Semua Bab Mantan Istri Jadi Adik Ipar: Bab 31 - Bab 40

83 Bab

Bab 31. Sang Antagonis

Suara dentuman meja dihentak terdengar bergema, mengagetkan hampir semua yang ada di sana. Tapi, tidak berlaku buat Fathan dan Davina. Mereka sudah menduga Om Haris akan melakukan hal itu.Lelaki yang hampir seluruh rambutnya memutih itu sontak berdiri dari tempat duduknya. “Apa maksudmu, Zaky?!”“Papamu ini masih hidup, kenapa harus digantikan?!” Terdengar seruan tak terima dari keluarga yang lain.Zaky mendekat ke arah orang tuanya sambil menyeringai. “Umur Papa itu sudah enam puluh lebih, sudah saatnya pensiun.”“Tapi, bukan begitu caranya mengganti wakil CEO. Semua harus dirapatkan terlebih dahulu,” ujar Haris bergetar. Dia tidak tahu kalau harus melawan darah dagingnya sendiri.“Aku pasti bisa menggantikan Papa karena Mama orang kedua yang memiliki saham paling besar di sana.” Zaky malah mendekat ke ara
Baca selengkapnya

#Bab 32. Musuh Bebuyutan

“Fathan, kenalin. Ini berarti sepupu jauhmu, anaknya Om, Naisya,” ujar Om Syaf. Pria yang rambutnya sudah memutih semua itu menunjuk sopan seorang wanita yang baru sampai di meja ini.Sama seperti kesimpulan Fathan, Om Syaf juga memilih untuk tidak pergi dari ruangan itu. Dia mau melihat keadaan terlebih dahulu.Fathan pun menoleh, lalu berdiri. Sama seperti ayahnya, wanita itu tidak terlalu tinggi. Wajahnya juga mungil seperti Om Syaf. Fathan pun menjulurkan tangannya. “Fathan.”“Naisya,” ucap wanita itu seraya tersenyum. Tak lupa membalas jabatan tangan Fathan. Satu tangannya meraih pundak Fathan  kemudian mendekatkan wajahnya.“Kami belum pernah ketemu?” tanya Fathan heran seraya membalas cipika-cipiki yang dilakukan Naisya.“Dia tinggal di Turki, ikut Mama-nya.” Syaf mengangguk pela
Baca selengkapnya

#Bab 33. Weekend

Aurelia sengaja bangun lebih pagi hari ini. Langit baru saja berubah dari keabuan, lantas menjadi terang-benderang karena matahari yang kian meninggi. Masih jam setengah tujuh pagi, tapi dia sudah siap hendak keluar kamar.Jemari baru menyentuh gagang pintu, lantas berhenti karena teringat sesuatu. Dia belum berpamitan dengan suaminya. Aurel melihat pakaian sang suami yang sudah diletakkan di atas tempat tidur.“Fathan, aku keluar dulu, ya. Mau bantuin Davina masak,” pamit Aurel setengah berteriak.“Iya.” Terdengar balasan dari Fathan, yang masih berada di dalam kamar mandi.Setelah mendengar jawaban suaminya, Aurel pun membuka pintu. Baru saja keluar kamar, suara lengkingan bercampur tawa terdengar. Dari koridor berdinding kaca itu, Aurel bisa melihat dua keponakan Fathan tengah berlari-larian di taman belakang. Baju tidur masih melekat di tubuh
Baca selengkapnya

#Bab 34. Anak Kita, Bersama

Fathan keluar dari kamar. Pakaian yang tadi berada di atas kasur sudah berpindah membalut raganya. Seperti hatinya, bibir Fathan juga tersenyum melihat pantulan sosoknya di cermin.‘Aurel bener-bener tahu selera berpakaianku. Dia memang istri yang terbaik,’ puji Fathan.Nuansa hatinya sangat bahagia pagi ini. Terbukti dari senyuman yang terus tersemat di wajahnya, bahkan setelah membuka pintu kamar.Baru berjalan dua langkah, mata Fathan menangkap sosok sang istri di taman samping rumah.Taman beralaskan  Zoysia Japonica kualitas terbaik itu terdapat perosotan yang hanya setinggi dada orang dewasa. Setiap kali turun dari perosotan, Fania dan Tania mengusap bagian bawah tubuh mereka yang perih sebentar karena tajamnya ujung rumput jepang.Aurel tampak tengah berbincang dengan Surtiwi kemudian duduk di kursi taman.
Baca selengkapnya

#Bab 35. Papa

 “Ghani Pratama.” Terdengar suara dari seorang wanita, yang mengenakan seragam perawat abu-abu les putih serta hijab hitam membalut bagian kepalanya. Kehadirannya adalah secercah harapan dari para orang tua yang menanti kapan nama anak mereka disebut ataupun dipanggil. Jadi, ketika wanita itu membuka pintu praktek, hampir semua orang tua ini melihat ke arah sana.“Ghani, Ghani.” Suwarni menepuk pundak Feny begitu mendengar nama cucunya yang dipanggil. Dia juga bergegas berdiri seraya berjalan ke arah perawat. “Iya, iya, Mbak!”Feny teralihkan perhatiannya sedari tadi. Dia asyik melihat Fathan, yang menggendong Ghani berkeliling ruangan itu. Antara senang menyaksikan kedekatan keduanya juga takut kalau-kalau Fathan nekat membawa lari bayi satu tahun itu. Ya, siapa yang tahu isi hati lelaki yang jauh lebih memiliki kuasa darinya itu.Sadar kalau sekarang ini a
Baca selengkapnya

#Bab 36. Kebohongan Demi Kebohongan

 “Bu, aku di dalam mobil aja, males turun, sih,” cetus Feny. Dengan kaki bersilang, dia terlihat acuh tak acuh. Tatapannya hanya tertuju pada ponsel di tangan. Sementara jemarinya sibuk meng-scroll layar smartphone-nya itu.Suwarni sudah hapal dengan sifat cuek anaknya itu. Mau dipaksa juga tidak akan berhasil membuatnya ikut ke dalam toko roti itu. Suwarni pun turun sambil menggendong cucu satu-satunya itu.Toko kue yang terdiri dari dua ruko itu terlihat cukup ramai. Yah, sama seperti hari-hari sebelumnya, sih. Dari siang sampai sore pasti selalu banyak customer yang berdatangan.Langkah Suwarni langsung mendekat ke tempat donat berada. Sangking hapalnya, mau tutup mata juga dia bisa langsung tiba di sana.Seorang staff wanita muda membawakan baki untuknya.“Tolong, Dek. Empat ya. Yang ini, yang ini,” ucapnya sambil
Baca selengkapnya

#Bab 37. Tiba-Tiba Saja

 Fathan berdiri di depan rumah subsidi type 36, yang hanya berpagarkan kayu sebatas pinggang itu. Walaupun panas terik, dia tetap berdiri di depan pagar itu. Tujuannya tentu saja, menunggu sampai pintu dibukakan. Sementara itu, jemarinya menggenggam erat beberapa kantong belanjaan.Matanya mengernyit karena matahari sore yang langsung menyerang tepat ke arahnya.Fathan tidak terlalu menghiraukan pandangan ibu-ibu yang berkumpul di warung, dua rumah dari rumah ini. Dia hanya mengangguk pelan sebagai sapaan sopan.Dilihat dari gelagat empat orang wanita itu yang hanya mengenakan daster, ada yang sambil menggendong anak, ada yang mendorong troller, sepertinya kegiatan kumpul itu memang rutin dilakukan setiap sore hari di komplek ini.Mereka terus saja melirik ke arah Fathan, lalu berbisik-bisik. Bukan hanya Fathan yang menarik perhatian mereka, tapi juga mobil yang berhe
Baca selengkapnya

#Bab 38. Rasa Yang Tersisa

“Ssst!” Rafa hendak menutup mulut Aurel dengan tangannya. Tapi, tertahan di udara. Hanya berhenti di depannya saja.Aurel memukul pelan tangan Rafa itu.“Rafa?! Apa-apaan kamu?! Gimana kalau Davina atau Fathan, atau siapapun itu lihat?!” sergah Aurel dengan suara tertahan.  Dia menoleh ke arah ujung lorong dengan tatapan cemas. Takut, jelas. Karena apa yang dilakukan Rafa sekarang sangat bisa mengancam keutuhan rumah tangga mereka.“Makanya, aku bilang diem!” balas Rafa hampir berbisik. Jemari telunjuknya menempel di bibirnya sendiri. Sejujurnya, dia juga takut ketahuan bertemu Aurel diam-diam seperti ini.Aurel menggigit bibir bawahnya. Rasanya ingin teriak, tapi tidak mungkin. “Kenapa kamu manggil aku ke sini?! Kamu ngga mikirin resikonya?!”“Lah, kamu sendiri ngga mikirin resiko kalau kita liburan bareng?&
Baca selengkapnya

#Bab 39. Liburan Dadakan

Butuh waktu hampir dua jam bagi Fathan sekeluarga untuk mendarat di Changi Airport.Aurel tidak berhenti memandangi sekeliling semenjak mereka menginjakkan kaki ke bandara itu. Ah, sebenarnya sejak dia menapakkan kaki di pesawat dan duduk di seat bussines class dengan flat bed yang sangat nyaman.‘O, seperti ini rasanya duduk di kursi kelas bisnis. Serasa jadi crazy rich.’ Itulah yang terpikirkan oleh Aurel. Selama ini dia hanya melihat di postingan para selebriti di media sosial mereka.Sebenarnya Fathan dan Davina bisa dikatakan crazy rich juga, mengingat mereka penerus perusahaan fashion retail, yang brand-brandnya berhamburan di mall-mall seluruh Indonesia ini. Tapi, mungkin karena kedua kakak-beradik itu jarang menampilkan kemewahan selain rumah dan mobil mereka, Aurel merasa hanya menikahi keluarga kaya biasa, bukan konglomerat.“Kamu pernah ke Singapur?” tanya Davina, yang berdiri di belakang Aurel ketika mereka menuruni lantai dengan eskalator. Hanya mengenakan kaos hitam deng
Baca selengkapnya

#Bab 40. Terlalu Banyak Bicara

Davina melipat kedua tangan di dada sambil berdiri di depan pintu kamarnya dan menghadap ke arah pintu kamar Fathan dan Aurel. Dia hanya berdecak sambil menggelengkan kepala melihat pasangan itu keluar dari kamar.Mereka sampai jam satu siang tadi di hotel ini. Sampai sore ini, Fathan dan Aurel sama sekali tidak keluar kamar. Bahkan, ikut mereka makan siang saja tidak.Rafa, yang tengah menggandeng kedua anak kembarnya dan berdiri cukup jauh dari mereka, sesekali melirik.“Kalian mau sampai kapan ada di dalam kamar? Katanya mau jalan-jalan, tapi malah mendep di dalam kamar,” omel Davina.“Maklumlah, Kak. Gini-gini, ’kan kami ini masih termasuk pengantin baru,” ujar Fathan sambil tersenyum malu.Aurel membelalakkan matanya akan kelugasan sang suami. “Ngga. Tadi itu kecapekan banget,” kilahnya lalu menatap sang suami yang menggeleng pelan. Tahu kalau alasannya seperti dibuat-buat, Aurel pun menggigit bibir bawahnya.Demi mencairkan suasana, Aurel menghampiri Davina, dan langsung meraih
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status