Beberapa saat setelah jus diminum Nawa, makanan datang dan ditata di atas meja. Wanita itu belum merasakan apa-apa.“Ayo dimakan, Wa,” ujar Frengki.Nawa mengangguk, lalu mulai memakan makanan pesanan Frengki. Keduanya makan sambil sesekali diselingi Frengki yang berbicara banyak hal. Padahal Nawa paling menghindari makan sambil bicara. Wanita itu hanya menimpali dengan anggukan atau gelengan.“Bahkan sekelas Sir Brama aja nggak pernah ngajak aku ngobrol saat makan. Mas Frengki ini kayak nggak tahu adab saat makan,” gerutu Nawa dalam hati.Sekitar delapan menit setelah meminum jus dan makanan belum habis, Nawa mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya.“Mas Frengki, aku ke toilet bentar, ya?” pamit Nawa.Dengan berjalan sambil sedikit sempoyongan, Nawa menuju toilet. Ia merasa mual, pusing, dan tubuhnya tiba-tiba tremor. Belum lagi napasnya terengah-engah dan tubuhnya mulai melemas.Begitu masuk kamar mandi, Nawa ambruk bertepatan saat ponsel di sakunya berdering. Ia masih s
“Nomornya dimatikan, tapi masih banyak cara lain menemukan di mana Nawa berada,” gumam Brama sambil terus mengutak-atik ponsel. Saat bersamaan, terlihat di layar Yadi menelepon. Pria itu langsung mengangkatnya. “Ya, katakan.” “Dari sekuriti kantor, saya mendapat informasi kalau Nona Nawa pulang sama Frengki, Sir.” “Bedeb*h. Yadi, dengar. Di mana pun kamu saat ini berada, sekarang lacak nomor Frengki, saya akan lacak nomor Nawa. Nanti bisa kita lihat apakah posisi mereka sama atau tidak. Kalau lokasi mereka sama, berarti Frengki yang sudah membawa Nawa dan ingin berbuat hal buruk pada wanita malang itu.” “Siap, Sir.” “Lakukan sekarang!” Panggilan pun dimatikan. Sebagai ahli IT profesional, Brama jelas tahu cara lain yang digunakan untuk melacak meskipun nomornya tidak aktif. Pria itu terus berusaha semaksimal mungkin. Brama pun merasa bingung. Haruskah melibatkan polisi untuk urusan ini? Sementara ia sendiri belum tahu kondisi Nawa yang sebenarnya. Apakah wanita itu sakit karena
“Alihkan perhatiannya dulu. Saya akan sampai sebentar lagi. Saya ingin menjadi orang pertama yang meremukkan tengkorak kepalanya.” Brama berbicara penuh penekanan.Katakanlah Brama egois, tidak mementingkan keselamatan Nawa, atau apalah itu. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh anak buahnya menyerang Frengki terlebih dulu. Namun, ia tidak ingin itu terjadi. Brama ingin menjadi orang pertama yang melihat wajah pias Frengki saat kepergok nanti.“Baik, Sir.” Gilang membanting vas bunga yang ada di ruang tamu. Setelah itu, ia kembali bersembunyi.“Anj*ng! Siapa sih yang dari tadi membuat kekacauan!” pekik Frengki setelah keluar dari kamar.“Apa jangan-jangan di rumah ada orang?”Frengki menyisir semua ruangan dan tidak mendapati siapa pun.“Atau jangan-jangan ada orang yang mengikutiku?”Gilang yang sembunyi menghindari Frengki, harap-harap cemas saat Frengki menyisir lebih teliti seluruh ruangan. Gilang takut ketahuan.Frengki juga memeriksa pintu yang masih terkunci. Ia juga menuju gerbang
“Sir! Ayo kita ke rumah sakit.” Yadi datang bersama beberapa orang, menjeda ketegangan yang terjadi di kamar tersebut. “Sebentar. Saya hanya mau dibawa ke rumah sakit kalau Nawa sudah menjawab pertanyaan saya.” Brama mengangkat tangan. “Mas, jangan keras kepala. Kondisi Mas sudah sangat memprihatinkan. Bisa-bisa nyawa Mas tidak tertolong,” ujar seorang warga. Nawa diperam gundah. Ia bingung harus menjawab apa. Jika menerima, ia sangat tidak yakin dengan keseriusan pria ini. Brama itu sangat pandai mempermainkan orang, apa jaminannya kalau ia serius? Namun, kalau menolak, bisa-bisa Brama meninggal karena kehabisan darah dan alasannya meninggal karena dirinya yang terlalu lama berpikir. “Nawa, yes or no.” Napas Brama terengah-engah. Ia meringis menahan sakit. “Nona Nawa, entah apa yang sudah ditanyakan Sir Brama pada Anda. Tapi saya mohon, jawablah dengan jawaban yang nantinya membuat bos saya mau dibawa ke rumah sakit.” Nawa menatap Brama sendu. Ia pun mengangguk ragu. “Yes, Sir.
“Ya. Kamu tahu apa alasannya?” tanya Brama balik.Nawa membulatkan mata, siap menyembur Brama dengan amarah.“Karena kamu itu candu. Maksud saya, tubuh kamu. Dan saya nggak bisa jauh dari kamu.”Nawa mengepalkan tangannya kuat di depan wajah. “Sir, kenapa Anda itu jahat sekali? Ternyata pria kaya seperti Sir itu tetap saja egois. Tidak ada ketulusan dalam menolong seseorang. Tapi harus ada timbal balik yang harus didapat. Dan timbal balik itu tubuh saya? Astagfirullah. Sir, saya mohon jangan jadikan saya sebagai objek kenakalan Anda."“Oh, nggak bisa. Karena kamu sudah telanjur mengikat saya dengan pesonamu. Saya harus melakukan sesuatu yang berguna untuk saya. Untuk apa saya menolong seseorang yang nantinya tidak memberikan manfaat untuk saya?”“Jadi kalau yang kesusahan orang lain, bukan saya, apa Sir nggak akan menolongnya?"“Maybe yes, maybe no.”“Menyesal saya sudah menerima lamaran Sir! Tahu gini saya tadi menolaknya dan membiarkan Sir meninggal!”Brama tertawa. “Tapi nyatanya e
Brama menyentil pelan kening Nawa. “Harusnya kamu itu bersyukur. Coba kamu hitung sudah berapa kali saya melamarmu tapi baru kamu terima sekarang? Berkali-kali. Pertama saat saya masih menjadi pria buruk rupa. Kamu dilamar Presdir yang menyamar. Lalu sekarang dilamar Presdir sungguhan, yaitu saya dengan wajah tampan. Tapi lihat? Kamu malah mengeluh berlebihan seolah-olah menjadi manusia paling tersakiti sedunia. Kamu itu definisi manusia kufur nikmat.”“Harusnya judulnya diganti. Dilamar Presdir sangar. Itu baru benar. Dan saya tekankan, ya. Perasaan Sir ke saya itu bukan murni cinta atau kasih sayang. Mungkin. Tapi obsesi. Obsesi itu berbahaya, Sir!”Brama hanya mengedikkan bahu. “Saya nggak peduli apa pun sebutannya.” Pria itu bangkit, lalu berjalan menuju bed-nya. “Tidur, Nawa. Saya ngantuk. Atau kamu mau satu ranjang sama saya?”“Hiii! Amit-amit.”Nawa masih membersihkan sisa makan mereka, saat suara Brama kembali menginterupsi.“Biarkan di situ. Biar dibereskan sama Yadi. Kamu se
“Sir, yakin mau menikahi saya?” tanya Nawa, ingin kembali memastikan. “Ya. Kamu kurang bukti apa lagi dengan keseriusan saya? Apa saya harus mati dulu seperti mantanmu itu baru kamu percaya?” Nawa mendelik. Ia sangat tidak percaya dengan keseriusan Brama. Namun, dari aksi pria itu memang sudah membuktikan segalanya. Masalahnya, wanita itu takut hanya dijadikan permainan. Bisa saja, kan, Brama itu hanya manis di awal dan bisa jadi juga pahit di akhir. “Kalau saya yang nggak yakin? Sir, dilihat dari segi mana pun kita ini nggak imbang. Kasta kita jauh berbeda. Saya nggak bisa dan nggak mau ambil risiko, Sir.” “Nawa, jangan main-main sama saya! Jangan mempermainkan saya!” “Saya tidak mempermainkan. Bagaimana dengan orang tua Sir? Apa Sir sudah melibatkan mereka dengan jalan yang Sir ambil sejauh ini?” “Saya nggak butuh mereka. Saya bisa menghidupi saya dan kamu kalaupun mereka nggak merestui. Nawa, jangan bicara macam-macam lagi kalau niatmu hanya ingin membuat saya mundur. Kamu pas
Brama dan Nawa sama-sama diam, lalu saling pandang. Pikiran keduanya sama. Sekarang mereka tahu tersangka utama yang secara tidak langsung menjadi perantara garis takdir yang menghubungkan keduanya untuk bersatu.Sebenarnya Brama sudah tahu Nawa dalam pengaruh obat lak*at tersebut. Hanya saja, ia memang tidak berniat memberi tahu dan baru tahu pelakunya sekarang. Sementara Nawa seorang gadis lugu yang tidak terlalu paham hal semacam itu.“Obat perangsang?” Nawa kembali memastikan.“Ya. Tapi saat itu aku dipaksa ikut pergi ke klub sama teman lain dan nggak bisa berbuat buruk sama kamu. Besoknya, justru katanya kamu sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. Apa saat itu kamu merasakan sesuatu?”“Kenapa Mas Frengki begitu tega sama aku?” Air mata Nawa lolos tanpa permisi. “Dari dulu kamu memang berniat merusakku ternyata. Semoga Allah memberimu hidayah.”“Maaf, Nawa. Pikiranku sudah buntu. Hanya itu yang dulu bisa kulakukan untuk mendapatkanmu. Setelah aku ulangi perbuatan ini pun, aku
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg