All Chapters of Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku: Chapter 41 - Chapter 50

120 Chapters

Bab 41

"Menikah? Kamu melamarku?" tanyaku pelan. Pria itu menganggukkan kepala, dia tersenyum tipis, membuka kotak yang berisi cincin. "Udah lama banget cincin ini mau aku kasih ke kamu sejak dulu, Din. Aku selalu jagain cincin ini, sampai akhir nya aku ketemu kamu lagi di sini. Takdir memang gak pernah salah ya, Din."Aku menelan ludah, sebenarnya masih kaget dan aku juga tidak punya pikiran untuk ini semua. "Bagaimana dengan pacar kamu? Bukan kah kamu kata nya akan menikah dengan dia?" tanyaku pelan. "Kamu percaya? Kamu tau, dia cuma teman dekatku, Din. Bukan pacar dan gak lebih. Aku hanya berharap memiliki istri seperti kamu."Sungguh, aku kaget sekali. Aku menatap wajah pria yang selalu menemaniku di masa lalu. Dia tersenyum, menatapku menunggu jawaban dari aku. "Kamu mau menikah denganku?" tanya nya mengulang pertanyaannya kembali. "Ta—tapi aku masih trauma dengan semuanya. Aku gak mau kejadian itu terulang lagi—""Sstt ..." Dia berdiri, meletakkan telunjuknya ke bibirku, kemudian
Read more

Bab 42

"Oh ya? Guntur? Lagi mungut sampah? Dia jadi pemulung atau bagaimana? Di mana tadi?" Bang Fino juga langsung menoleh ke belakang. "Tadi di belakang, Bang. Udah lumayan jauh juga. Aku yakin banget itu Mas Guntur.""Kita coba ke sana deh." Bang Fino memundurkan mobil. Ketika sampai di tempat tumpukan sampah tadi, aku langsung mengernyitkan dahi, tidak ada siapa pun di sini. Kemana tadi Mas Guntur? Aku yakin sekali kok. "Mana? Gak ada tuh." Bang Fino bahkan sampai keluar dari mobil. Aku juga ikut turun, memang tidak ada, tapi tadi aku yakin sekali kalau ada Mas Guntur. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kenapa cepat sekali dia pergi?"Tadi ada di sini kok, Bang.""Halusinasi kamu itu, jangan bilang kalau kamu justru lagi kangen sama suami kamu yang gak punya hati itu? Astaga, apa yang lagi kamu pikirin, Dina? Udah deh, jangan aneh-aneh. Hidup kamu sekarang udah bahagia banget." Bang Fino menatapku kesal. Bukan begitu juga maksudnya, kan aku juga tadi kaget melihat Mas Guntur, bu
Read more

Bab 43

"Ti—tidak!" Dia menggelengkan kepala, pandangan nya tertuju ke Putra, kemudian langsung mengambil kantong sampah miliknya. "Mas!" Aku berusaha untuk menahan nya, tetapi aku juga bingung. "Tidak mau!" Dia langsung berlari begitu saja. Hei? Dia kenapa sih? Aku yakin sekali kalau itu adalah Mas Guntur, meskipun wajahnya benar-benar penuh dengan noda berwarna hitam. Aku tidak bisa mengejarnya lagi, barang belanjaan ku juga berat. Aku juga membawa Putra sekarang. "Itu tadi Papa kan, Ma?" tanya Putra membuatku menganggukkan kepala. "Iya, Nak. Itu tadi Papa. Maaf ya Mama gak bisa nahan Papa juga." Entah kenapa Mas Guntur justru ketakutan dan langsung pergi setelah melihat kami. Akhir nya, aku masuk lagi ke dalam minimarket karena masih penasaran dengan Mas Guntur yang tadi mengambil sampah di sini. "Tadi saya lihat ada pemulung yang ngambil sampah di sini, Mbak. Biasa nya memang ngambil sampah di sini ya?" tanyaku pelan. "Oh itu Bu. Kayaknya itu pertama kali dia ke sini deh Bu buat
Read more

