Fathan berdiri di depan rumah subsidi type 36, yang hanya berpagarkan kayu sebatas pinggang itu. Walaupun panas terik, dia tetap berdiri di depan pagar itu. Tujuannya tentu saja, menunggu sampai pintu dibukakan. Sementara itu, jemarinya menggenggam erat beberapa kantong belanjaan.
Matanya mengernyit karena matahari sore yang langsung menyerang tepat ke arahnya.
Fathan tidak terlalu menghiraukan pandangan ibu-ibu yang berkumpul di warung, dua rumah dari rumah ini. Dia hanya mengangguk pelan sebagai sapaan sopan.
Dilihat dari gelagat empat orang wanita itu yang hanya mengenakan daster, ada yang sambil menggendong anak, ada yang mendorong troller, sepertinya kegiatan kumpul itu memang rutin dilakukan setiap sore hari di komplek ini.
Mereka terus saja melirik ke arah Fathan, lalu berbisik-bisik. Bukan hanya Fathan yang menarik perhatian mereka, tapi juga mobil yang berhe
“Ssst!” Rafa hendak menutup mulut Aurel dengan tangannya. Tapi, tertahan di udara. Hanya berhenti di depannya saja.Aurel memukul pelan tangan Rafa itu.“Rafa?! Apa-apaan kamu?! Gimana kalau Davina atau Fathan, atau siapapun itu lihat?!” sergah Aurel dengan suara tertahan. Dia menoleh ke arah ujung lorong dengan tatapan cemas. Takut, jelas. Karena apa yang dilakukan Rafa sekarang sangat bisa mengancam keutuhan rumah tangga mereka.“Makanya, aku bilang diem!” balas Rafa hampir berbisik. Jemari telunjuknya menempel di bibirnya sendiri. Sejujurnya, dia juga takut ketahuan bertemu Aurel diam-diam seperti ini.Aurel menggigit bibir bawahnya. Rasanya ingin teriak, tapi tidak mungkin. “Kenapa kamu manggil aku ke sini?! Kamu ngga mikirin resikonya?!”“Lah, kamu sendiri ngga mikirin resiko kalau kita liburan bareng?&
Butuh waktu hampir dua jam bagi Fathan sekeluarga untuk mendarat di Changi Airport.Aurel tidak berhenti memandangi sekeliling semenjak mereka menginjakkan kaki ke bandara itu. Ah, sebenarnya sejak dia menapakkan kaki di pesawat dan duduk di seat bussines class dengan flat bed yang sangat nyaman.‘O, seperti ini rasanya duduk di kursi kelas bisnis. Serasa jadi crazy rich.’ Itulah yang terpikirkan oleh Aurel. Selama ini dia hanya melihat di postingan para selebriti di media sosial mereka.Sebenarnya Fathan dan Davina bisa dikatakan crazy rich juga, mengingat mereka penerus perusahaan fashion retail, yang brand-brandnya berhamburan di mall-mall seluruh Indonesia ini. Tapi, mungkin karena kedua kakak-beradik itu jarang menampilkan kemewahan selain rumah dan mobil mereka, Aurel merasa hanya menikahi keluarga kaya biasa, bukan konglomerat.“Kamu pernah ke Singapur?” tanya Davina, yang berdiri di belakang Aurel ketika mereka menuruni lantai dengan eskalator. Hanya mengenakan kaos hitam deng
Davina melipat kedua tangan di dada sambil berdiri di depan pintu kamarnya dan menghadap ke arah pintu kamar Fathan dan Aurel. Dia hanya berdecak sambil menggelengkan kepala melihat pasangan itu keluar dari kamar.Mereka sampai jam satu siang tadi di hotel ini. Sampai sore ini, Fathan dan Aurel sama sekali tidak keluar kamar. Bahkan, ikut mereka makan siang saja tidak.Rafa, yang tengah menggandeng kedua anak kembarnya dan berdiri cukup jauh dari mereka, sesekali melirik.“Kalian mau sampai kapan ada di dalam kamar? Katanya mau jalan-jalan, tapi malah mendep di dalam kamar,” omel Davina.“Maklumlah, Kak. Gini-gini, ’kan kami ini masih termasuk pengantin baru,” ujar Fathan sambil tersenyum malu.Aurel membelalakkan matanya akan kelugasan sang suami. “Ngga. Tadi itu kecapekan banget,” kilahnya lalu menatap sang suami yang menggeleng pelan. Tahu kalau alasannya seperti dibuat-buat, Aurel pun menggigit bibir bawahnya.Demi mencairkan suasana, Aurel menghampiri Davina, dan langsung meraih
Langkah kaki Rafa beriringan dengan Davina juga kedua anak mereka kembali menapaki Flower Dome.Rafa menoleh ke belakang pada Satrio dan Fathan, yang berjalan beriringan. Tapi, berbalik lagi karena sahabat lamanya itu malah memelototkan mata ke arahnya.Tidak jauh di depannya, Maya dan Aurel berjalan sambil bergandengan tangan. Tanpa sadar, Rafa tersenyum. Dia pernah melihat pemandangan punggung yang sama. Dulu, pas masih sekolah, dua wanita itu yang masih remaja juga menunggunginya sambil berjalan riang menusuri koridor sekolah. Sementara dia berjalan di belakang mereka, seperti saat ini.“Jadi, kalian nginep di Marina juga?” tanya Aurel tidak menyangka. Seharusnya mereka bisa bertemu di sana karena satu hotel, tapi malah bertemu di sini.Maya mengangguk mantap. “Iyalah. Percuma aja Satrio kerja dari pagi sampai malam kalau nginep di Marina aja ngga bisa,” ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Aurel.Saat itulah, Aurel tanpa sengaja melihat benda hitam terbang ke arahnya. So
Langit yang tadi teduh mulai mengabu dan dalam sekejap mata mulai menghitam. Aurel sudah berada di rerumputan, duduk dengan menjulurkan kakinya ke depan. Semilir angin malam menggoyangkan lembut pashmina, yang menjuntai dari lehernya.Kepalanya menoleh ke sisi kirinya. Sang suami berada tepat di sana, duduk sambil memeluk lututnya.Aurel menoleh ke sisi kanannya. Ada Davina, yang memangku Tania. Gadis kecil itu tertidur di pangkuan sang ibu. Hanya menoleh sedikit, Aurel bisa melihat kembar yang satu lagi tengah tertidur di atas lengan Rafa. Lelaki itu mengelus rambut anaknya yang menutupi wajah imut itu.Dan, entah dorongan apa, Rafa menegakkan pandangannya. Lantas, tatapannya bertemu dengan Aurel. Seakan saling terhipnotis, mereka saling enggan melepaskan pandangan. Bahkan, ketika lampu-lampu supertree mulai menari dengan indah.“Sayang, lihat, deh itu ....” Fathan hendak mengajak istrinya ikut berbahagia menyaksikan keindahan malam itu, namun kata-katanya terhenti. Sampai dua kali k
“Aurel!” lengkingan Putri membahana di ruang kamar inap itu. Untung hanya ada dirinya disitu, jadi tidak terlalu mengganggu penghuni kamar lainnya.Wanita berkulit kuning langsat itu langsung menegakkan punggungnya saat melihat sosok Aurel membuka pintu kamar. Satu set seragam pasien melekat di tubuhnya.“Mentang-mentang kamu udah kaya, ya!” sergahnya kesal.Aurel menempelkan telunjuk di atas bibirnya sambil melihat ke arah Putri, dan berjalan cepat menghampirinya.“Ada Fathan?” tanya Putri agak berbisik.“Iya,” jawab Aurel hanya dengan gerakan bibir.Putri pun menengok lagi ke arah pintu, benar saja, lelaki tampan itu tampak masuk belakangan sambil membawa parcel buah.“Hai, Put,” sapa Fathan sambil meletakkan keranjang buah di atas nakas, kemudian berdiri di samping istrinya.“Hai,” sapa Putri singkat, secepat lambaian tangannya.Aurel langsung mencubit pelan pinggang Putri, menyebabkan sepupunya itu mengaduh kesakitan.“Hai,” sapa ulang Putri dengan nada lebih lembut plus wajah ya
“Ada apa, Bu?” Terusik Feny saat melihat sang ibu berdiri di tepi jendela ruang tamu sambil melihat ke luar dari balik gorden. Mulanya Feny tidak mau tahu, tidak mau peduli juga, tapi ketika melihat sang ibu begitu bersemangat, dia pun jadi ingin tahu apa yang terjadi.“Itu ....” Suwarni menoleh sesekali saat menjawab. Fokusnya tetap apa yang terjadi di luar. “Kayaknya tanah kosong yang di taman ujung itu mau dibangun, deh. Ngga tahu apa. Padahal kata developer-nya kemarin mau dijadiin taman, 'kan. Tapi, udah lima tahun ini belum ada perkembangan apa-apa di sana.”Feny pun mendekat juga ke jendela sambil menggendong Ghani.Tidak puas hanya ada di dalam dan tidak mendapatkan informasi apa-apa, Suwarni pun meraih gagang pintu dan langsung keluar rumah.“Bu!” Feny hendak menghentikannya, tapi terlambat. Meragu apakah harus ikut ibunya keluar, Feny memilih untuk melihat dulu dari sini.Suwarni berdiri di dekat pagar. Beberapa tetangga juga sepertinya terusik dengan keributan di luar dan b
Setelah yakin pintu tertutup rapat dan wanita berwajah imut tadi sudah pergi dari ruangan ini, Feny pun menatap Fathan kembali. Dia menunggu lelaki itu untuk berada di depannya.“Kenapa kamu ....”“Ngga mau duduk dulu?” potong Fathan seraya menunjukkan sofa kulitnya.Feny melirik kursi, yang terlihat elegan sekaligus mahal itu. Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, masih berdiri di tempatnya. “Aku sudah tegaskan sama kamu kalau jangan ikut campur tentang kehidupanku.”“Bukannya waktu itu kamu yang duluan mencampuri urusanku?”Feny mengernyitkan keningnya, berusaha mengingat. “Kapan?”Fathan mencondongkan wajahnya agar bisa melihat kedua mata Feny, tanpa wanita itu bisa hindari. Dia ingin melihat dengan jelas kejujuran di mata wanita itu. “Kamu yang duluan menunjukkan diri di depan Aurel, juga di depan keluargaku.”Kening Feny kian mengkerut jelas saat berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Kerutan itu menghilang bersamaan dengan bayangan dirinya yang bertemu dengan Aurel di
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada