Share

65. Pertemuan Rahasia

Penulis: Annisarz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nadina kini saling berpandangan dengan Sadewa saat keduanya menunduk agar tak terlihat pada kaca mobil depan oleh orang yang berada di luar mobil.

“Siapa yang datang, Nadina?” bisik Sadewa.

“Santriwati yang ada di pondok. Nadina takut dia melihat Nadina di sini dan mengadu pada Mas Nadhif. Tolong bersembunyi dulu,” ujar Nadina.

“Bagaimana jika aku membawamu pergi dari sini? Dia tak akan curiga nanti,” ujar Sadewa.

“Jangan! Nadina tak bisa meninggalkan pondok lebih jauh dari pada ini. Akan panjang urusannya jika sampai Mas Nadhif tahu nanti! Biarkan wanita itu pergi dulu,” tutur Nadina sambil berusaha mengintip.

Sementara Nadina memantau luar melalu kaca depan dengan sedikit mendongakkan kepalanya, Sadewa malah asik mengamati wajah Nadina.

“Kenapa saya baru menyadari kecantikan wajahmu, Nadina? Andai saya bisa bertemu denganmu sebelum dirimu menjadi milik pemuda lain, pasti tidak akan sesulit ini. Tapi aku janji akan mengeluarkanmu dari tempat yang tak kau sukai ini, Nadina!” bat
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   66. Manis Karena Pahit

    Nadhif berdiri di dekat pintu dengan segenggam balon berwarna biru bercampur merah muda bening yang tampak estetik digenggamnya. Wajah Nadina jelas menunjukkan ia amat terkejut atas apa yang ia lihat. Kebohongan yang ia buat untuk menutupi kesalahannya kini semakin membuatnya merasa bersalah. Nadhif berjalan ke arahnya dengan senyuman tulus di wajahnya, pemuda itu menyodorkan segenggam balon itu kepada Nadina. “Jangan mengejarnya di jalan lagi, ya! Saya bawakan untukmu!” tutur Nadhif sambil menatap Nadina dalam tanpa kedipan. “Mas? Mas tidak perlu seperti ini,” lirih Nadina terdengar gemetar. Nadhif segera duduk di sebelah Nadina dan mengelus punggung tangan sang istri sembari meletakkan balon itu di sebelahnya. “Selama keinginanmu bisa saya penuhi, saya janji akan saya penuhi sebaik mungkin, Nadina. Jangan ragu untuk memintanya kepada suamimu. Itu akan menjadi sebagian usaha saya untuk memuliakanmu sebagai seorang istri yang saya cintai,” tutur Nadhif. Tak ada yang Nadina bisa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   67. Apa yang Disukai

    Beralih pada kediaman Sadewa, pemuda itu tampak terkejut dengan penuturan yang Nadina berikan. Wajahnya dengan cepat mengerut tajam. “Apa yang kamu maksud Nadina? Suamimu tidak melakukan hal buruk bukan? Kamu dipaksa mengatakan hal ini? Katakan Nadina, saya yang akan melindungimu!” pekik Sadewa. [“Mas, Mas Nadhif tidak melakukan apapun yang menyakiti, Nadina. Semua ini datang dari keinginan Nadina sendiri. Mas Dewa mau membantu Nadina bukan?”] tutur Nadina dari seberang. “Tapi, Nadina! Jangan memaksakan cinta dan dirimu padanya jika memang kau tak mencintainya. Cinta itu bukan paksaan!” [“Tidak ada hal yang pantas untukku mengeluh sebagai istrinya, Mas! Selama ini Nadina selalu kalah dengan ego Nadina sendiri. Nadina terus menyakiti dan mengkhianatinya sementara Mas Nadhif selalu memuliakan Nadina. Ini tidak adil untuknya, Mas.”] [“Jadi mulai saat ini, Nadina akan membatasi pertemuan dan komunikasi kita. Jika memang ada hal yang Mas Dewa perlu katakan, Mas Dewa bisa menyampaikan

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   68. Hawa Panas

    “Bicara dengan Umi? Tentu Nak Aza, kemarilah duduk di sebelah umi!” sambut Aminah. “Itu Umi, boleh tidak jika berbicara di tempat lain? Azalea malu ada Mbak Nadina di sini,” tutur Azalea sembari melirik ke arah Nadina. “Oh begitu, baiklah Nadina akan pergi sekarang. Nadina pamit ya, Umi! Nadina juga mesti menyiapkan keperluan Mas Nadhif nanti malam,” ujar Nadina sengaja membuat panas santriwati di dekatnya itu. Nadina tampak segera menyalami Aminah dan melengos pergi dari dapur tanpa menyalami Azalea sama seperti yang wanita itu lakukan begitu datang ke dapur—Azalea datang hanya bersalaman dengan Aminah dan tidak ada niatan hendak turut menyalami Nadina. “Aku tahu apa maksudnya tadi! Dia pasti sengaja melakukannya supaya aku panas bukan? Bergaya ingin bicara dengan umi! Padahal?! Mengaku saja dia pasti ingin berdekatan dengan umi agar bisa seolah dekat dengan ibu mertuanya! Dasar!!” sergah Nadina sembari berjalan cepat menoleh ke arah dapur. Nadina yang tak fokus memandang jalana

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   69. Cemburu?

    Nadina segera kembali ke kamarnya usai mengambil segelas air bening untuk Nadhif yang ia kurung di kamar. Segera ia buka pintu kamar itu lalu masuk ke dalam sembari kembali menutup pintunya. Nadina tampak mengedarkan pandangannya ke seisi kamar untuk mencari keberadaan sang suami. Namun Nadhif tak berada di sana. Bahkan kamar mandi di sana tampak kosong tak berpenghuni. “Mas?” celetuk Nadina lalu tampak hendak kembali berbalik untuk keluar dari kamar itu. “Mas Nadhif ke mana lagi, sih? Sudah dibilang tetap di sini kenapa malah per–” Perkataan Nadina tercekat saat melihat Nadhif berdiri di depan dinding sebelah pintu kamar mereka sambil tersenyum. “Mencari saya?” kekeh Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina. “Mas Nadhif ngerjain Nadina, ya? Kenapa harus sembunyi segala? Mas Nadhif senang lihat Nadina kebingungan mencari di mana Mas Nadhif?” omel Nadina. Nadhif perlahan memegang pergelangan tangan kanan Nadina lalu mengambil gelas berisi air dari tangan sang istri. Diletakkannya ge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   70. Amarah sang Perusak

    Suara celetukan lirih itu seketika membuat Nadhif dan Nadina menyadari seseorang lain selain mereka berdua di koridor tersebut. Tanpa melihat siapa yang berada di sana, Nadhif langsung melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Nadina dan menggendong istrinya itu kembali masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar mereka. Di belakang pintu itu, Nadhif akhirnya melepaskan Nadina bersamaan dengan keduanya yang saling memandang canggung usai kecupan sekian detik itu. “Kamu membuat saya terkejut Nadina,” celetuk Nadhif. “Mas juga! Nadina hanya mengertak tadi, kenapa Mas Nadhif sampai tega meninggalkan Nadina sendiri di sini untuk menemui wanita itu?! Apa jangan-jangan mas sengaja bikin Nadina panas supaya izinkan mas pergi menemui wanita pelakor itu, hah?!” sergah Nadina. “Pelakor?” lirih Nadhif. “Iya! Pelakor! Perusak Laki Orang! Mas Nadhif sengaja ‘kan memancing emosi Nadina supaya Nadina izinkan mas bertemu dia?!” Tangan Nadhif tiba-tiba mendarat tepat pipi kiri Nadina sementara t

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   71. Rencana Emas

    Nadhif tampak mengerutkan dahinya dan sedikit menggeleng sementara Nadina tampak membersihkan pewarna bibir di mulutnya dengan tisu. “Mana bisa saya menemuinya dengan penampilan seperti ini? Apa yang akan dia pikirkan nanti, Nadina?” lirih Nadhif. Nadina tak membalas dan malah tampak membuka hijabnya lalu mengacak-acak rambutnya. Tak sampai di sana, Nadina tampak menarik kerah pakaiannya hingga sedikit sobek. “Mas Nadhif yang keluar atau Nadina yang keluar dengan tampilan seperti ini? Mas mau jika tiba-tiba ada santriwan yang tiba-tiba melintas dan melihat Nadina tidak mengenakan hijab?” ancam Nadina. “Assalamualaikum, Gus?” ulang suara Azalea dari pintu yang terdengar amat tak sabar. Nadina mengarahkan matanya ke pintu dan akhirnya berhasil membuat Nadhif bangkit dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar mereka. Nadina dengan cepat meraih selimut tebak dari ranjang mereka lalu membalut tubuhnya dengan selimut itu. Pintu kamar terbuka, Nadhif sebentar melirik keluar sebelum

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   72. Insiden Buatan

    Usai membersihkan dirinya sore itu, Nadhif keluar toilet sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk yang beberapa saat lalu Nadina siapkan. Sementara Nadhif mengeringkan rambutnya di depan cermin meja rias, Nadina terus menatapnya dari belakang dengan tatapan yang cukup tajam. “Ada apa, Nadina? Kenapa tatapanmu seperti hendak memakan saya hidup-hidup?” tutut Nadhif sembari melirik Nadina melalui cermin itu. “Mas Nadhif hendak bertemu Putri Azalea, huh?” sindir Nadina lalu menyandarkan tangannya ke ranjang. Nadhif membalik tubuhnya lalu memandang Nadina sebentar sebelum akhirnya berjalan menuju sang istri dan duduk di sebelahnya. “Iya, dia belum menyampaikan tujuannya datang kemari tadi, Nadina. Dan saya telah berjanji akan menemuinya tiga puluh menit mendatang semenjak kejadian tadi,” tutur Nadhif. “Mas, tujuan dia adalah mengganggu kita! Itu tujuan kedatangannya tadi, Mas! Masa begitu saja Mas Nadhif tidak paham?!” omel Nadina. “Jangan berburuk sangka, Nadina. Barang kali ada

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   73. Pesan sang Tetua

    Nadhif tak ingin kian mendebat Nadina hingga ia segera meraih pakaian yang Nadina gantung di depan lemari. Pemuda itu segera menuju toilet dan menjalankan kembali permintaan sang istri. Beberapa detik setelah Nadhif memasuki toilet, Nadina tampak mendesah dengan cukup kasar. “Kenapa digendong sih, Mas?! Mas tidak takut melihat Nadina melihat semuanya tadi!? Dasar wanita pelakor! Aku tahu pasti kejadian tadi hanya akal-akalannya saja agar dia bisa mendapatkan perhatian suamiku! Dasar bajingan!” umpat Nadina. Suara telepon masuk menghentikan keluhan Nadina saat itu. Sang ibu yang meneleponnya. Dengan segera Madina mengangkat panggilan tersebut. “Assalamualaikum, Bu! Apa kabar?” sahut Nadina mulai memelankan nada bicaranya. [“Waalaikumsalam, Nadina. Ibu baik-baik saja, bapak juga. Bagaimana dengan kabarmu dan suamimu? Semua baik-baik saja bukan?”] sahut Khoiri dari seberang. Nadina sebentar memoncongkan bibirnya sebelum lanjut berdusta. “Iya, Bu! Semua baik-baik saja, kok! Ibu mer

Bab terbaru

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status