Nadina menurunkan teh itu di meja tepat di hadapan Ali, Aminah, Azalea, juga suaminya, Nadhif. “Mengapa hanya empat cangkir, Nadina? Ke mana milikmu?” tanya Aminah mendongakkan wajahnya memandang sang menantu. “Ehm, Nadina hendak pamit umi. Ada sesuatu yang harus Nadina kerjakan di kantor umum. Kalian lanjutkan saja bersama, Mas Nadhif juga akan tetap di sini kok! Iya ‘kan, Mas?” Nadina menoleh ke arah Nadhif. Dengan jelas Nadhif mengerutkan keningnya, pemuda itu mulai menelisik tatapan sang istri padanya. “Apa?” lirih Nadhif tanpa bersuara. “Mas di sini saja dulu menemani Abi dan Umi, Nadina pamit ke kantor umum dulu, ada pekerjaan yang belum Nadina selesaikan semalam,” tutur Nadina sambil sebentar memundurkan dirinya. “Assalamualaikum!” pekik Nadina lalu berbalik meninggalkan sang suami juga dengan keluarganya dan Azalea yang masih berada di sana. “Apa-apaan ini Nadina? Kenapa tiba-tiba kamu pergi seperti ini?” batin Nadhif sembari memandang ke arah kepergian Nadina. Pembicar
Baca selengkapnya