“Aurel!” lengkingan Putri membahana di ruang kamar inap itu. Untung hanya ada dirinya disitu, jadi tidak terlalu mengganggu penghuni kamar lainnya.Wanita berkulit kuning langsat itu langsung menegakkan punggungnya saat melihat sosok Aurel membuka pintu kamar. Satu set seragam pasien melekat di tubuhnya.“Mentang-mentang kamu udah kaya, ya!” sergahnya kesal.Aurel menempelkan telunjuk di atas bibirnya sambil melihat ke arah Putri, dan berjalan cepat menghampirinya.“Ada Fathan?” tanya Putri agak berbisik.“Iya,” jawab Aurel hanya dengan gerakan bibir.Putri pun menengok lagi ke arah pintu, benar saja, lelaki tampan itu tampak masuk belakangan sambil membawa parcel buah.“Hai, Put,” sapa Fathan sambil meletakkan keranjang buah di atas nakas, kemudian berdiri di samping istrinya.“Hai,” sapa Putri singkat, secepat lambaian tangannya.Aurel langsung mencubit pelan pinggang Putri, menyebabkan sepupunya itu mengaduh kesakitan.“Hai,” sapa ulang Putri dengan nada lebih lembut plus wajah ya
“Ada apa, Bu?” Terusik Feny saat melihat sang ibu berdiri di tepi jendela ruang tamu sambil melihat ke luar dari balik gorden. Mulanya Feny tidak mau tahu, tidak mau peduli juga, tapi ketika melihat sang ibu begitu bersemangat, dia pun jadi ingin tahu apa yang terjadi.“Itu ....” Suwarni menoleh sesekali saat menjawab. Fokusnya tetap apa yang terjadi di luar. “Kayaknya tanah kosong yang di taman ujung itu mau dibangun, deh. Ngga tahu apa. Padahal kata developer-nya kemarin mau dijadiin taman, 'kan. Tapi, udah lima tahun ini belum ada perkembangan apa-apa di sana.”Feny pun mendekat juga ke jendela sambil menggendong Ghani.Tidak puas hanya ada di dalam dan tidak mendapatkan informasi apa-apa, Suwarni pun meraih gagang pintu dan langsung keluar rumah.“Bu!” Feny hendak menghentikannya, tapi terlambat. Meragu apakah harus ikut ibunya keluar, Feny memilih untuk melihat dulu dari sini.Suwarni berdiri di dekat pagar. Beberapa tetangga juga sepertinya terusik dengan keributan di luar dan b
Setelah yakin pintu tertutup rapat dan wanita berwajah imut tadi sudah pergi dari ruangan ini, Feny pun menatap Fathan kembali. Dia menunggu lelaki itu untuk berada di depannya.“Kenapa kamu ....”“Ngga mau duduk dulu?” potong Fathan seraya menunjukkan sofa kulitnya.Feny melirik kursi, yang terlihat elegan sekaligus mahal itu. Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, masih berdiri di tempatnya. “Aku sudah tegaskan sama kamu kalau jangan ikut campur tentang kehidupanku.”“Bukannya waktu itu kamu yang duluan mencampuri urusanku?”Feny mengernyitkan keningnya, berusaha mengingat. “Kapan?”Fathan mencondongkan wajahnya agar bisa melihat kedua mata Feny, tanpa wanita itu bisa hindari. Dia ingin melihat dengan jelas kejujuran di mata wanita itu. “Kamu yang duluan menunjukkan diri di depan Aurel, juga di depan keluargaku.”Kening Feny kian mengkerut jelas saat berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Kerutan itu menghilang bersamaan dengan bayangan dirinya yang bertemu dengan Aurel di
Feny tersentak kaget karena pintu dorong itu terbuka tiba-tiba. Dan sosok Fathan yang muncul dari sana, entah kenapa auranya sangat menakutkan. “Apa?!” sergahnya kesal karena tingkah Fathan itu sudah membuat jantungnya bekerja keras.Fathan masuk ke ruangan itu dan menutup pintunya lagi. Satu tangannya menepuk keras dinding, tepat di samping Feny.Wanita itu sampai menutup matanya sesaat, lalu menatap tajam Fathan. “Apa, sih?!”“Kamu mendengarkan semua yang kami bicarakan?” tudingnya.“Aku tidak sengaja mendengarkannya,” kilah Feny seraya menghindari tatapan Fathan. “Lagian, ngga ada penting-pentingnya juga. Kamu cemburu kakak iparmu memiliki rasa sama istrimu. Setelah kupikir, kakak iparmu itu lebih cakep. Yang kita ketemu hari itu, kan?”“Kamu bilang ngga sengaja dengar, tapi malah menarik kesimpulan. Apa lagi rencanamu?” Fathan menatap wanita itu lebih lekat.Melihat wajah Fathan yang kian mendekat, jantung Feny kian tidak menentu. Dia mendorong sedikit tubuh lelaki itu dan bergegas
Selama di dalam lift, tangan Davina berlipat di dada, jemarinya mengetuk di atas lengan. Pandangannya sempat melirik angka lift yang terus naik, bukannya turun, padahal tujuannya adalah lantai dasar. Tapi, Davina tidak mempermasalahkan itu. Mungkin ada yang mau turun juga, makanya lift ini memilih untuk naik terlebih dahulu.Pikiran Davina lebih ke apa yang terjadi barusan di kantor adiknya. Terlalu janggal dan menumbuhkan banyak tanda tanya di benak Davina.‘Siapa yang disembunyikan oleh Fathan? Wajar jika dia menyembunyikannya dari orang lain, tapi dariku, kakaknya sendiri?’Saat lift terbuka, padahal bukan lantai tempatnya turun, Davina dikejutkan oleh sosok yang muncul ikut masuk. Dia langsung berpaling muka ketika menyadari siapa sosok itu. ‘Jangan berdiri di samping aku,’ mohon benaknya.Tentu saja orang itu tidak mendengar ucapan batinnya karena langsung berdiri di sisi kiri Davina. Dia menoleh pada sosok wanita yang tingginya tidak terlalu jauh dengannya itu.“Bukannya kamu ng
Kedua tangan Davina melipat di dada. Jemarinya mengetuk lengannya. Sementara itu, tatapannya tertuju lurus ke depan. Lalu, beralih ke sebelah kiri, pada sosok bayi yang terbaring di atas stroller bayi.Tebakan Davina bayi yang sedang tertidur itu sudah berumur satu tahun lebih. Tubuhnya yang gempal juga pipinya yang menggemaskan itu menipu penglihatan setiap orang, membuatnya terlihat seperti sudah berumur dua tahun.“Satu tahun ....” Tebakan Davina menggantung di udara.“Lima bulan,” jawab Feny cepat. Dia tahu kalau Davina meminta dirinya untuk menyambung kalimat itu.Davina mengangguk lagi. Kerutan di keningnya menandakan bahwa dia masih berpikir keras. Selagi menarik napas, dia menatap Feny.“Aku sama sekali tidak meminta Fathan untuk bertanggung jawab,” ujar Feny tanpa diminta. Karena dia sudah bisa menebak apa yang dipikirkan Davina.“Fathan berhak untuk tahu. Begitu juga aku sebagai keluarganya. Bagaimanapun darahku juga mengalir di dalam darahnya.”“Aku takut kalau kalian akan
Keadaan sudah mulai tenang di kantornya. Pena dan kertas yang tadi berantakan sudah kembali ke atas meja dan dalam keadaan rapi. Fathan pun bisa kembali fokus dengan pekerjaannya yang tertunda.Cahaya sore yang masuk lewat kaca di belakangnya, menyinari sosok Fathan hingga menciptakan siluet bagai mahakarya.Rambutnya bergaya ivy league, panjang di bagian depan dan digeser ke samping. Ada sedikit helai rambut yang tidak menurut dan menjuntai di keningnya. Namun, tidak menghalangi penglihatannya karena tidak lebih panjang dari alis.Sambil membaca laporan, Fathan memainkan pena di antara sela jemarinya.Tidak terasa, jam yang melingkar di pergelangan tangannya hampir berhenti di angka 12 sementara jarum pendeknya di angka empat. Sudah lebih dari dua jam sejak Feny meninggalkan ruangan ini.Ada getaran singkat di meja, berasal dari ponsel di sisi kirinya
Baru saja Aurel merebahkan punggungnya di atas tempat. Toko rotinya sangat ramai hari ini. Kakinya lelah seharian berdiri. Sebenarnya bisa saja dia memilih untuk bersantai di dalam ruang kerjanya yang ada di lantai dua. Tapi, keadaan toko yang ramai harus membuatnya ikut turun tangan.“Atau, aku cari aja pegawai baru lagi, ya? Bantuin bagian kasir aja kalau lagi rame kayak tadi,” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.Aurel meraih ponselnya, lalu asyik menekan touchscreen.“Lita, besok kamu bikin pengumuman lowker staff kasir, ya.” Sambil mengetik chat, Aurel juga membacakan apa yang diketiknya itu.Tepat setelah mengirimkan pesan itu, Aurel mendengar suara pintu pagar terbuka. Dia pun beringsut ke tepi tempat tidur, lalu menuju sofa yang ada di pinggir jendela. Dari sini, bisa terlihat pintu pagar dengan jelas. Hanya tempat parkir mobil yang tidak terlalu terlihat.Mobil berbahan bakar disel itu memasuki perkarangan rumah dan dengan apiknya nampak memasuki garasi terbuka.“Kaya
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada