Hai, para kesayangan. Terima kasih masih setia pada Brama. Maaf hanya bisa up sehari satu bab karena di duta juga sibuk kerja. Sayang kalian banyak-banyak. Jangan lupa ulasan, rate bintang lima, kasih gem, dan komennya 😘😘 Untuk kalian yang sudah menyisihkan rezeki, waktu, dan tenaga untuk membaca Brama, dibalas dengan kebaikan dan rizki yang lebih banyak lagi berkah. Aamiin.
Selain panti asuhan, Nawa juga membagikan makanan di panti jompo. Nawa dan pihak katering ke panti jompo dulu sebentar, baru ke panti asuhan.Suasana panti asuhan ramai dengan sorak-sorai anak-anak. Di sana, Nawa membaur dengan mereka sambil sesekali ikut bercanda. Sementara acara doa akan dimulai nanti setelah salat Magrib.“Kamu rutin ngadain amal kayak gini, Wa?” tanya Sari.“Enggak juga. Cuma kalau ada rezeki lebih dan punya hajat aja. Rasanya kalau sering berkumpul dengan mereka tuh, aku jadi ngerasa ngaca sama kondisiku dulu, Sar. Nasibku mirip dengan mereka. Cuma aku lebih beruntung karena ibuku meninggal saat aku udah baligh, ada bapak dan kakak lelaki yang menjagaku. Aku jadi banyak bersyukur. Hidupku jauh lebih baik dari mereka. Aku bisa kuliah, bisa kerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi. Bukankah itu nikmat yang sangat mewah? Bagiku, anak yatim piatu sudah seperti saudaraku.”Sari mengangguk. “I pround of you.”“Hih! Aku nggak suka kalimat itu. Karena apa? Kepalaku j
“Idih, amit-amit.” Nawa bergidik. Brama hanya terkikik.Keduanya lalu membagikan amplop pada anak yatim piatu tersebut.Setelah Brama dan Nawa memberi uang saku, anak-anak membubarkan diri. Tinggallah Nawa dan Brama yang masih duduk berhadapan, menghabiskan nasi kotak di depannya masing-masing.“Nawa, bilang ke pihak keuangan. Mulai bulan depan, anggarkan dana untuk sedekah. Entah itu ke panti asuhan, panti jompo, menyumbang pembangunan sekolah, masjid, atau langsung terjun ke fakir miskin,” titah Brama setelah keduanya selesai makan.“Udah ada, sih, Sir anggaran untuk itu. Kalau ada bencana alam, perusahaan cepat tanggap membantu.”“Itu beda lagi. Yang ini katakanlah buat zakat perusahaan, membersihkan perusahaan tiap sebulan sekali.”“Oke siap.”“Nggak sia-sia saya ngkuti kamu ke sini. Lihat anak-anak adem di hati. Ya, meskipun ilmu agama saya bisa dibilang sangat minim, tapi saya ingin menjadi lebih baik. Untuk perusahaan juga.”Nawa tersenyum. “Alhamdulillah. Tapi tunggu! Sir tadi
“Mrs.” Nawa spontan melepaskan tangannya dari dasi Brama. Sementara Brama masih memegang ujung hijab Nawa.“Sir, lepas,” gumam Nawa lirih.“Seperti ini, ya, kelakuan bawahan sama bos?” Gahayu mendekat, menatap Nawa tajam.“Mommy, memangnya ada yang salah?”“Bram, kamu itu terlalu memanjakan wanita udik ini sampai-sampai dia ngelunjak. Berani-beraninya pegang dasi kamu!”“Mom, itu aku yang minta. Dasiku sedikit berantakan, jadi aku minta dia benerin. Lagi pula, kami ini kan pasangan kekasih. Jadi apa salahnya? Nawa, lanjutkan.”Gahayu melepas paksa tangan Brama dari kerudung Nawa. “Bram, lepas. Biar Mommy yang benerin dasi kamu.”Brama hanya mengedikkan bahu.“Dan kamu wanita kampungan, keluar dari ruangan ini.”Nawa yang masih menunduk, mengangguk. Ia pun keluar ruangan sambil menggerutu.“Ini aku yang ceroboh atau memang si bos yang tengilnya kebangetan? Niatnya tadi cuma ngasih kopi, habis itu keluar. Makanya pintu nggak kututup sempurna. Eh, malah keciduk nyonya besar. Duh, nasib.”
“Saya berhak untuk tidak menjawab, kan?” Nawa bertanya balik.“Kalau saya memaksa?”Nawa tersenyum masam. “Maaf, saya tetap tidak mau. Seharusnya saya saat ini sudah menikah. Tapi sayang jodoh saya dipanggil lebih dulu. Dan apa Sir tahu apa yang paling membuat saya merasa bersalah?”Brama menggeleng.“Sebelum dia meninggal, saya jujur kalau saya hamil. Ternyata kehamilan saya itu Sir yang atur dan tidak sungguhan. Kadang saya berpikir mungkin kalau saya tidak jujur, Mas Agung masih ada. Saya sebenarnya masih sangat kecewa sama Sir. Tapi saya kembalikan lagi. Bahwa ini semua takdir. Tahu tidaknya Mas Agung, mungkin dia tetap akan pergi.”“Sorry untuk itu. Saya tidak tahu kalau bakal runyam juga masalahnya. Nawa, tidakkah kamu ingin berusaha membuka hati lagi?”“Pertanyaan serupa juga pernah ditanyakan seseorang pada saya. Jawabannya pun sama. Untuk saat ini belum. Sir, apakah ini masih jam kerja? Saya izin bentar mau ambil video di sini. Boleh?” Nawa mengabaikan pertanyaan Brama yang d
Beberapa saat setelah jus diminum Nawa, makanan datang dan ditata di atas meja. Wanita itu belum merasakan apa-apa.“Ayo dimakan, Wa,” ujar Frengki.Nawa mengangguk, lalu mulai memakan makanan pesanan Frengki. Keduanya makan sambil sesekali diselingi Frengki yang berbicara banyak hal. Padahal Nawa paling menghindari makan sambil bicara. Wanita itu hanya menimpali dengan anggukan atau gelengan.“Bahkan sekelas Sir Brama aja nggak pernah ngajak aku ngobrol saat makan. Mas Frengki ini kayak nggak tahu adab saat makan,” gerutu Nawa dalam hati.Sekitar delapan menit setelah meminum jus dan makanan belum habis, Nawa mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya.“Mas Frengki, aku ke toilet bentar, ya?” pamit Nawa.Dengan berjalan sambil sedikit sempoyongan, Nawa menuju toilet. Ia merasa mual, pusing, dan tubuhnya tiba-tiba tremor. Belum lagi napasnya terengah-engah dan tubuhnya mulai melemas.Begitu masuk kamar mandi, Nawa ambruk bertepatan saat ponsel di sakunya berdering. Ia masih s
“Nomornya dimatikan, tapi masih banyak cara lain menemukan di mana Nawa berada,” gumam Brama sambil terus mengutak-atik ponsel. Saat bersamaan, terlihat di layar Yadi menelepon. Pria itu langsung mengangkatnya. “Ya, katakan.” “Dari sekuriti kantor, saya mendapat informasi kalau Nona Nawa pulang sama Frengki, Sir.” “Bedeb*h. Yadi, dengar. Di mana pun kamu saat ini berada, sekarang lacak nomor Frengki, saya akan lacak nomor Nawa. Nanti bisa kita lihat apakah posisi mereka sama atau tidak. Kalau lokasi mereka sama, berarti Frengki yang sudah membawa Nawa dan ingin berbuat hal buruk pada wanita malang itu.” “Siap, Sir.” “Lakukan sekarang!” Panggilan pun dimatikan. Sebagai ahli IT profesional, Brama jelas tahu cara lain yang digunakan untuk melacak meskipun nomornya tidak aktif. Pria itu terus berusaha semaksimal mungkin. Brama pun merasa bingung. Haruskah melibatkan polisi untuk urusan ini? Sementara ia sendiri belum tahu kondisi Nawa yang sebenarnya. Apakah wanita itu sakit karena
“Alihkan perhatiannya dulu. Saya akan sampai sebentar lagi. Saya ingin menjadi orang pertama yang meremukkan tengkorak kepalanya.” Brama berbicara penuh penekanan.Katakanlah Brama egois, tidak mementingkan keselamatan Nawa, atau apalah itu. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh anak buahnya menyerang Frengki terlebih dulu. Namun, ia tidak ingin itu terjadi. Brama ingin menjadi orang pertama yang melihat wajah pias Frengki saat kepergok nanti.“Baik, Sir.” Gilang membanting vas bunga yang ada di ruang tamu. Setelah itu, ia kembali bersembunyi.“Anj*ng! Siapa sih yang dari tadi membuat kekacauan!” pekik Frengki setelah keluar dari kamar.“Apa jangan-jangan di rumah ada orang?”Frengki menyisir semua ruangan dan tidak mendapati siapa pun.“Atau jangan-jangan ada orang yang mengikutiku?”Gilang yang sembunyi menghindari Frengki, harap-harap cemas saat Frengki menyisir lebih teliti seluruh ruangan. Gilang takut ketahuan.Frengki juga memeriksa pintu yang masih terkunci. Ia juga menuju gerbang
“Sir! Ayo kita ke rumah sakit.” Yadi datang bersama beberapa orang, menjeda ketegangan yang terjadi di kamar tersebut. “Sebentar. Saya hanya mau dibawa ke rumah sakit kalau Nawa sudah menjawab pertanyaan saya.” Brama mengangkat tangan. “Mas, jangan keras kepala. Kondisi Mas sudah sangat memprihatinkan. Bisa-bisa nyawa Mas tidak tertolong,” ujar seorang warga. Nawa diperam gundah. Ia bingung harus menjawab apa. Jika menerima, ia sangat tidak yakin dengan keseriusan pria ini. Brama itu sangat pandai mempermainkan orang, apa jaminannya kalau ia serius? Namun, kalau menolak, bisa-bisa Brama meninggal karena kehabisan darah dan alasannya meninggal karena dirinya yang terlalu lama berpikir. “Nawa, yes or no.” Napas Brama terengah-engah. Ia meringis menahan sakit. “Nona Nawa, entah apa yang sudah ditanyakan Sir Brama pada Anda. Tapi saya mohon, jawablah dengan jawaban yang nantinya membuat bos saya mau dibawa ke rumah sakit.” Nawa menatap Brama sendu. Ia pun mengangguk ragu. “Yes, Sir.
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg