Home / CEO / Dilamar Presdir yang Menyamar / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Dilamar Presdir yang Menyamar: Chapter 11 - Chapter 20

124 Chapters

11. Mual

Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci.“Wa, kok kayak nggak seneng gitu?”Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.”“Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.”Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun.“Berarti siap jadi Ibu Persit?”Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya.“Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?”“Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.”Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–““Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?”Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak a
Read more

12. Pingsan

Prang! Saking tidak konsentrasi mengaduk teh ditambah pertanyaan Heru, membuat Nawa memecahkan gelas dan mengenai kakinya. “Enggaklah, Pak. Aku selalu jaga diri, kok.” Nawa berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi. “Suara apa itu tadi?” “Oh, itu tetangga kos. Nggak tahu kenapa.” Nawa terpejam. Akhir-akhir ini ia banyak sekali berbohong. “Alhamdulillah. Kamu anak Bapak satu-satunya, jadi Bapak sangat takut kalau kamu sampai terpengaruh pergaulan bebas. Apalagi kamu ada di kota besar dan jauh dari Bapak. Bapak suka ketar-ketir Hati-hati. Ya sudah, sana istirahat.” “Iya. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan.” “Pasti. Bapak tunggu kepulanganmu. Hari Minggu nanti pulang, ya? Bapak mau nagih oleh-olehmu dari Bali itu. Sudah hampir sebulan, tapi belum dikasih juga.” Nawa tertawa. “Iya, Bapak.” Telepon pun diakhiri setelah saling bertukar salam. Nawa terduduk di kursi. Ia memijat kening sambil terpejam. Hamil? Satu kata yang menjadi momok setelah kejadian nahas malam itu. Jika s
Read more

13. Mengakhiri Hubungan

“A-apa? A-aku hamil?” Nawa memastikan. Ia mengubah posisi menjadi duduk.Brama celingukan, memastikan tidak ada yang mendengar percakapannya dengan Nawa.“Ya.”“Benarkah aku hamil?” Mata Nawa berembun.“Untuk apa aku bohong? Katakan, siapa yang harus bertanggung jawab dengan keadaanmu saat ini? Apa pacarmu itu?”Embun di mata Nawa turun. Setetes demi setetes berjatuhan. Remuk-redam hatinya mengetahui kenyataan ini.“Pe-pergilah, Mas. Aku ingin sendiri.”“Nawa, bukankah kita teman? Ayo, kita berbagi. Katakan, siapa yang harus aku temui agar ada yang bertanggung jawab? Aku yakin pasti pacarmu yang anggota TNI sialan itu.”“Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi jangan ikut campur. Terima kasih karena sudah membawaku ke sini. Pergilah, bukankah kamu harus bekerja?”“Nawa, lihat aku! Aku akan membantumu. Percaya sama aku.”“Enggak! Aku ini kotor. Pergilah, Mas.” Nawa kian tersedu-sedu. Ia memukuli perutnya yang masih rata.“Stop, Nawa! Jangan lakukan ini.” Brama menahan tangan Nawa. “Dia nggak ber
Read more

14. Berita Apa?

Agung justru tertawa. “Wa, ulang tahunku masih lama. Jangan nge-prank gini. Aku nggak suka.”Nawa mengambil napas panjang lalu mengembuskan pelan. Ia menguatkan diri untuk mengakhiri hubungannya dengan Agung. Ada halangan berupa janin yang telah bersemayam di rahimnya.“Mas, aku serius. Maaf, aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita menuju keseriusan. Aku nggak bisa. Kamu berhak dapat wanita yang jauh lebih baik dariku. Aku–“ Suara Nawa yang bergetar, terputus. Rasanya sulit melanjutkan kalimat.“Nawa, apa kamu salah minum obat?” Agung mencoba mengganti panggilan dengan panggilan video, tetapi Nawa enggan mengangkat.“Apa yang terjadi? Kenapa kamu ngelantur kayak gini? Ayo cerita,” tanya Agung. Ia mendengar suara isak tangis dari seberang.“Nggak ada apa-apa. Hanya saja, aku nggak siap berkomitmen. Carilah wanita lain."“Nggak masalah kalau kamu belum siap berkomitmen. Kita bisa menikah nanti. Bulan depan, tahun depan, atau depannya lagi. Atau lima tahun lagi. Asal kita punya status d
Read more

