Nadhif tak ingin kian mendebat Nadina hingga ia segera meraih pakaian yang Nadina gantung di depan lemari. Pemuda itu segera menuju toilet dan menjalankan kembali permintaan sang istri. Beberapa detik setelah Nadhif memasuki toilet, Nadina tampak mendesah dengan cukup kasar. “Kenapa digendong sih, Mas?! Mas tidak takut melihat Nadina melihat semuanya tadi!? Dasar wanita pelakor! Aku tahu pasti kejadian tadi hanya akal-akalannya saja agar dia bisa mendapatkan perhatian suamiku! Dasar bajingan!” umpat Nadina. Suara telepon masuk menghentikan keluhan Nadina saat itu. Sang ibu yang meneleponnya. Dengan segera Madina mengangkat panggilan tersebut. “Assalamualaikum, Bu! Apa kabar?” sahut Nadina mulai memelankan nada bicaranya. [“Waalaikumsalam, Nadina. Ibu baik-baik saja, bapak juga. Bagaimana dengan kabarmu dan suamimu? Semua baik-baik saja bukan?”] sahut Khoiri dari seberang. Nadina sebentar memoncongkan bibirnya sebelum lanjut berdusta. “Iya, Bu! Semua baik-baik saja, kok! Ibu mer
Malam hari itu, Nadina lebih dahulu berbaring di ranjangnya, sejak isya tadi saat dirinya berada di dalam kamar, Nadhif pun tak kunjung mengajaknya berbicara. Hal ini membuat Nadina merasa geram dan memilih untuk kembali tutup mulut. Sambil terus memaksakan rasa kantuk yang sebenarnya belum muncul itu, Nadina terus berkomat-kamit untuk memilih apakah ia kan tetap membuat sarapan spesial itu untuk sang suami esok pagi atau tidak. Namun hal itu dengan cepat Nadina putuskan saat Nadhif yang usai dari toilet juga naik ke ranjang dan langsung mematikan lampu tidur di sebelah ranjangnya. Nadhif yang kala itu masih bingung mesti bagaimana berucap memilih untuk diam takut jika ucapannya semakin menyakiti satu sama lain. Tetap hal itulah yang membuat Nadina malah semakin kesal dengan sang suami. Keesokan harinya, Nadina langsung pergi ke dapur dan membantu sang umi untuk memasak makanan, Aminah sebentar bertanya mengenai rencana Nadina membuatkan nasi goreng untuk Nadhif. Tetapi Nadina den
Hari berganti malam, suasana malam itu di kamar Nadhif dan Nadina teramat canggung. Pada awalnya Nadhif dan Nadina hanya duduk di tepi ranjang dengan saling membelakangi dan tanpa kata. Hingga tiba-tiba keduanya bangkit dan berbalik. “Saya hendak ke toilet!” “Nadina ingin ke toilet dulu!” pekik keduanya bersamaan. Sunyi kembali mendatangi keduanya, Nadina seketika menundukkan pandangannya sementara Nadhif mencoba melirik sang istri. “Kamu saja dulu, Nadina! Saya bisa memakainya setelahmu,” ujar Nadhif lalu tampak mempersilakan Nadina. “Tidak-tidak!” pekik Nadina langsung mengangkat kepalanya. Wanita itu kini tampak dengan cepat menolaknya dilengkapi dengan lanbaian tangan. “Mas saja yang memakai terlebih dahulu. Jika Nadina yang memakainya mungkin akan lama,” ujar Nadina. “Sepertijya akan terbalik, Nadina. Jika saya yang masuk ke sana terlebih dahulu, maka akan cukup lama,” ujar Nadhif. Nadina mengerutkan dahinya, sejenak ia seolah memberikan tatapan menyelidiki sebelum akhir
“Ah, begitu! Tidak apa, Nadina. Kita bisa melakukannya nanti. Sekarang kita tidur saja. Hari sudah semakin malam bukan?” ujar Nadhif sedikit menunduk. Jelas dari suaranya menggambarkan sedikit kekecewaan, namun pemuda itu berusaha menutupinya dengan senyuman tulus di wajahnya. Keduanya kini berbaring dan sama-sama memandang atap. “Maaf harus membuat Mas Nadhif kembali menunggu. Nadina lupa jika dia biasa datang pada tanggal ini,” tutur Nadina sembari mengubah posisinya menghadap sang suami. Nadhif menoleh memandang Nadina. Pemuda itu kini mengelus pucuk kepala sang istri sembari tersenyum di antara gelapnya kamar mereka malam itu. “Jangan meminta maaf lagi, Nadina. Ini bukan salahmu. Memang sudah seharusnya seorang wanita mengalaminya. Kita hanya terlalu mendadak saja. Atau mungkin rasa canggung ini terlalu memenuhi ruangan,” ujar Nadhif. “Mas kecewa ya?” “Jangan berkata seperti itu, Nadina. Saya tidak apa-apa, lagi pula ini tidak akan lama. Segeralah tidur, besok jadwalmu akan
Nadhif dan Nadina akhirnya tiba di butik, Nadina sebentar menyampaikan jika hari ini Nadhif akan menemaninya dari awal pemotretan hingga akhir nanti. Sadewa sedikit terkejut akan hal itu. Namun, saat Nadina telah bersiap, Sadewa tampak mendekatinya dengan membawa kamera yang biasa digunakan untuk memotret. “Kenapa Mas Dewa yang membawa kameranya? Wanita yang biasa memotret ke mana, Mas?” tanya Nadina sembari mendongakkan kepalanya memeriksa sekitar. “Mereka izin hari ini Nadina, aku yang akan memotretmu selama mereka belum kembali. Apa kamu sudah siap?” tanya Sadewa. “Ah begitu. Baiklah, Nadina susah siap.” Pada awalnya semua proses pemotret berjalan dengan lancar, Nadhif sesekali juga memeriksa Nadina dan tersenyum ke arah istrinya saat kedua mata mereka saling bertemu. Saat jam istirahat datang, Nadina tampak tengah duduk di sebelah Nadhif dan bersenda gurau kecil sembari memakan camilan mereka. Sadewa yang melihat tawa Nadina terdengar tulus saat bergurau dengan sang suami m
Tangan Sadewa seketika memegang punggung tangan Nadina dan seketika membuat Nadina terperanjat dan menarik tangannya menjauh. “Orang seperti itu yang kau tunggu, Nadina? Ada kalanya kau harus berhenti menerima sesuatu yang terlihat baik karena itu belum tentu benar-benar baik,” ujar Sadewa menatap Nadina dengan cukup dalam. Ludah Nadina tercekat ia segera menarik napas panjang sembari mengalihkan pandangannya kembali pada Nadhif yang tengah tertawa bersama Putri Azalea di halaman pondok. “Ini semua salah paham saja, Nadina harus pergi. Terima kasih sudah mau mengantar Nadina, Mas! Assalamualaikum!” Wanita itu membuka pintu dan keluar dari sana. Sambil mencoba menegakkan setiap langkah yang ia ambil, Nadina melangkahkan kakinya memasuki pondok tanpa menghampiri suaminya yang saat itu juga ia lintasi. Sementara Nadina berjalan lurus ke depan, Nadhif yang melihat keberadaan Nadina di sana seketika terkejut. “Astagfirullah!” pekik Nadhif saat menyadari ia melewatkan sesuatu yang pen
Hari itu Nadhif membiarkan dirinya tetap berada di sebelah Nadina tanpa meninggalkan sang istri lebih dari lima menit. Ia terus bergumam mengharapkan Nadina akan memaafkannya. Masalah menjemput adalah hal yang sepele tetapi tahu dengan siapa gantinya itu yang menyakitkan. Nadina tampak bergumam dan sedikit bergerak malam itu, Nadhif dengan sigap tampak memegang tangan Nadina sembari bersiap atas Nadina yang sadar. Mata yang telah tertutup nyaris 24 jam itu akhirnya terbuka perlahan. Awalnya ia menyipit seolah berusaha melihat dengan jelas siapa yang ada di dekatnya saat itu. Namun ketika pandangannya mulai sempurna, ia segera menjauhkan tubuhnya dari Nadhif. “Kenapa di sini?! Keluar!” teriak Nadina. “Nadina, saya mohon kali ini turuti permintaan saya, kamu terlalu lemas untuk semuanya. Biarkan tubuhnya mencapai kesehatannya dulu. Saya janji setelahnya saya akan menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Nadhif. “Jangan minta saya pergi, Nadina. Saya mau menemanimu, di sini. Tolong izink
“Apa kamu sedang berusaha menjaga hati dua wanita dalam hatimu, Nadhif?” Ali melangkahkan kakinya mendekati sang putra yang sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Abi,” lirih Nadhif. “Rupanya kamu masih belum paham, Nadhif. Kamu belum paham apa yang menjadi kekecewaan istrimu dan kamu kembali mengulang kesalahan yang sama,” lanjut Ali kini berdiri tepat di hadapan sang putra. “Putri Azalea membutuhkan izin untuk keluar pondok, Abi,” terang Nadhif. “Kamu melupakan sesuatu, Nadhif. Pondok kita memiliki ruang kesehatan sendiri. Jika memang ia sakit, kawannya bisa membawanya dia sana. Dan jika kita tak bisa menanganinya, petugas di sana yang akan memberikan surat izin agar bisa keluar pondok. Mereka tidak membutuhkan izinmu, Nadhif!” sergah Ali mencoba mengingatkan kembali putranya itu. “Astagfirullah! Abi, Nadhif lupa,” lirih Ali. “Jangan sekali-kali mencoba menjaga dua hati dalam satu rasa Nadhif! Alih-alih melindungi keduanya dari sakit hati, kamu malah menghancurkan keduanya.”
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan