Semua Bab Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing: Bab 121 - Bab 127

127 Bab

121. Sidang 1

Arya meneguk kopi pahit yang baru saja disajikan Dinda. Kemeja lengan panjang sudah begitu rapi melekat di tubuhnya. Angannya melayang ke percakapan antara dirinya dengan Anwar. Kepalanya terkadang menggeleng ke kanan beberapa kali. Netranya terpejam beberapa saat, dan terbuka kembali, kemudian kembali menyesap cairan hitam yang mengepulkan asap putih di depannya."Ada masalah di kampus?" Dinda sudah duduk di seberang Arya.Arya mengangkat kedua bahunya. "Sulit tidak sulit. Mudah tidak mudah. Tergantung bagaimana cara menelaahnya dan merumuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk penyelesaiannya."Dinda berdecak. "Ribet amat. Tinggal diketok aja palunya. Selesai.""Maunya begitu, tapi ..." Arya mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku lebih memilih untuk memecatnya secepat mungkin. Tidak usah bertele-tele.""Ya sudah. Pecat saja. Betewe, kakek sudah tahu?"Arya mengangguk. "Papa yang cerita. Baru tahu tadi malam."Dinda manggut-manggut. "Terus? Masalahnya dimana?""Kakek menyerahkan
Baca selengkapnya

122. Tawaran Terakhir

"Ada yang bisa menjelaskan kepada saya?" Arya menatap tajam Hasan. Hasan menghela napas. Apa yang ia takutkan kemarin, benar-benar terjadi. "Saya tidak bisa menjelaskan apa pun, Pak Arya. Sumber yang tepat ada di hadapan Pak Arya, dan beliau-lah yang lebih pantas untuk menjelaskan yang terjadi pagi ini."Hasan tidak ingin namanya terlibat dalam kasus Mega. Dari awal, ia sudah tidak ingin terlibat jauh, namun keputusan Zulkifli kemarin sore, suka tidak suka, membuatnya berhadapan dengan Arya."Saya sudah mengajukan keberatan tapi beliau masih bersikukuh dengan idenya ini. Jadi, saya mohon maaf, Pak Arya. Saya tidak bisa menjelaskan apa-pun."Zulkifli hanya tertunduk lesu. Ia tidak mengira, pria muda di depannya begitu mengerikan saat ini. Dulu, ia mengira akan sangat mudah mempengaruhi. Kenyataannya, ia justru tidak dapat berbuat apa-apa."Saya sudah memberi peringatan kepada Pak Anwar mengenai hal ini. Tepat dua hari yang lalu, kami bertukar pikiran. Namun kenyataannya, beliau tidak
Baca selengkapnya

123. Sidang 2

Tiga puluh menit berlalu. Arya dan Hasan duduk menyimak pernyataan Zulkifli. Hanya ada mereka bertiga di ruangan transit. Wajah Zulkifli tampak pasrah, sedangkan Arya tidak berekspresi sama sekali. Datar dan dingin. "Saya tidak akan melakukan ini tanpa jaminan apa pun. Saya akan mempertaruhkan karir saya di sini. Jika dia tidak mau melakukan hal yang saya perintahkan padanya kemarin malam, maka hari ini juga, saya akan menyerahkan surat pengunduran diri saya sebagai salah satu staf pengajar di kampus ini."Hasan langsung bangkit dari duduknya. "Pak Zul! Anda tidak sepatutnya melakukan pengorbanan begitu besar untuk kasus ini.""Tidak, Pak Hasan. Saya harus melakukan ini. Ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab saya karena telah membawa orang yang salah, yang integritasnya begitu rendah dan tidak memiliki jiwa pengabdian yang tinggi. Dua hal yang sangat penting, yang harus dimiliki oleh seorang pendidik."Hasan terhenyak. Dalam hati, ia mengumpat Mega. Betapa gadis itu sangat berun
Baca selengkapnya

124. The Show Must Go On

"Mengapa baru sekarang?" celetuk Arya setelah Mega pergi dari ruang sidang. "Hah?' Hasan merasa aneh dengan celetukan Arya."Jika dia mengajukan surat ini jauh sebelum peristiwa buruk itu menimpa Dinda, mungkin saja tidak akan ada proses hukum untuknya."Mak-Maksud Pak Arya, Pak Arya tetap ingin memproses ini lewat jalur hukum?"Arya memutar tubuhnya hingga kini mereka berdua saling berhadapan. "Apakah Pak Hasan tidak merasa aneh dengan pengajuan surat pengunduran ini? Mengapa baru sekarang diberikan? Kepada saya pula? Bukankah itu aneh? Bisakah saya mengatakan mereka sedang berusaha untuk menyuap saya?"Hasan semakin terpaku dengan pernyataan Arya. "Ta-Tapi, Pak Arya. Bisa saja Pak Zul menyuruh keponakannya untuk meminta maaf kepada anda dan istri terkait perbuatannya beberapa waktu lalu. Dan salah satu bentuk permintaan maafnya adalah mengundurkan diri.""Di saat saya berkeinginan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum?""Jadi-benar, kalau Pak Arya tetap memproses perbuatan Bu Me
Baca selengkapnya

125. Mendadak Pusing

"Karena dia sudah tidak ada di kampus lagi?" bisik Arya lebih pelan dari sebelumnya."Ya kan sudah sangat jelas, Mas. Menjelang sore begini, masa iya dia ngajar."Arya menatap gemas Dinda. "Bukannya tadi sudah saya bilang, ceritanya nanti kalau pas mau tidur. Sekarang kita makan-makan dulu. Setidaknya, biarkan suami kamu ini menikmati hidangan enak sebanyak ini."Dinda langsung terdiam begitu Arya menyerahkan piring ke hadapannya. Mau tidak mau, Dinda berdiri dan mulai mengisi piring."Makan besar beneran ini," sindir Dani melihat piring Arya yang menggunung akibat ulah Dinda.Dinda hanya nyengir kuda."Sini makan bareng. Saya suapin sekalian?" Arya mengambil piring Dinda dan bersiap menyuapkan suapan pertama ke istrinya."Nggak, ah.""Lagian, siapa yang suruh mengambil begitu banyak sampai penuh begini?""Katanya mau makan besar, jadi ya ini," ujar Dinda sembari menunjuk ke arah piring di hadapan Arya.Ketukan di pintu menghentikan debat kecil Arya dan Dinda. Tidak seperti biasanya. D
Baca selengkapnya

126. Kuliah vs Anak

"Jadi?" Dinda mengulangi pertanyaannya."Tentu saja jadi. Tinggal menunggu tiket pesawat saja."Dinda terdiam. Ia lupa jika Arya akan melanjutkan studinya ke luar negeri. Ia mulai bimbang. Kehidupannya sebagai sepasang suami istri bersama Arya baru saja dimulai. Ia merasa masih membutuhkan bimbingan kedua orang tuanya. Bagaimana pun, Arya masih orang asing baginya. Ia takut tidak dapat mengimbangi kepribadian Arya yang begitu sempurna di matanya."Kenapa?" Arya menangkap ketakutan Dinda. Ia meraih kedua tangan Dinda. "Tidak akan lama. Saya akan berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan studi. Itulah mengapa saya menyegerakan untuk menikahi kamu, supaya kita dapat mengenal satu sama lain lebih cepat.""Tapi, itu berarti kan kita harus jauh dari papa dan mama selama ... " Dinda tidak sanggup meneruskan kalimatnya."Kamu takut?" Arya menatap Dinda begitu dalam.Dinda bergeming. Ia tidak dapat menutupi perasaannya. "Kalau begitu, mungkin kamu lebih baik di sini saja. Biar saya sendiri
Baca selengkapnya

127. Kartu Debit

Arya menaikkan kecepatan mobilnya. "Kalau seperti ini, kapan nyampe-nya." Lama kelamaan ia merasa gemas melihat kendaraan Fahri seolah jalan di tempat. Mobil sedan putih milik Broto yang malam itu dikendarai Arya, melesat menyalip mobil Fahri. Pujasera yang dituju sudah berada seratus meter di depan mereka.*Lu dimana?Suara di ujung sana membuat Mita terpaku. Ia tidak yakin. Benarkah itu suara Dinda?*Lu sariawan? Ato ini yang jawab kakak ipar? Dinda semakin kesal karena Mita tidak kunjung menjawab pertanyaannya."I-Iya-Iya. Lu berisik banget. Kenapa emang?" Hati Mita menjadi hangat. Rasa galau dan gelisah yang ia rasakan sebelumnya, menguap begitu saja.*Ikutin mobil yang baru aja ngelewatin mobil kalian."Mita sibuk mengamati mobil yang berjalan di depannya. "Itu mobil siapa?""Papa." Fahri mengamati Mita yang keheranan menatap mobil yang baru saja mendahului mereka. "Emang kenapa?""Papa? Papa ngajakin kita jalan-jalan? Papa ikut kita jalan-jalan?" Mita tidak dapat menyembunyikan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status