“Buka dulu, Sayang,” ucap Gendarly, “Mommy penasaran apa isinya.”Aurora mengangguk. Tangan mungilnya kemudian merobek kertas pembungkus dengan tidak beraturan. Lalu ia mengumpulkan kertas-kertas tersebut supaya tidak berceceran.Aurora mengeluarkan isi kotak tersebut—yang merupakan sebuah bando kecil berbahan metalik dengan motif bintang kristal, dan selembar foto hitam yang tidak begitu menarik bagi Aurora.“Ini apa, Daddy? Kok gambarnya hitam gini? Daddy fotoin apaan, sih?”Auriga tersenyum kecil. “Ini foto calon adik Aurora.”“Adik?” Aurora mengerutkan kening seraya menilik foto itu dengan kepala dimiringkan, ia tampak tidak percaya dengan ucapan ayahnya. “Daddy jangan bohong. Masa foto adik begini? Kepalanya mana? Kaki dan tangannya mana? Ini kan cuma gambar seperti gelembung doang.”Terdengar tawa Lavina dan Gendarly yang bersahutan. Mereka tidak berniat menyela percakapan Auriga dan Aurora.Alih-alih menjawab, Auriga malah memasangkan bando metalik itu di kepala Aurora. “Ini ba
Lavina tercengang.Mulutnya ternganga, matanya membulat sempurna kala melihat lautan paket di hadapannya.Ia baru saja pulang dari kampus dan sudah disambut oleh puluhan paket yang tak pernah ia beli.“Mom…,” gumam Lavina seraya mengerjapkan mata berkali-kali, berharap ia salah lihat. Lalu menaikkan pandangannya ke arah sang ibu mertua, yang berdiri di hadapannya—terhalang oleh puluhan paket itu. “Ini benar untuk aku? Kurirnya nggak salah alamat, ‘kan?”Gendarly menggeleng seraya mengerutkan kening, seolah sedang berpikir. “Nggak, Sayang. Mommy lihat di resinya nama kamu, kok, dan alamatnya memang rumah ini.”“Mungkinkah ada nama Lavina yang lain di apartemen ini, Mom?” gumam Lavina lagi dengan ekspresi kebingungan. “Aku nggak pesan apa-apa di online shop.”“Hmm….” Gendarly mengusap-usap dagu. “Kenapa bisa, ya? Tapi Mommy juga yakin, kamu bukan tipe orang yang akan beli barang sebanyak ini.”Lavina berjongkok untuk memastikan sekali lagi nama dan alamat yang tertera pada kertas di set
“Mas!” seru Lavina dengan tatapan tak percaya. “Mas Auriga di sini? Aku nggak salah lihat, ‘kan?”Auriga menoleh. Senyuman lembut terlukis di bibirnya yang membuat Lavina yakin kalau pandangannya masih berfungsi dengan baik. Tidak salah lagi. Auriga memang berada di hadapannya saat ini.“Iya, Love. Aku di sini.” Auriga mendekati Lavina, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Untuk kamu. Dan untuk anak-anak kita.”Lavina balas memeluk pinggang Auriga, jantungnya seketika berdebar-debar dan hatinya kembali terasa penuh. “Selamat datang di rumah, Mas.”“Iya.” Auriga mengecup puncak kepala Lavina dengan mesra. “Ke manapun aku pergi, kamu akan selalu jadi rumah untukku, Love. Aku benar-benar merindukanmu.”Lavina tertawa kecil, lalu ia mendongak untuk menatap wajah suaminya dengan tatapan kagum. Meski mata Auriga terlihat mengantuk tapi pria itu masih sangat memukau. “Kenapa Mas tiba-tiba datang ke sini?”“Kangen kamu.”“Ish! Kamu bikin aku malu, Mas.” Lavina menangkup pipinya dengan bibir cem
Lavina menghirup dalam-dalam udara Jakarta yang sudah sangat ia rindukan. Ia memandangi bandara yang terlihat sibuk. Orang-orang terlihat berjalan cepat menuju pintu keluar bandara, sambil menarik koper atau mendorong troli.Kemudian pandangannya beralih pada ibu mertuanya yang sedang berbicara dengan Daddy Axl melalui telepon, mungkin beliau sedang mengabarkan kedatangan mereka, yang sudah sampai di terminal kedatangan beberapa menit yang lalu.“Maaf, sudah membuatmu menunggu lama.”Bisikan lembut dan pelukan dari belakang, membuat Lavina sedikit terkesiap. Namun ia sudah mengenali pemilik suara berat itu dan parfum yang menguar dari tubuhnya.Lavina berbalik, menghadap Auriga yang masih mengenakan topi pilotnya. Lavina tersenyum lebar. Lalu tanpa diduga-duga, ia berjinjit dan menghadiahkan kecupan ringan di sudut bibir Auriga, yang membuat pria itu seketika membeku.“Terima kasih, Capt. Anda memang hebat. Penerbangannya sangat menyenangkan dan memuaskan,” ucap Lavina dengan antusias
Auriga mengembuskan napas panjang dan memejamkan matanya sejenak. “Kamu percaya sama drama yang dia buat, Sayang?”“Drama?”“Hm.” Auriga mengangguk sambil mengerjap. “Itu cuma drama yang dia bikin sendiri untuk membuat kamu cemburu dan salah paham sama aku. Padahal kenyataannya, aku nggak pernah menyentuh dia.”Kening Lavina berkerut sembari berpikir sejenak. “Iya juga, ya. Kenapa dulu aku bisa percaya gitu aja sama dia?” gumamnya dengan perasaan menyesal.Andai saat itu Lavina bisa lebih bersikap dewasa, mungkin ia dan Auriga tidak akan bertengkar dan sampai berpisah jauh. Namun, jika tidak begitu, Lavina mungkin tidak akan punya kesempatan kuliah di Korea.Dan ya, semuanya sudah digariskan seperti itu. Selalu ada pelajaran yang terselip dalam setiap masalah yang dihadapi.“Yang sudah berlalu nggak perlu disesali, Love.” Auriga merangkul bahu Lavina dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. “Yang terpenting bagi kita sekarang… adalah masa kini dan masa depan. Kita bisa memperbaiki bers
Seharian itu Lavina cemberut pada Auriga.Auriga pun tidak membujuk dan merayunya, ia mendiamkan perempuan itu. Berharap dengan begitu Lavina akan berpikir bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan anak tidak bisa disikapi dengan kekanakkan.Namun, bukannya berpikir dan menyadari sikapnya, Lavina justru malah semakin dingin pada Auriga.Bahkan perempuan muda yang sedang hamil menuju 7 bulan itu tidak berbicara sama sekali pada suaminya. Dia hanya menjawab seperlunya dan sesingkat-singkatnya dengan ketus jika Auriga bertanya.Ternyata begini rasanya bertengkar dengan perempuan yang jauh lebih muda dariku, batin Auriga seraya mengusap wajahnya dengan kasar.Auriga menoleh ke kasur di sebelahnya yang masih kosong. Sudah pukul sepuluh malam tapi Lavina tak kunjung masuk ke kamar.Sebagai pria yang sudah dewasa, dan sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga ini, Auriga berusaha mencari solusi untuk masalah ini agar tidak berlarut-larut.Dan tak bisa dipungkiri, tidak tidur bersama Lav
“Love….” Auriga duduk menghadap Lavina. “Kita bisa membuat ruangan yang sederhana dan hangat, tapi dengan gaya yang klasik dan elegan, Sayang.”“Mas ini kenapa sih, selalu ujung-ujungnya yang elegan, elegan dan elegan.” Lavina merotasi matanya dengan malas. “Mas tahu? Gaya yang kayak gitu nggak cocok buat kamar anak-anak, Mas.”“Tapi kita bisa diskusiin ini sama Mommy,” timpal Auriga, “Aku yakin, dengan kemampuan Mommy, gaya yang klasik itu akan disukai anak kita.”“Aku bilang nggak suka ya nggak suka, Mas….” Lavina bersikukuh, keceriaan di wajahnya perlahan memudar. “Mas ini kenapa, sih? Selalu mentingin kemauan Mas daripada anak kamu.”“Oh ya?" Kening Auriga berkerut. “Memangnya kamu pikir, desain yang kamu mau juga kemauan anak kita?” Auriga menggeleng. "Bukan. Itu bukan kemauan anak kita, tapi kemauan kamu,” tandas Auriga, yang membuat Lavina tertohok.Raut muka Lavina terlihat semakin keruh. Ucapan Auriga barusan yang terdengar tegas membuat hatinya yang sedang sensitif itu tercu
Lavina menatap pantulan dirinya di cermin. Ia merasa puas dengan penampilannya akhir-akhir ini. Sejak kehamilannya membesar, Lavina sudah meninggalkan celana dan hoodie, lalu mencoba membiasakan diri memakai dress feminin yang membuatnya terlihat lebih dewasa.“Mami, Mami udah cantik, tunggu apa lagi, Mami? Daddy sebentar lagi sampai,” celoteh Aurora yang terlihat gemas pada Lavina. Pasalnya dari tadi ibunya itu selalu melihat-lihat dirinya di cermin.Lavina berbalik menatap Aurora. “Sayang, serius Mami udah cantik? Nggak ada yang aneh, ‘kan?”“Nggak ada, Mami….” Aurora memutar matanya, ia meniru kebiasaan Lavina. Lalu tersenyum lebar dan mengangkat dua ibu jarinya. “Mami sangat cantik!”Lavina tertawa. Anak kecil nggak mungkin bohong, batinnya sembari masih tertawa dengan geli. Akhir-akhir ini ia selalu ingin tampil cantik di hadapan Auriga.“Ayo buruan. Tuh ‘kan, Daddy sudah sampai. Ayo!”“Ah, iya juga.” Lavina kaget saat mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Deti
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab