,” gumam Nawa lirih.“Seperti ini, ya, kelakuan bawahan sama bos?” Gahayu mendekat, menatap Nawa tajam.“Mommy, memangnya ada yang salah?”“Bram, kamu itu terlalu memanjakan wanita udik ini sampai-sampai dia ngelunjak. Berani-beraninya pegang dasi kamu!”“Mom, itu aku yang minta. Dasiku sedikit berantakan, jadi aku minta dia benerin. Lagi pula, kami ini kan pasangan kekasih. Jadi apa salahnya? Nawa, lanjutkan.”Gahayu melepas paksa tangan Brama dari kerudung Nawa. “Bram, lepas. Biar Mommy yang benerin dasi kamu.”Brama hanya mengedikkan bahu.“Dan kamu wanita kampungan, keluar dari ruangan ini.”Nawa yang masih menunduk, mengangguk. Ia pun keluar ruangan sambil menggerutu.“Ini aku yang ceroboh atau memang si bos yang tengilnya kebangetan? Niatnya tadi cuma ngasih kopi, habis itu keluar. Makanya pintu nggak kututup sempurna. Eh, malah keciduk nyonya besar. Duh, nasib.”
Read more

39. Target Masuk Perangkap

“Saya berhak untuk tidak menjawab, kan?” Nawa bertanya balik.“Kalau saya memaksa?”Nawa tersenyum masam. “Maaf, saya tetap tidak mau. Seharusnya saya saat ini sudah menikah. Tapi sayang jodoh saya dipanggil lebih dulu. Dan apa Sir tahu apa yang paling membuat saya merasa bersalah?”Brama menggeleng.“Sebelum dia meninggal, saya jujur kalau saya hamil. Ternyata kehamilan saya itu Sir yang atur dan tidak sungguhan. Kadang saya berpikir mungkin kalau saya tidak jujur, Mas Agung masih ada. Saya sebenarnya masih sangat kecewa sama Sir. Tapi saya kembalikan lagi. Bahwa ini semua takdir. Tahu tidaknya Mas Agung, mungkin dia tetap akan pergi.”“Sorry untuk itu. Saya tidak tahu kalau bakal runyam juga masalahnya. Nawa, tidakkah kamu ingin berusaha membuka hati lagi?”“Pertanyaan serupa juga pernah ditanyakan seseorang pada saya. Jawabannya pun sama. Untuk saat ini belum. Sir, apakah ini masih jam kerja? Saya izin bentar mau ambil video di sini. Boleh?” Nawa mengabaikan pertanyaan Brama yang d
Read more

40. Kesal

Beberapa saat setelah jus diminum Nawa, makanan datang dan ditata di atas meja. Wanita itu belum merasakan apa-apa.“Ayo dimakan, Wa,” ujar Frengki.Nawa mengangguk, lalu mulai memakan makanan pesanan Frengki. Keduanya makan sambil sesekali diselingi Frengki yang berbicara banyak hal. Padahal Nawa paling menghindari makan sambil bicara. Wanita itu hanya menimpali dengan anggukan atau gelengan.“Bahkan sekelas Sir Brama aja nggak pernah ngajak aku ngobrol saat makan. Mas Frengki ini kayak nggak tahu adab saat makan,” gerutu Nawa dalam hati.Sekitar delapan menit setelah meminum jus dan makanan belum habis, Nawa mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya.“Mas Frengki, aku ke toilet bentar, ya?” pamit Nawa.Dengan berjalan sambil sedikit sempoyongan, Nawa menuju toilet. Ia merasa mual, pusing, dan tubuhnya tiba-tiba tremor. Belum lagi napasnya terengah-engah dan tubuhnya mulai melemas.Begitu masuk kamar mandi, Nawa ambruk bertepatan saat ponsel di sakunya berdering. Ia masih s
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status