Lavina terdengar menghela napas berat, dan ia diam saja dalam pelukan Auriga. Tidak memberontak, tapi juga tidak membalas pelukannya. Itu membuat Auriga merasa kehilangan.Auriga berkata, “Malam ini kita tidur dalam keadaan gelap saja, ya? Kamu nggak takut kalau—”“Kamu sengaja matiin lampunya, Mas?” sela Lavina seraya melepaskan diri dari pelukan Auriga.Auriga mengerjap.“Di gedung apartemen sebelah nyala, lho. Mas pikir aku bodoh, apa.”“Eh, itu….” Auriga meringis seraya mengusap tengkuk. Lantas mengikuti Lavina yang berjalan menuju meteran listrik di dekat pintu. “Iya, aku memang sengaja melakukannya, Love, supaya kamu keluar. Aku kangen kamu.”Lavina hanya berdecak lidah. Kemudian ia menyalakan meteran listrik tersebut, hingga rumahnya seketika terang benderang. Sekarang Auriga bisa melihat dengan jelas ekspresi Lavina yang masih tampak ditekuk.“Yah… mati lagi, ‘kan? Gara-gara kamu sih, Mas, lampu di kamar aku jadi mati lagi,” gerutu Lavina dengan bibir cemberut.Pandangan Aurig
Read more