Home / Pernikahan / Mantan Istri Jadi Adik Ipar / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Mantan Istri Jadi Adik Ipar: Chapter 21 - Chapter 30

83 Chapters

#Bab 21. (Mantan) Mertua

“Mau makan apa?” tanya Rafa seraya memalingkan wajah dari deretan etalase makanan. Di dekatnya juga ada beberapa siswa yang kebingungan harus memilih apa. Sedangkan di bangku-bangku kantin sudah hampir terisi penuh. Dia harus buru-buru kalau mau dapat tempat duduk.Di sebelahnya, Aurel masih memandangi etalase penjual makanan satu-persatu. “Yang di ujung itu apa, ya? Agak rame dari tadi. Belum pernah lihat juga.”Rafa memanjangkan leher supaya bisa melihat spanduk di bagian atas. “Siomay. Baru jualan kayaknya. Mau coba yang itu?”Aurel mengangguk. “Aku cari tempat duduk. Kamu yang pesen, ya?” cetusnya sambil berbalik dan menyisir bangku-bangku dengan matanya.Aurel langsung menemukan tempat duduk. Di sudut, dekat pintu masuk. Ketika duduk, dia bisa melihat Rafa tengah mengambil es teh kemasan dari dalam lemari pendingin. “Rel, kamu sama, Rafa?” Seorang siswa dengan rambut keriting mengembang sebatas leher datang sambil membawa
Read more

#Bab 22. Teman Bersama

Tumpukan map di depan Rafa menjadi prioritas utama lelaki itu pagi ini. Absen kantor serta laporan kinerja dari pegawai honorer yang harus dicek dan ditandatangani. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Rafa sengaja mematikan nada deringnya yang menurutnya mengganggu. Getaran sudah cukup memberitahunya kalau ada yang menelepon. Tanpa melihat, di raihnya ponsel itu.“Ya?”“Pa.” Suara Davina. Ketegasan nadanya sangat khas sekali. “Ya, Ma.”“Kayaknya aku ngga bisa jemput Aurel di rumah sakit,” ucapnya. Sebuah pernyataan.Rafa meletakkan penanya. Pandangannya langsung tegak. “Kenapa?” Keningnya berkerut. Otaknya berusaha menebak apa maksud Davina memberitahukan hal itu.“Mau nganter si kembar playgroup. Papa lupa? Wajar, Mama juga lupa, kok.” Davina memerhatikan kedua anaknya yang bermain di kursi belakang, mengenakan seragam putih krem. Lalu, ke
Read more

#Bab 23. Pedih

Fathan terus melihat jam tangannya. Entah apa yang dia harapkan. Jarum jamnya berhenti atau berputar lebih cepat? Yang pasti dia terlihat sangat gusar. Kaki kirinya terus bergerak dan benaknya diselimuti sensasi tidak nyaman.Pintu terbuka. Seorang lelaki yang mengenakan jas hitam rapi masuk, lantas mendekati meja Fathan. Tubuhnya tegap. Wajahnya kaku dan tampak serius. “Lima belas menit lagi rapat mau dimulai, Pak,” lapornya.Fathan menghela napas sesaat setelah lelaki itu pergi. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya untuk yang kesekian kali. Jam sepuluh tepat itu masih lima belas menit lagi. Waktu yang sama dengan kepulangan Aurel dari rumah sakit.“Maaf, Pak, Ibu. Saya tidak bisa menjaga Aurel dengan baik.” Fathan hanya bisa menunduk, malam itu. Kedua tangannya bertumpu di paha. Malu rasanya mengangkat pandangan dan harus melihat wajah orang tua Aurel yang tampak bersedih.Mereka ber
Read more

#Bab 24. Curiga Berbalut Kecemburuan

Fathan langsung menghempaskan punggungnya ke kursi. Beban di pundaknya terasa sangat berat hingga butuh penopang. Kedua tangannya memegangi setir. Dia menekan tombol start tapi hanya berdiam diri sambil melihat kekejauhan. Di luar sana hanya ada deretan mobil yang di parkir.Fathan menoleh sesaat ke arah pintu masuk ruang IGD saat mobil ambulans datang dan langsung berhenti di sana. Bayangan dirinya yang bersembunyi di balik dinding depan pintu IGD kemarin terngiang kembali. Sosok mertuanya yang langsung menghampiri Rafa dan memarahinya. Tidak seharusnya. Karena Fathan-lah menantu mereka. Dialah yang seharusnya ditegur oleh mereka.‘Karena mereka masih terbawa suasana kalau Rafa adalah menantu mereka. Tidak.'Fathan menutup matanya seperti menahan sakit. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa pening. ‘Kenapa aku ngga mengenali pertandanya. Tidak. Bukan sejak hari itu saja. Se
Read more

#Bab 25. Penyakit Lama yang Kambuh

Davina menengok jam digital di atas nakas, tepat di samping tempat tidur. Jam menunjukkan pukul dua pagi lewat lima belas menit. Lalu, menatap suaminya.Rafa mondar-mandir saja kerjaannya sedari tadi. Entah sudah berapa kali dia menempelkan ponsel di telinga, atau kalau bosan, dia nyalakan loudspeaker.“Belum diangkat juga?”Rafa menggeleng. “Nyambung. Tapi, ngga diangkat.”Davina berdecak. “Ke mana, sih dia? Sadar ngga, sih kalau dia itu sudah bukan bujangan lagi?!” Sebagai kakak kandung dari Fathan, dia malu akan perbuatan adiknya yang belum pulang sampai larut malam begini. Padahal, ada istrinya yang menunggu di rumah. Terlebih lagi keadaan istrinya yang belum sehat betul.Rafa duduk di tepi dinding kaca. Sumpah serapah ingin diteriakkannya saat ini.Tiba-tiba terdengar suara pagar depan berdecit, tanda kalau ada yang menggesernya.Rafa dan Davina serentak saling bertu
Read more

#Bab 26. Pulanglah, Suamiku

Aurel beringsut ke tepi tempat tidur tidak lama setelah suara adzan Subuh  berkumandang dari masjid di ujung jalan perumahan ini. Dia menoleh ke belakang, pada sosok Fathan yang mendengkur samar. Tidurnya pasti sangat pulas. Bau alkohol itu sudah memudar, tapi masih tercium. Aurel mengusap wajahnya. Tanpa kata, dia bergerak ke kamar mandi. Hendak mengambil wudhu. Tangannya sudah tak tahan ingin menengadah, meminta pertolongan pada Yang Maha Kuasa.Ketika matahari sudah mulai meninggi dan Aurel sudah siap hendak pergi, Fathan tidak jua menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Pose tidurnya sama sekali tidak berubah dari semalam, terlentang dengan mulut sedikit menganga. “Aku pergi kerja dulu. Pakaian kamu sudah aku siapkan. Teh nya jangan lupa diminum mumpung masih hangat.” Hanya itu yang dia tuliskan di memo kuning di atas nakas, di tepi cangkir teh bertutup.Sebelum beranjak keluar kamar, Aurel sempatkan diri me
Read more

#Bab 27. Seharusnya Lari Saja

Secarik memo yang tadi ditinggalkan Aurel tergeletak di atas tempat tidur. Sementara, tutup cangkir begitu juga posisi cangkir itu sama sekali tidak berubah.Pantulan wajah Fathan tertera di kaca sebatas pinggang yang memagut dinding. Jemarinya melepaskan dasi biru gelap yang tadi disiapkan oleh istrinya. Benaknya menolak tampil lebih rapi. Bahkan dua kancing kemejanya dilepas begitu saja.Fathan menggaruk alisnya, lalu mengusap wajahnya. Hal yang dibencinya terjadi lagi, senyuman wanita ber-dress merah maroon itu terlintas lagi dalam pikirannya. Jemari Fathan mengepal, lantas mendarat cepat di dinding samping kaca. Dia benci perasaan yang mengular di benaknya ini. Hati yang merasa bersalah pada Aurel jika teringat pada wanita itu lagi. ‘Kenapa aku selalu teringat akan wanita itu. Aku benci perasaan ini. Aku tidak mau disamakan dengan Aurel, yang pastinya masih menyimpan perasaan pada Rafa!’
Read more

#Bab 28. Malam itu, Saat Kita Bertemu

24 bulan yang lalu ....Kaca bulat seukuran telapak tangan terangkat sejajar wajah. Pantulan wajah Feny yang full make-up terlihat jelas. Ya, Feny tengah mengoreksi penampilan bagian atasnya itu. Apakah ada yang salah? Setelah yakin semuanya sempurna seperti yang dia inginkan, kaca itu kembali masuk ke dalam tas tangannya. Kali ini jemari lentik berhiaskan nail art merah maroon bercampur gold itu meraih ponsel pintar dari dalam tas. Feny menyalakan kamera, lalu memanjangkan lengannya. Lantas, dia tersenyum begitu manis juga dibuat-buat imut. Beberapa pose dia lakukan. Tiba-tiba ponselnya bergetar diikuti muncul notifikasi di layar. Nomor tidak dikenal. Tapi, Feny tahu kalau nomor itu sempat menghubunginya tadi siang.“Ya? This is Cantika’s speaking,” jawabnya dengan suara yang sok dimuda-mudain.“Suite Room 656. Langsung masuk saja,” ujar suara berat yang ada di seberang. Hanya itu yang terdengar karena panggilan itu langsung
Read more

#Bab 29. Manusia Pendusta

Kedua tangan Feny berlipat di dada. “Kamu ngomongin apa, sih?! Seharusnya kamu itu nanya, apa aku pulang dengan selamat karena pergi tengah malam setelah mengantarmu.” Dia memalingkan pandangan, menatap ke arah outdoor kembali. “Sungguh ngga ada sopan santun. Berbanding terbalik dengan hartanya,” gumamnya kesal.Fathan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. Suaranya pelan, tapi terdengar tegas. “Jangan pernah mengalihkan pembicaraan. Aku ngga suka orang seperti itu,” ucapnya lalu kembali memundurkan tubuhnya.Kerutan di kening Feny terlihat jelas saat tatapannya kembali pada Fathan. Tapi, hanya sebentar. “Dan, aku juga ngga lagi berusaha disukai sama kamu, kok, wahai Mr. Fathan!” dumelnya seraya melipat kedua tangan di dada. Helaannya terdengar saat berpaling muka lagi.Fathan beranjak dari tempat duduknya, meraih lengan Feny agar berbalik. Dia jengah karena sedari tadi wanita berambut pan
Read more

#Bab 30. Situasi Yang Paling Dibenci

Dengan senyuman terulas manis di wajahnya, Aurel mengambil kemeja putih dari dalam walk in closet. Kemudian, memilihkan celana dan jas warna senada.Hal ini adalah salah satu kegiatan kesukaannya selama menjadi istri Fathan. Menyiapkan fashion suaminya saat bekerja. Apalagi, memilih dari walk in closet seluas ini. Langkahnya bersemangat ke luar dari ruangan itu.  Di tepi tempat tidur, Fathan sudah menunggunya. Hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawah perut hingga ke paha. Sementara tubuh bagian atasnya tanpa helai, sehingga memamerkan dada bidang dan otot perutnya dengan bebas.“Gimana?” tanya Aurel sambil memamerkan pakaian pilihannya.Fathan tersenyum, lantas berdiri. Dia
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status