15. Koma

“Agung menjadi korban kerusuhan, Nduk,” ujar Heru.“Apa!” pekik Nawa. “Kejadiannya kapan, Pak? Apa parah?”“Kejadiannya tadi malam. Katanya, mendadak sekelompok orang menyerang pos tempat berjaga TNI. Agung sebenarnya tidak sedang bertugas, tapi dia datang untuk membantu rekan-rekannya. Rame diberitakan.”“Aku semalam masih ngobrol sama dia, lho, Pak. Tepatnya jam berapa kejadiannya?”“Bapak juga kurang tahu.”Nawa terpejam, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. “Aku ini sedang perjalanan pulang, Pak. Aku sakit, dikasih cuti. Dan aku memutuskan untuk pulang buat istirahat di rumah.”“Owalah mau pulang? Hati-hati di jalan. Sudah sampai mana?”“Masih di tol.”“Bapak tunggu. Perlu dijemput nggak? Kamu naik apa?”“Nggak usah dijemput. Aku naik taksi online. Ribet mau naik kendaraan umum karena badanku lemes banget, Pak.”“Ya sudah. Nanti kalau sampai rumah Bapak panggilkan tukang urut. Kecapian kamu.”“Ya, Pak.”“Hati-hati.”Telepon pun dimatikan setelah bertukar salam.Air mata Nawa
Read more

16. Dioperasi

Lukman mengarahkan kamera pada Agung yang berbaring tanpa pergerakan di ranjang pasien. Beberapa alat penunjang kesehatan dipasang di tubuh pria itu. Matanya terpejam. “Ya Allah, anakku!” Nurul menjerit histeris. Nawa memeluk tubuh Nurul sambil menahan diri agar tidak ikut meledak tangisnya. “Tante, yang tenang, sabar.” Bunyi suara mesin kehidupan di seberang sana membuat Nawa kian merinding. “Agung, Nak. Buka matamu. Sapa ibumu ini, panggil 'Buu' seperti kemarin.” Nurul kembali tergugu. Nawa menatap dalam Agung lewat layar ponsel Nurul. Suara pria itu masih bisa didengarnya tadi malam. Sekarang, hanya alat bantu yang mewakili suaranya. Tanda bahwa ia tidak berdaya. Sesekali air mata Nawa menitik, lekas diseka. “Agung kena tembakan dan pukulan di kepalanya. Dia kehilangan banyak darah dari tembakan itu. Sementara pukulan di kepalanya itu yang ditengarahi menjadi pemicu koma. Kepalanya memang tidak berdarah, tapi darah justru menggumpal di dalam, tidak bisa keluar. Dia akan segera
Read more

17. Tiada

Boby hanya menatap datar dengan kedatangan Arbi. “Kita bicara nanti. Untuk saat ini, saya hanya ingin berdiskusi sebentar dengan karyawan di sini.”“Tapi, Mr–““Kamu bisa keluar.” Boby mengkode dengan kepala pada anak buahnya untuk meminta agar Arbi dikeluarkan dari ruang rapat.Anak buah Boby mengangguk dan sedikit menyeret Arbi keluar ruangan. Ruangan kembali ditutup.“Setiap bulan ada laporan masuk ke saya. Entah itu laporan produksi, keuangan, ataupun marketing. Di antara tiga perusahaan yang ada dalam naungan Sunmond Grup, hanya perusahaan ini yang kacau. Saya bisa saja langsung memanggil Arbi, tapi tidak. Saya ingin tahu kinerja kalian dulu dan bagaimana Arbi memimpin kalian.”Boby membuka laptop dan membaca laporan data. Tiap kepala divisi diminta menjelaskan apa yang telah mereka laporkan dan kerjakan.Dari situ, bisa dilihat bagaimana para staf keuangan yang berbeda penjelasan. Mereka saling lempar kesalahan hingga ruangan ribut.Brama pun berdiri. “Mr, izinkan saya sebagai k
Read more

18. Darah

“A-apa? Ti-tiada gimana maksud Tante?” Nawa memastikan. Ia duduk di samping Nurul.Nurul menangis histeris. “Sebelum dioperasi, Agung sudah dulu mengembuskan napas terakhir. Dia meninggalkan kita semua, Wa. Agung meninggal.”Bahu Nawa terkulai. Ia terpaku di tempat. Tubuhnya terlalu lemas untuk digerakkan. Pandangannya kosong, mengarah pada satu titik. Lalu, tetes demi tetes air membasahi pipinya.“Tante, jangan bercanda.”Nurul menggeleng. Ia menyerahkan ponselnya pada Nawa. Di ponsel itu, masih tersambung panggilan video dengan ayahnya Agung. Wajah Lukman juga terlihat sangat terpukul.“Om, tolong katakan dengan jelas. A-apa yang terjadi dengan Mas Agung?”“Agung ... telah berpulang, Wa. Sudah satu jam lebih saya bersikukuh di sini, menunggu dia bernapas lagi, bangun lagi, hidup lagi. Tapi dia tetap diam. Baru saya menguatkan diri menghubungi ibu di rumah.”“Tolong bangunkan terus Mas Agung, Om. Dia pasti maunya dibangunkan dulu baru sadar. Atau biarkan saya yang bicara sama dia.” N
Read more

19. Dipecat

Antara bingung, bahagia, dan sedih, Nawa menatap bingung pada underware-nya yang bernoda darah. “Apa jangan-jangan waktu itu Brama kutu kupret itu membohongiku?” Nawa memang tidak bertanya macam-macam pada dokter atau perawat tentang sakitnya di rumah sakit. Sebab ia sudah terlalu terpukul dengan kabar dari Brama. Pun tidak pernah mengetes dengan testpack karena sudah cukup percaya pada apa yang dikatakan Brama. Obat dari dokter juga tidak pernah dicek itu obat untuk sakit apa. “Atau aku keguguran? Tapi kenapa perutku nggak sakit? Bukankah keguguran itu katanya sakit?” Nawa terus menepuk pelan perut sambil menebak-nebak sendiri sampai suara Heru menginterupsinya. “Nduk, ayo! Kamu kenapa lama sekali di kamar mandi?” “I-iya, Pak. Bentar!” Nawa membersihkan semuanya, lalu keluar. Setelahnya, ke kamar untuk sedikit berdandan dan menyiapkan diri. “Pak, maaf atas semua kesalahanku,” ujar Nawa ketika menghampiri Heru. “Iya, Bapak maafkan. Tapi kenapa tiba-tiba minta maaf?” Ah, Nawa
Read more

20. Dia Siapa?

“Arbi, sejak pertama kali aku berani menantangmu, saat itulah aku sangat berhati-hati. Aku yakin kamu menyuruh seseorang untuk menyelidikiku. Tapi pasti mereka tidak menemukan informasi berarti tentang diriku. Karena aku totalitas dalam menyamar.” Brama duduk di meja, menatap Arbi tajam.“Dan Arbi, aku tahu skandalmu dengan sekretarismu itu. Kamu sering tidak ada di kantor dan check-in sama wanita ulat itu. Padahal kamu sudah punya anak dan istri,” lanjut Brama.“Ini surat pemberhentian dan pesangonmu. Sekarang kemasi barangmu dari sini. Kamu saya haramkan menginjak Sunmond Grup dan saya pastikan kamu tidak bisa lagi bekerja di perusahaan saya ” Boby menyerahkan amplop.“Tapi, Om–““Kalau kamu menolak, akan banyak pasal berlapis yang siap menyeretmu ke bui. Pertama penggelapan uang perusahaan. Kedua perselingkuhan. Ketiga penganiayaan terhadap Brama yang buktinya baru saja saya rekam. Keempat penyelewengan pajak. Dan masih banyak lagi.”“Berterima kasihlah pada daddy-ku karena dia tid
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status