Home / Romansa / Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku / Chapter 151 - Chapter 160

All Chapters of Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku: Chapter 151 - Chapter 160

200 Chapters

151. Garis Samar

Lisa tercekat, tangannya gemetar saat dia mencoba mengingat kembali tanggal-tanggal terakhir menstruasinya. Pendarahan yang seharusnya datang tapi tak kunjung muncul, membuatnya merasa gelisah. "Apa iya aku hamil?" gumamnya, rasa panik mulai merayapi pikirannya.Lisa menggigit bibir dengan wajahnya yang pias, ketika dia menghubungkan kondisi aneh yang dialaminya belakangan ini dengan kemungkinan kehamilan. Rasa mual yang datang tanpa alasan yang jelas, seringnya muntah yang mengganggunya setiap pagi, semua itu menjadi gejala yang menakutkan bagi Lisa. “Apa jangan-jangan … aku sedang mengalami yang namanya morning sickness?” Dia menggigil, menolak untuk mempercayai pikirannya yang meresahkan itu."Tidak. Tidak mungkin!" gumamnya dengan suara yang gemetar, meskipun hatinya tidak bisa menghilangkan ketakutannya. Lisa meremas rambutnya dengan perasaan frustrasi, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup tak karuan dalam ketakutannya yang semakin memuncak.Lisa buru-
last updateLast Updated : 2024-02-07
Read more

152. Hari-Hari yang Sibuk

Setiap pagi, sebelum matahari bahkan sempat menampakkan sinarnya, Vincent Alessio sudah duduk di meja kerjanya. CEO Sutomo Land Corporation itu kerap menyibukkan diri dengan membaca laporan keuangan dan berita terkini yang memengaruhi industri properti.Pagi ini, sambil menikmati kopinya, Vincent berbincang via zoom dengan tim ahlinya yang sedang berada di luar kota. "Pak Vin. Kami memperkirakan proyek pembangunan hotel baru akan memakan biaya sekitar dua puluh persen lebih tinggi dari perkiraan awal," ujar seorang tim ahlinya, sementara itu Vincent mengamati angka-angka di layar komputer dengan serius."Apakah kita bisa mencari opsi lain untuk mengurangi biaya tanpa mengorbankan kualitas bangunan?" Vincent mengkritisi masalah anggaran yang muncul."Sepertinya kita memang perlu melakukan evaluasi ulang terhadap rencana anggaran dan mencari solusi yang lebih efisien, Pak Vin.”Vincent mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan cermat. “Baiklah. Kita akan lakukan evaluasi la
last updateLast Updated : 2024-02-07
Read more

153. Menemani Si Bos Makan Siang

Lisa mengantarkan makan siang untuk Vincent ke ruangannya, capcay dan salad sayur sesuai permintaan sang CEO. Dia juga menyertakan beberapa potong buah segar sebagai hidangan penutup. Seperti biasa, CEO Sutomo Land Corporation itu sedang fokus dengan layar datar komputer di depannya. Keningnya mengerut, di balik kacamata bacanya, sorot mata Vincent yang tajam tampak serius meneliti sebuah tabel laporan.“Permisi, Pak. Makan siang sudah siap. Ini sudah hampir jam satu siang, sudah saatnya Bapak makan.”Vincent mengalihkan perhatiannya dari layar komputer ke arah Lisa, yang sebagian wajahnya masih ditutupi masker. “Terima kasih, Lisa,” ucap Vincent sambil membuka kacamata dan meletakkannya di meja.“Lisa, tunggu,” cegahnya saat melihat Lisa bergerak menuju pintu, ingin meninggalkan ruangan sang CEO.Lisa menoleh. “Ada apa, Pak?”“Temani saya makan. Kamu juga belum makan, kan?” ajak Vincent sambil beranjak dari kursinya menuju sofa, di mana Lisa telah menghidangkan makanan di atas meja
last updateLast Updated : 2024-02-07
Read more

154. Impian Kosong

Saat lift meluncur turun, suara ponsel yang berdenting memecah keheningan. Lisa menghela napas, mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat panggilan masuk dari Niken. Lisa segera menyentuh layar “answer”.“Halo, Ken?”"Mbak Lisa, maaf kalau telepon saya mengganggu," ujar Niken dengan nada ragu-ragu di ujung teleponnya."Ada apa, Ken?" Niken terdiam sesaat, dia tidak enak terlalu sering merepotkan mantan kakak iparnya itu. Lisa sudah banyak sekali membantu proses perawatan Ardi, terutama dari segi biaya, juga turut menjaganya di rumah sakit. Ketika Niken ingin mencicil biaya yang sudah Lisa keluarkan, mantan kakak iparnya itu menolak. Lisa bilang uang itu bukan dari kantong pribadinya, melainkan dari sumbangan pribadi sang pimpinan perusahaan di mana Ardi bekerja saat ini. Niken merasa bersyukur bahwa di tengah kesulitan yang sedang dihadapi oleh keluarganya, Tuhan memberikan banyak kemudahan lewat Lisa dan juga lewat kemurahan hati CEO perusahaan real estate ternama di Indonesia itu
last updateLast Updated : 2024-02-08
Read more

155. Panik

Lisa mengetuk pintu kamar perawatan Ardi. Niken dan Naura menoleh serentak. “Masuklah, Mbak. Mas Ardi sudah menunggu di dalam,” sambut mereka. “Kami keluar dulu, ya.” Kedua adik Ardi itu segera meninggalkan kamar, memberikan Ardi dan Lisa sebuah ruang privasi.Lisa tersenyum melihat Ardi yang tampaknya sudah menunggunya. Pria itu baru saja selesai melakukan terapi fisik, duduk di atas kursi roda. “Halo, Ar?” sapa Lisa sambil berjalan mendekat.Ardi membalas senyuman Lisa dengan lemah. Matanya berkaca-kaca saat melihat Lisa mendekat, kehadirannya memberi sedikit sinar dalam kegelapan yang sempat mengelilinginya. Lisa tampak begitu cantik, jauh lebih cantik daripada yang pernah dilihat Ardi selama ini. "Lisa, terima kasih sudah datang," katanya dengan suara yang rapuh.Lisa duduk di sebuah sofa, berhadapan dengan Ardi yang tetap duduk di kursi roda. “Kamu sudah siap pulang?” ucap Lisa memecah keheningan. Ardi terlihat gugup dan Lisa tertawa pelan. “Dih. Kaku begitu? Seperti bukan Ardi?
last updateLast Updated : 2024-02-08
Read more

156. Sebuah Kepastian

Lisa memasuki ruangan dokter spesialis penyakit dalam dengan langkah gemetar, hatinya dipenuhi kegelisahan yang tak tertahankan. Ruangan itu terasa sejuk, dengan perabotan yang teratur dan bersih. Di sudut ruangan, terdapat meja kerja dokter yang dilengkapi dengan komputer dan berkas-berkas medis, serta beberapa tanaman hias yang memberikan nuansa menyegarkan. Dokter pria berkacamata itu tampan sekali, mungkin dia adalah dokter spesialis gastroenterologi-hepatologi tertampan yang pernah Lisa lihat sepanjang hidupnya. Lisa melirik papan nama si dokter yang tercetak jelas di meja kerjanya “dr. Timotius Jinot, Sp.PD-KGEH.” Orang-orang di rumah sakit dan pasiennya biasa memanggilnya: “dokter Jinot”. Usia dokter Jinot memang sudah mencapai 50-an tahun, namun kebugaran tubuhnya tampak setara dengan orang-orang yang jauh lebih muda darinya. Dokter Jinot tersenyum ramah saat melihat Lisa memasuki ruangan. Namun, senyum itu tak mampu meredakan kegelisahan yang menghantui Lisa. "Selamat sore
last updateLast Updated : 2024-02-09
Read more

157. Harus Dipalak

Dokter Viona merasakan kesedihan yang mengalir dalam setiap tetes air mata pasiennya. Dia tahu bahwa tangisan Lisa bukanlah tangisan bahagia; ada beban besar yang Lisa bawa dalam hatinya. Bukan pertama kalinya dokter Viona menghadapi pasien yang justru merasa terguncang begitu mengetahui bahwa dirinya positif hamil, seperti Lisa saat ini. Si dokter paham, ada alasan yang melatarbelakangi setiap perasaan negatif pasiennya. Dengan penuh empati, dokter Viona membiarkan Lisa menuntaskan tangisnya, dipeluknya dengan lembut saat Lisa duduk di tepi ranjang dengan wajah yang sembab. "Anda tidak sendiri, Bu Lisa," bisik dokter Viona penuh kehangatan. "Ibu bisa menghubungi saya jika ingin berkonsultasi sewaktu-waktu, bila merasa bingung atau butuh teman bicara.” “Saya memang bingung, Dok.” Lisa menyedot ingus dengan tisu yang diulurkan oleh suster. “Dokter pasti tahu kalau status saya belum bersuami. Bahkan yang meniduri saya juga bukan kekasih saya,” dia kembali tersedu-sedu, ”tetapi seoran
last updateLast Updated : 2024-02-09
Read more

158. Tak Semudah Itu

Lisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri saat melangkah ke ruang kerja Vincent Alessio. Meskipun gelisah masih menggelayut di hatinya, dia bertekad untuk menjalani sisa hari kerjanya dengan setenang mungkin. Sudah menjadi rutinitas baginya untuk menyembunyikan rasa tidak nyaman setiap kali harus bertemu dengan pria itu, terutama ketika mencium aroma tubuhnya yang masih menimbulkan rasa mual di perutnya."Nak, dia itu kan daddy kamu, kok kamu segitu antinya sih mencium aroma tubuhnya? Tapi, iya sih ... daddy kamu itu emang ngeselin!" gumam Lisa dalam hatinya sambil membelai perutnya yang masih rata, tersembunyi di balik blus longgar yang dia pakai. Sementara itu, Vincent sedang tenggelam dalam pekerjaannya. Lisa melihat betapa fokusnya pria itu saat menangani tumpukan pekerjaan di mejanya. Kehadirannya di sekitarnya bahkan tak disadari oleh Vincent, yang tampaknya larut dalam dunianya sendiri. Lisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada, berusaha tidak te
last updateLast Updated : 2024-02-10
Read more

159. Salah Sangka

Lisa memasuki presidential suite sebuah hotel bintang lima yang terletak di jantung kota Jakarta. Ia menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan yang mewah. Cahaya gemerlap lampu kristal memantulkan kilauan yang memenuhi ruangan, menciptakan aura kemewahan kelas atas. Dia mencari-cari keberadaan Dennis yang seharusnya berada di sini.Lisa segera menelepon Bona dan melaporkan ketiadaan Dennis, “Mas Bona, kok Mas Dennis nggak ada, ya? Saya nyampe ruangan tapi nggak ada siapa-siapa nih.”“Oh, saya lupa bilangin kamu. Mas Dennis lagi keluar sama anak-anaknya Bu Yuna. Kamu beresin aja tugasmu siapin barang-barangnya Bapak.”“Oh, oke kalau begitu.” Lisa pun menutup telepon. Lisa langsung bergerak, memfokuskan perhatiannya pada tugas-tugas lain yang menantinya.Lisa mulai sibuk menata barang-barang Vincent, memperhatikan setiap detail: kerapihan pakaian, sepatu, dan aksesori lainnya. Setiap item diposisikan dengan hati-hati, agar siap pakai begitu Vincent memasuki ruang ganti.Ketika semuanya
last updateLast Updated : 2024-02-10
Read more

160. Mungkinkah Kisah Seperti Itu Menjadi Milikku?

Vincent telah selesai mandi, ia segera mengenakan pakaian yang telah disiapkan oleh Lisa di ruang ganti. "Lisa, tolong bantu saya di ruang ganti," panggil Vincent melalui telepon. Lisa yang sedang sibuk memastikan ketiga anak Yuna selesai dengan riasan dan pakaiannya, segera meluncur ke ruang ganti sang bos. Jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka berdua saja di ruang ganti ini, tempat di mana mereka pernah bercinta. Ingatan itu membuat pipinya memerah, menahan rasa jengah atas masa lalunya sebagai wanita simpanan Vincent. "Saya suka dengan aksesori pilihanmu, Lisa. Kamu memiliki bakat alami di bidang fashion. Kamu tahu sekali cara memadupadankan semua ini," puji Vincent sambil memandang Lisa yang serius saat membantunya memasang pin di sudut saku pakaiannya. Lisa juga mengubah fungsi sebuah syal menjadi sabuk yang cantik dan estetik di pinggang Vincent. "Jangan hanya memuji, tapi kasih saya tambahan bonus. Saya tidak cuma butuh pujian, tapi juga butuh uang," jawa
last updateLast Updated : 2024-02-10
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
20
DMCA.com Protection Status