Bab 44

"Kamu mengenal pencopet ini?" tanya Ibu itu dengan kesal. Dia sepertinya masih kesal sekali dengan barang yang dicopet oleh Weni. Aku tidak salah lihat, kan? Aku menoleh ke Rumi, apakah dia melihat orang yang sama? Siapa tau aku hanya berhalusinasi. "Sebenarnya apa yang terjadi sama mantan suami Mbak dan keluarganya? Kenapa keliatan kacau begini?Entahlah. Aku juga tidak tau. Aku tidak berani berkomentar lebih. Ibu yang dicopet ini terlihat marah sekali. Reyza juga sudah memberikan kode padaku untuk jangan terlalu jauh. Weni sejak tadi sudah menunduk. Dia sepertinya tidak berani untuk berbicara. Bahkan tadi, warga hendak menghakiminya. Aku menatap wajah Weni, banyak lebam di sana. Apa yang sebenarnya terjadi?Sungguh, aku penasaran sekali dengan keluarga Mas Guntur sekarang. Mereka kenapa sih? Mulai dari Mas Guntur yang sedang mengambil sampah, bahkan tidak mau melihatku. Ini juga si Weni malah mencopet. "Aku penasaran deh, Mbak," bisik Rumi membuatku menganggukkan kepala. Aku ju
Read more

Bab 45

"Astaga?! Kecelakaan?" Weni tampak terkejut sekali. Begitu juga dengan kami. Aku sangat kaget ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Ratih barusan. "Aduh, udah deh biarin aja. Aku udah cape banget denger masalah dari rumah tangga kalian.""Tapi, tapi Mas Guntur Tih—""Ya memangnya harus gimana lagi Wen? Kamu itu lagi di kantor polisi, mana bisa kita izin. Udah, jangan aneh-aneh."Ponselku berdering. Dari Reyza ternyata. Aku langsung mengangkatnya. "Gimana, Din? Gak terlalu berat kan masalahnya? Ada yang bantuin di sana?""Iya, si Ratih ternyata ada di sini, Rey. Dia yang bantuin."Reyza diam sejenak. "Nah, dia pasti gak bakalan biarin si Weni masuk penjara. Kamu pulang aja, kita harus banyak istirahat biar pernikahan kita yang lumayan dekat bisa terlaksana dengan baik, kamu juga harus jaga kondisi.""Emm tapi gimana ya Rey—""Kamu masih mau di sana, Din? Ya udah terserah kamu aja. Yang pasti, besok kita harus udah siap-siap untuk semuanya ya."Baiklah, aku menganggukkan kepala. "
Read more

Bab 46

"Mantan suami? Kami tidak mengundang mantan suaminya istri saya." Mas Reyza tampak marah sekali. Aku berusaha untuk menahannya agar tidak marah. Beberapa perhatian tamu undangan juga malah tertuju ke sini. "Ngapain kamu di sini? Kami tidak mengundang mantan suami saya." Aku juga akhirnya ikut berbicara, memberi kode pada Bang Fino.Aduh, kenapa juga orang ini datang sih? Padahal untuk masuk ke dalam gedung ini tidak sembarangan. Harus punya kartu undangan dulu. "Ini undangannya." Dia menunjukkan undangan itu pada kami. "Mana lihat!" Mas Reyza berusaha untuk mengambilnya dari tangan Ratih. "Eits, tentu saja tidak perlu. Untuk apa? Kalian kan sudah lihat undangannya bagaimana. Aku di sini untuk memenuhi undangan kalian atas nama mantan suami nya Dina. Selesai.""Sudah lah, biarkan saja. Mereka memang udah gila, diemin aja." Bang Fino menggelengkan kepala padaku dan Mas Reyza. Aku berusaha untuk mengatur napas dalam-dalam, kemudian menganggukkan kepala, benar kata Bang Fino, kami h
Read more

Bab 47

"Gimana maksudnya, Nad?" tanyaku pelan. Aku menatap Nada yang tampak menghela napas pelan. "Ya begitu lah Din, Mama nya si Guntur lagi berjuang buat kehidupan nya. Dia di rumah sakit terus, entah pakai uang siapa lagi mereka untuk biayain itu semua." Nada mengangkat bahu nya.Jadi selama ini, Mama nya Mas Guntur sedang berjuang di rumah sakit. Oh, aku baru tau soal ini. "Iya, dia masuk rumah sakit satu tahun yang lalu. Semua badannya lumpuh, dia dinyatakan sulit buat sembuh, tapi sampai sekarang masih koma, belum sadar juga.""Terus mereka bisa dapat uang buat bayar rumah sakit dari mana?" tanyaku penasaran. "Nah itu yang jadi masalah, aku juga gak tau mereka dapat dari mana. Yang pasti pekerjaan mereka tidak menjamin sama sekali."Sudah pasti sih kalau itu. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Beberapa hari yang lalu aku lihat Guntur sedang mengambil sampah, juga besok nya, aku justru lihat Weni malah mencopet.""Wah gila, kehidupan mereka berarti benar-benar sedang diuji ya.
Read more

Bab 48

"Ngapain kami di sini? Kami ingin menjenguk kamu. Apa lagi?" tanya Mas Reyza sambil mengangkat bahunya. "A—aku gak mau berurusan dengan kamu lagi, Din. Pergi dari sini, jauh-jauh dari aku."Dia kenapa sih? Setiap melihatku justru dia tampak ketakutan sekali. Aku menoleh ke Mas Reyza yang tersenyum dan terlihat berusaha menenangkanku. "Kami gak ada niat jahat sama sekali kok." Nada juga menganggukkan kepala, dia setuju dengan perkataan Mas Reyza barusan. Sebenarnya, aku kasihan sekali melihat Guntur. Dia tampak tidak terawat sekali sekarang, wajahnya juga justru lebih berbeda. Sangat jauh dari ketika bersamaku dulu. "Maafkan aku, Din. Maafkan aku." Dia tiba-tiba menangis, hampir saja memberontak, aku agak ngeri melihat jarum infus yang dipakai oleh Guntur terlepas dari tangannya. "A—aku udah menyia-nyiakan kamu dulu. Sekarang lihat aku yang sekarang, aku makan aja nasi bekas orang, hidupku jauh banget dari ketika sama kamu dulu. Si Weni dikasih uang sepuluh ribu gak bisa ngaturnya
Read more

Bab 49

"Ya Allah Mas Reyza!" Tangisku langsung pecah. Aku rasanya kehilangan semangat. Semua nya rasanya runtuh. Aku menelan ludah, berkali-kali menepuk pipiku berharap agar ini semua hanya lah mimpi. "Kami minta maaf sekali, Bu. Untuk tindakan selanjutnya, kami akan menjadwalkan untuk cuci darah Pak Reyza.""Suami saya gak kena itu kan, Dok? Tolong bilang ke saya, Dok. Dia baru saja mendapatkan kebahagiaan, kenapa malah dikasih cobaan kayak gini." Sungguh, aku panik sekali. Aku bingung bilang pada Mama dan Papa Mas Reyza dan mau bagaimana juga? Aku bingung. Aku tidak tau aku harus melakukan apa sekarang. "Kami minta maaf sekali, Bu Dina. Kami akan melakukan yang sebaik mungkin pada Pak Reyza. Mungkin memang dekat-dekat ini tidak akan terlalu berpengaruh, tetapi ke depan nya, untuk bertahan dari penyakit yang dialami oleh Pak Reyza, Pak Reyza harus rutin mencuci darah."Aku tidak bisa membayangkan ini semua. Mau bagaimana lagi? Ini bukan permainan hidup, ini adalah cobaan. Ntah lah, aku
Read more

Bab 50

"Ya Allah, Mas?! Kamu ngapain ada di sini?" Aku langsung berlari ke arah Mas Reyza, suamiku bahkan sudah berpegangan tangan agar tidak ambruk mendengar perkataanku sebelumnya. "Astaga, aku kena gagal ginjal, Sayang? Aku-""Mas, tolong Mas. Jangan terlalu banyak dipikirin. Aku anterin kamu ke kamar lagi ya?" Aku berusaha agar membuat Mas Reyza lebih tenang. Aduh, aku kira Mas Reyza masih di kamar tadi, aku kira bahkan dia sudah tidur kembali, tetapi ternyata tidak. Mas Reyza justru mendengar pembicaraan kami. Nada membantuku. Membantu Mas Reyza untuk berdiri karena dia tampak lemas sekali, mungkin juga karena mendengar obrolan kami barusan. Astaga, aku menggigit bibir, Mas Reyza sejak tadi tidak berhenti menatapku. Dia masih berdiri dengan bersandar tembok. Aku menelan ludah, tatapan Mas Reyza tajam sekali. "Kenapa kamu gak bilang dari awal, Din? Kenapa kamu gak bilang dari kita di rumah sakit? Biar aku bisa ngomong dulu ke dokternya, biar aku bisa pastiin dulu aku benar-benar me
Read more
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status