“Benar.” Park Min Ju tampak tersenyum canggung. “Aku ingin memastikan kalau lampu kamarnya sudah tidak ada masalah lagi, dan saluran airnya sudah berfungsi dengan normal.”Kening Auriga berkerut semakin dalam. “Lampu kamar dan saluran airnya rusak?”“Benar.”“Kau yang membetulkannya?”“Ya, saya selalu berusaha siap saat Lavina membutuhkan pertolongan.”Kata-kata Park Min Ju memang diucapkan dengan ramah, tapi itu justru membuat dada Auriga seketika dilalap api cemburu.Membayangkan ada lelaki lain yang masuk ke apartemen istrinya dan mereka hanya berdua di dalam, membuat darah Auriga terasa mendidih. Namun, ia berusaha mengontrol diri di depan Park Min Ju.“Terima kasih banyak sudah membantu istriku. Kau tetangga yang sangat baik,” puji Auriga sambil menekankan kata tetangga, agar Park Min Ju sadar bahwa dia hanyalah tetangga Lavina. Tidak lebih.“Tapi kau tidak perlu khawatir, saluran air dan lampunya sama sekali tidak ada masalah lagi. Kau tidak perlu memeriksanya ke dalam," lanjut
Grup chat keluarga Ivander.Auriga: [Mengirim gambar hasil USG Lavina]Mommy: Bang, Lavina hamil?!!Archer: Siapa yang hamil?Mommy: Lavina dong, Kak! Siapa lagi?Archer: Oh. Kali aja wanita lain, Mom.Mommy: Hush! Jangan sembarangan ngomong.Mommy: Abang kenapa tiba-tiba menghilang? Tanggung jawab dong! Jangan bikin Mommy penasaran. Lavina benar-benar hamil?Cassie: Tahu, tuh. Habis bikin orang penasaran malah kabur.Archer: Sengaja kayaknya bikin kita penasaran. Mau berubah jadi orang misterius dia.Auriga: Sorry, barusan ada perlu dulu sama istri.Archer: Urusan apa? Bikin kusut seprai?Cassie: Kak Archer! Kamu lupa adikmu ini masih suci?Archer: Oops! Jomblo nggak diajak.Cassie: Jahat!Mommy: Abang ke mana lagi? Kok ngilang lagi? Ini gambar USG Lavina, kan?Auriga: Yes, Mommy. Lavina hamil baru 7 minggu.Mommy: Ya Tuhan… Serius?Auriga: Serius, Mom.Mommy: Selamaaaat ya Bang dan menantu Mommy! Aduh, Mommy sampai gemetar ini ngetiknya. Tunggu, Mommy mau nelepon Lavina sekarang.Au
Auriga memejamkan mata sejenak dan berusaha mengatur napas. “Jangankan memelukku begini, aku cuma lihat kamu jalan di depanku pakai pakaian tertutup saja sudah membuat dia bangun,” gumamnya pasrah.Namun, Lavina tidak menghiraukan gumaman sang suami. Ia justru malah semakin mengeratkan pelukannya dan mengecup punggung Auriga, yang membuat pria itu semakin menegang.“Love, please…,” bisik Auriga dengan suara yang mendadak berubah berat.“Apa? Aku nggak ngapa-ngapain, kok. Cuma meluk kamu doang, Mas.” Lavina menempelkan pipi di punggung Auriga. “Oh ya, Mas. Habis makan aku pengen beli es krim, ya!”Auriga mematikan kompor, lalu ia berbalik menghadap Lavina dan memeluk pinggangnya. “Oke,” jawabnya sambil mengerjap. “Apapun akan kulakukan untukmu.”Lavina tersenyum dengan riang, seperti anak kecil yang dikabulkan keinginannya oleh orang tuanya. Ia berjinjit dan mendaratkan bibirnya di atas bibir Auriga, hingga pria itu tampak membeku dengan ekspresi menegang.Buru-buru Lavina melepaskan d
“Dulu, Mas gini juga nggak ke Kak Flora?”Auriga mengerjap.Pertanyaan Lavina terdengar lebih horor ketimbang cerita hantu yang paling menakutkan sekalipun.Dengan susah payah Auriga menelan saliva, kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas.“Untuk apa kamu bertanya masa lalu, hem?” Suara Auriga terdengar lembut, jemarinya mengelus pipi Lavina.“Ya tinggal jawab aja sih, Mas. Aku ‘kan penasaran.” Lavina mengerjap lucu. “Iya atau nggak? Jawab, Mas.”“Sayang….” Auriga mengubah posisi duduknya menjadi lurus menghadap Lavina, satu kakinya terlipat di atas sofa, dan kaki yang lain turun ke lantai. “Apa yang terjadi di masa lalu, sudah nggak bisa aku ubah lagi. Tapi seperti yang pernah aku bilang, aku bisa memperbaiki saat ini dan masa depan.”“Mas ini kok bahasannya kesitu sih. Kayak yang mau menghindar, tahu.”“Lav….”“Aku pengen tahu gimana waktu kehamilan Aurora, Mas,” ucap Lavina lagi dengan wajah memelas. “Mas pasti bahagia banget ya waktu Mas mau punya anak pertama. Soalnya sekar
Lavina terdengar menghela napas berat, dan ia diam saja dalam pelukan Auriga. Tidak memberontak, tapi juga tidak membalas pelukannya. Itu membuat Auriga merasa kehilangan.Auriga berkata, “Malam ini kita tidur dalam keadaan gelap saja, ya? Kamu nggak takut kalau—”“Kamu sengaja matiin lampunya, Mas?” sela Lavina seraya melepaskan diri dari pelukan Auriga.Auriga mengerjap.“Di gedung apartemen sebelah nyala, lho. Mas pikir aku bodoh, apa.”“Eh, itu….” Auriga meringis seraya mengusap tengkuk. Lantas mengikuti Lavina yang berjalan menuju meteran listrik di dekat pintu. “Iya, aku memang sengaja melakukannya, Love, supaya kamu keluar. Aku kangen kamu.”Lavina hanya berdecak lidah. Kemudian ia menyalakan meteran listrik tersebut, hingga rumahnya seketika terang benderang. Sekarang Auriga bisa melihat dengan jelas ekspresi Lavina yang masih tampak ditekuk.“Yah… mati lagi, ‘kan? Gara-gara kamu sih, Mas, lampu di kamar aku jadi mati lagi,” gerutu Lavina dengan bibir cemberut.Pandangan Aurig
“Love, kamu nggak pengen sesuatu gitu?”Lavina yang tengah mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk, menggeleng. “Nggak, Mas. Kenapa?”“Sejak kamu ngidam es krim campur saos tomat, sampai sekarang kamu nggak ngidam lagi.” Auriga berkata sambil mengeluarkan baju miliknya dan baju Lavina dari dalam lemari.“Ooh… nggak pengen aja kali, Mas.”“Serius?”“Hm.”Auriga menaruh pakaian untuk mereka berdua di atas kasur, lalu masih dengan handuk putih yang melilit pinggang Auriga menghampiri Lavina, diraihnya hairdryer yang baru saja Lavina keluarkan dari dalam laci.“Aku bantu keringkan rambut kamu, Lav. Duduk di sini,” kata Auriga, ia mendorong bahu Lavina dengan lembut dan mendudukkannya di kursi meja rias, menghadap cermin.Lavina menurut. Pipinya tersipu-sipu saat menatap Auriga yang berdiri menjulang tinggi di belakangnya.Pria itu sempat melirik Lavina melalui cermin seraya menunduk, lalu tersenyum kecil, sebelum ia kembali fokus pada rambut basahnya.Andai Auriga tahu, matanya ya
“Buka dulu, Sayang,” ucap Gendarly, “Mommy penasaran apa isinya.”Aurora mengangguk. Tangan mungilnya kemudian merobek kertas pembungkus dengan tidak beraturan. Lalu ia mengumpulkan kertas-kertas tersebut supaya tidak berceceran.Aurora mengeluarkan isi kotak tersebut—yang merupakan sebuah bando kecil berbahan metalik dengan motif bintang kristal, dan selembar foto hitam yang tidak begitu menarik bagi Aurora.“Ini apa, Daddy? Kok gambarnya hitam gini? Daddy fotoin apaan, sih?”Auriga tersenyum kecil. “Ini foto calon adik Aurora.”“Adik?” Aurora mengerutkan kening seraya menilik foto itu dengan kepala dimiringkan, ia tampak tidak percaya dengan ucapan ayahnya. “Daddy jangan bohong. Masa foto adik begini? Kepalanya mana? Kaki dan tangannya mana? Ini kan cuma gambar seperti gelembung doang.”Terdengar tawa Lavina dan Gendarly yang bersahutan. Mereka tidak berniat menyela percakapan Auriga dan Aurora.Alih-alih menjawab, Auriga malah memasangkan bando metalik itu di kepala Aurora. “Ini ba
Lavina tercengang.Mulutnya ternganga, matanya membulat sempurna kala melihat lautan paket di hadapannya.Ia baru saja pulang dari kampus dan sudah disambut oleh puluhan paket yang tak pernah ia beli.“Mom…,” gumam Lavina seraya mengerjapkan mata berkali-kali, berharap ia salah lihat. Lalu menaikkan pandangannya ke arah sang ibu mertua, yang berdiri di hadapannya—terhalang oleh puluhan paket itu. “Ini benar untuk aku? Kurirnya nggak salah alamat, ‘kan?”Gendarly menggeleng seraya mengerutkan kening, seolah sedang berpikir. “Nggak, Sayang. Mommy lihat di resinya nama kamu, kok, dan alamatnya memang rumah ini.”“Mungkinkah ada nama Lavina yang lain di apartemen ini, Mom?” gumam Lavina lagi dengan ekspresi kebingungan. “Aku nggak pesan apa-apa di online shop.”“Hmm….” Gendarly mengusap-usap dagu. “Kenapa bisa, ya? Tapi Mommy juga yakin, kamu bukan tipe orang yang akan beli barang sebanyak ini.”Lavina berjongkok untuk memastikan sekali lagi nama dan alamat yang tertera pada kertas di set
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab