Tangan Sadewa seketika memegang punggung tangan Nadina dan seketika membuat Nadina terperanjat dan menarik tangannya menjauh. “Orang seperti itu yang kau tunggu, Nadina? Ada kalanya kau harus berhenti menerima sesuatu yang terlihat baik karena itu belum tentu benar-benar baik,” ujar Sadewa menatap Nadina dengan cukup dalam. Ludah Nadina tercekat ia segera menarik napas panjang sembari mengalihkan pandangannya kembali pada Nadhif yang tengah tertawa bersama Putri Azalea di halaman pondok. “Ini semua salah paham saja, Nadina harus pergi. Terima kasih sudah mau mengantar Nadina, Mas! Assalamualaikum!” Wanita itu membuka pintu dan keluar dari sana. Sambil mencoba menegakkan setiap langkah yang ia ambil, Nadina melangkahkan kakinya memasuki pondok tanpa menghampiri suaminya yang saat itu juga ia lintasi. Sementara Nadina berjalan lurus ke depan, Nadhif yang melihat keberadaan Nadina di sana seketika terkejut. “Astagfirullah!” pekik Nadhif saat menyadari ia melewatkan sesuatu yang pen
Hari itu Nadhif membiarkan dirinya tetap berada di sebelah Nadina tanpa meninggalkan sang istri lebih dari lima menit. Ia terus bergumam mengharapkan Nadina akan memaafkannya. Masalah menjemput adalah hal yang sepele tetapi tahu dengan siapa gantinya itu yang menyakitkan. Nadina tampak bergumam dan sedikit bergerak malam itu, Nadhif dengan sigap tampak memegang tangan Nadina sembari bersiap atas Nadina yang sadar. Mata yang telah tertutup nyaris 24 jam itu akhirnya terbuka perlahan. Awalnya ia menyipit seolah berusaha melihat dengan jelas siapa yang ada di dekatnya saat itu. Namun ketika pandangannya mulai sempurna, ia segera menjauhkan tubuhnya dari Nadhif. “Kenapa di sini?! Keluar!” teriak Nadina. “Nadina, saya mohon kali ini turuti permintaan saya, kamu terlalu lemas untuk semuanya. Biarkan tubuhnya mencapai kesehatannya dulu. Saya janji setelahnya saya akan menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Nadhif. “Jangan minta saya pergi, Nadina. Saya mau menemanimu, di sini. Tolong izink
“Apa kamu sedang berusaha menjaga hati dua wanita dalam hatimu, Nadhif?” Ali melangkahkan kakinya mendekati sang putra yang sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Abi,” lirih Nadhif. “Rupanya kamu masih belum paham, Nadhif. Kamu belum paham apa yang menjadi kekecewaan istrimu dan kamu kembali mengulang kesalahan yang sama,” lanjut Ali kini berdiri tepat di hadapan sang putra. “Putri Azalea membutuhkan izin untuk keluar pondok, Abi,” terang Nadhif. “Kamu melupakan sesuatu, Nadhif. Pondok kita memiliki ruang kesehatan sendiri. Jika memang ia sakit, kawannya bisa membawanya dia sana. Dan jika kita tak bisa menanganinya, petugas di sana yang akan memberikan surat izin agar bisa keluar pondok. Mereka tidak membutuhkan izinmu, Nadhif!” sergah Ali mencoba mengingatkan kembali putranya itu. “Astagfirullah! Abi, Nadhif lupa,” lirih Ali. “Jangan sekali-kali mencoba menjaga dua hati dalam satu rasa Nadhif! Alih-alih melindungi keduanya dari sakit hati, kamu malah menghancurkan keduanya.”
Tangan Sadewa kini mendekap tangan Nadina sementara matanya terus menatap Nadina dengan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. “Mas, lepas. Nadina tidak bisa seperti ini,” elak Nadina sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Sadewa. Namun sayang, semakin ia berusaha untuk melepasnya, semakin kuat Sadewa mencengkeram dan bersumpah tak akan melepasnya. “Nadina, kenapa kamu mempertahankan sesuatu yang amat rapuh? Kamu untuk saya, sedang Nadhif untuk wanita itu, tak akan ada yang sakit atas keputusanmu meninggalkannya,” ujar Sadewa. “Mas, semua tidak semudah itu! Nadina memang pernah mencintai Mas Dewa, tapi itu sulit untuk sekarang. Nadina mohon jangan memaksa,” “Tunggu! Apa maksud kalian? Nadina? Sudah menikah?!” sergah kedua kawan Nadina yang rupanya sedari tadi menguping di balik pintu. “Hei! Sadewa berbohong bukan?! Mana mungkin kau menikah tanpa sepengetahuan kami, Nadina?! Lelaki mana yang tega merebut kawan kami tanpa seizin kami?!” sergah Berlin. “J
“Nadhif minta maaf atas semua ini, Pak! Nadhif tahu ini semua salah Nadhif hingga membuat Nadian sekecewa itu,” tutur Nadhif sembari menunduk di hadapan Harun yang kala itu telah tiba di pondok dan menemuinya. “Katakan kepada saya dengan lantang dan jelas, Nadhif. Kamu mencintai putri saya, Nadina, atau tidak?!” sergah Harun. “Saya telah bersumpah di pada akad itu, Pak! Bahkan saya telah memutuskan untuk mencintai putri bapak sebelum akad saya ucapkan hari itu. Saya mencintai putri bapak. Saya berani jamin rasa itu tidak pernah berubah bahkan sampai detik ini,” tutur Nadhif. “Apa kamu yakin? Bagaimana dengan wanita itu yang lebih paham agama dan jauh lebih mengenalmu daripada Nadina? Bagaimana jika dia mencintaimu?” tanya Harun dengan tatapan tajam. “Saya telah memilih untuk mencintai Nadina selama hidup saya dan di kehidupan selanjutnya. Saya mencintai Nadina, Pak!” tutur Nadhif. “Nanti sore jemput istrimu kembali! Jika kamu mencintainya, seharusnya kamu tahu apa yang semestinya
Nadhif merenggangkan dekapannya dan melihat Nadina yang tengah hendak memaki dirinya itu. “Mas Nadhif melanggar janji! Mencium Nadina sama saja menyentuh Nadina! Kenapa melakukannya tiba-tiba dan menahan Nadina, Mas?! Mas mau mengambil kesempatan, hah?!” sergah Nadina kini menatap Nadhif dengan tatapan tajam yang ia miliki. “Ya, saya mengambil kesempatan untuk melalukannya selagi saya memilikinya. Saya mengecup istri saya sendiri. Kamu istri saya Nadina. Dan tentang perjanjian kita, kamu juga melanggarnya. Abi, Umi, Bapak, dan Ibu tahu tentang pertengkaran kita. Bukankah itu melanggar syarat saya?” sahut Nadhif. “Mas Nadhif sebenarnya mau apa?! Kalau memang Mas Nadhif tidak lagi mengharapkan Nadina mas tinggal kembalikan Nadina ke bapak dan ibu! Tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk bertemu wanita itu!” sergah Nadina. “Haruskah saya melakukannya lagi agar kamu berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak, Nadina?” perkataan Nadhif seketika membuat Nadina berhenti berucap. Wanita itu ki
Nadina memasuki kamar dan sedikit terkejut saat melihat Nadhif tengah berdiri di balik pintu dan menatapnya tajam. Napas wanita itu tiba-tiba sedikit berembus kasar. Matanya melirik ke arah Azalea yang tampak menyeringai. Segera ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar itu sebelum Azalea mengetahui jika suaminya mendengar semua perkataannya tadi. “Kenapa, Nadina?” celetuk Nadhif tanpa bergerak dari posisi awalnya. Nadina tampak mendesah sebelum akhirnya tangannya itu melepas gagang pintu perlahan dan kembali berbalik. “Kenapa?” ulang Nadhif. “Mas dengar semuanya?” tanya Nadina. “Tidak. Saya hanya mendengar kamu mempersilakannya untuk merebut saya darimu. Kenapa? Kenapa kamu menantangnya, Nadina? Saya bukaan barang taruhan,” sergah Nadhif lirih tapi menghunjam. “Bukan begitu maksud Nadina, Mas!” sahut Nadina cepat dengan raut wajah sedikit khawatir. “Bukan seperti itu yang Nadina maksudkan tadi. Mas jangan salah paham,” lengkapnya. “Lalu apa maksudmu mempersilakan wanita
Nadina mesti kembali menelan pil pahit bersamaan dengan salivanya yang terasa sulit tertelan. Senyuman yang terasa amat palsu terpaksa mesti kembali hadir di wajah wanita cantik itu. “Umi, kenapa umi memutuskan itu tanpa berbicara dengan Nadhif? Nadhif tidak bisa!” sergah Nadhif sedikit keras. “Ha? Tidak bisa? Kenapa? Bukankah kamu selalu hadir dalam peringatan hari besar? Bahkan Nadina juga masih bisa mengikuti separuh acara!” pekik Aminah. “Umi, jika Nadina ada sesi pemotretan, itu artinya Nadhif juga harus pergi! Lagi pula kenapa harus selalu Nadhif?! Santri lain tidak akan belajar berani jika tidak dipaksa menjadi pembawa acaranya!” sergah Nadhif. “Nadhif benar, Umi! Semestinya Umi mengajukan nama lain saja. Pasti banyak santri lain yang ingin berkontribusi!” pekik Ali. “Tapi sudah tidak bisa dibatalkan. Umi sudah menyetujuinya. Bahkan mereka telah membuat pakaian MC dengan warna senada untuk acara ini dengan ukuran yang pas dengan Nadhif dan Azalea. Apa yang mereka pikirkan
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan