Beranda / Fantasi / Roh Dewa Perang / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab Roh Dewa Perang: Bab 61 - Bab 70

107 Bab

Anak Dewa

Setelah menunggu satu pekan lamanya, akhirnya panggilan dari zodiak sagitarius datang juga. Arsa tersenyum, tapi tidak dengan Lira. “Kupikir kebersamaan kita akan terasa lebih lama, ternyata kau memang harus pergi juga,” ucap Lira lalu duduk di ranjang. Akhir-akhir ini ia tak tahan untuk berdiri terlalu lama. “Sudah kukatakan dari awal, bukan?” “Iya, aku tahu, aku hanya belum siap saja. Aku inginnya kau ada di sini terus, berat sekali jadi ratu, seminggu lagi ada parade militer pula. Aku takut tak kuat bangun.” Lira mengembuskan napas perlahan. “Kau baik-baik saja?” Arsa memegang dahi Lira, tapi tak terasa panas apa pun. “Mungkin kelelahan. Hari ini aku ingin berbaring di kamar seharian, jangan bukakan pintu, ya, walau mereka mengantar makanan dan kalau kau akan berangkat, setidaknya katakan sesuatu padaku.” Kemudian setelah itu Lira berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Padahal musim sedang panas-panasnya, sang ratu merasa kedinginan. Arsa mengembuskan napas. Sedikit b
Baca selengkapnya

Melindungi Diri

Leher salah satu pelayan itu dijerat dari belakang. Kemudian dalam sekejap saja yang menjerat berhasil mencekiknya sampai mati. Tersisa salah satu pelayan yang masih hidup dan hampir kencing di celana. “Katakan.” Lira menodongkan pisau ke arah leher pelayan yang ia percaya. Benar kata Arsa, jangan mempercayai siapa pun di kerajaan. “Ratuku.” Hamba itu bersujud dan menicum kaki sang ratu daripada dihukum mati. “Aku bilang cepat katakan. Atau kau aku jerat sampai mati seperti dia.” Ancam sang ratu tak main-main. “Ratuku, kau terbukti hamil dan perdana menteri tak menginginkan kelahiran anakmu, tolong jangan bunuh hamba, hamba hanya orang lemah.” “Bodoh.” Lira menendang sang pelayan hingga jatuh tersungkur. Kemudian ia memegang perutnya yang masih rata. Tak disangka Lira akan hamil anak Arsa. Bahkan selama hampir ribuan tahun bersama di langit sepasang suami istri itu belum dikaruniai keturunan. “Urus mayat temanmu. Untuk sementara waktu kau aku maafkan dan jangan bicara apa-apa p
Baca selengkapnya

Bla Bla Bla

Arsa sampai di satu tempat atas petunjuk zodiak Dewi Sagitarius. Di mana dia sekarang? Di dalam lorong sebuah bangunan dengan aroma obat-obatan yang menyengat hidung. Kemudian tak lama setelah itu ada beberapa orang dengan pakaian putih mendorong brankar berisikan korban kecelakaan. “Di mana aku sekarang?” gumam Arsa perlahan. Ia masih menggunakan baju di era Kalira ketika sampai. Masuk seorang perempuan dengan baju biru kedokteran dan sudah mencuci tangan. Arsa dan perempuan itu saling memandang sejenak. “Hara, begitu mudah kau ditemukan,” ucap Arsa tapi pecahan arwah kelima itu tak peduli. “Kok, bisa ada orang asing di sini. Panggil security, usir dia dari ruang operasi!” perintah sang dokter pada dua orang perawat. Arsa diminta keluar oleh perawat dan menunggu di ruang tunggu saja. Untuk sementara ia akan mengalah sampai tahu di mana dan di zaman apa dirinya berada sekarang. Tak tahu arah dan tujuan yang jelas, serta sudah setengah jam menunggu tapi Hara tidak juga keluar. A
Baca selengkapnya

Gagal Move On

Samara—nama pecahan arwah kelima sedang mengoperasi pasien korban kecelakaan tunggal di trotoar jalanan. Sudahlah sambil berkendara main handphone dan tak menggunakan helm pula. Kepala itu pecah dan darah merembes sangat banyak. Tangan yang diberi hand skoon itu menjahit luka yang amat sangat dalam. Dipotong benang, ganti jarum jahit, begitu saja terus hingga luka demi luka tertutup. Samara berkeringat, seorang perawat membersihkan dahinya. Napas Mara—begitu panggilannya ditarik cukup panjang. Sudah beberapa jam ia berdiri tegak. Untung saja dia tak punya pasangan yang sudah menunggu. Setidaknya begitu caranya menghibur diri dari kesendirian. Mana kala lelaki takut mendekati Mara karena terlalu pintar, cantik, dan banyak uang. “Selesai,” ucap dokter itu menutup luka. Operasi yang memakan waktu empat jam itu berakhir juga. Korban tak akan baik-baik saja, dan masih berada dalam pengawasan Mara. Gadis itu membuang celemek yang telah terciprat darah, sarung tangan, tutup kepala dan
Baca selengkapnya

Sudah Takdir

Samara melepaskan jas putih dan melipat serta membawanya di tangan sebelah kiri. Rambut merah ia gerai begitu saja, membawa tas tangan dengan rantai kecil, lalu kaca mata hitam di malam yang gelap, demi apa entah. Gadis itu keluar dari rumah sakit dan menuju mobil. “Bener, dia di sini, nungguin aku apa nungguin orderan kang gojek,” heran Mara dengan perangai Arsa. Ingin GR takut kebablasan, tapi pandangan mata Arsa jelas mengarah padanya. Dokter bedah itu hanya menundukkan kepala sedikit saja. “Huuuh, hancur hatiku melihat senyummu. Ah, apa, sih, semurah ini aku jadi perempuan, gegara nggak pernah pacaran sama sekali. Oke, come on, Mara, jual mahal, jual mahal jual mahal.” Gadis yang memiliki tato zodiak sagi itu menyalakan mobil dan memanaskan sebentar. Tak ia hiraukan Arsa memandangnya tanpa berkedip. Saat mobil ingin dimajukan, ponsel Mara berdering. Panggilan dari mamanya yang cerewet nanyain soal jodoh. Mara dijodohin nggak mau, tapi cari sendiri nggak ketemu juga sampai umur
Baca selengkapnya

Bunga Peony

“Kau lihat bukan di bagian kepalanya ada yang pecah dan mengalirkan darah, menurutmu yang jadi tabib k—” “Dokter keles,” sela Mara. “Iya, maksudku dokter, kira-kira dengan darah yang keluar sebanyak itu, selamat tidak korbannya?” tanya balik Arsa. Mara berpikir sejenak.“Ya, nggak, sih, kecuali ada keajaiban.” Mara turun dari brangkar ketika perawat dan dokter jaga di ruang tindakan telah datang. “Gadis pintar,” ucap Arsa. “Meninggal saat ditolong, penanggung jawab Dokter Mara.” Gadis berambut kemerahan itu menandatangani berkas yang diperlukan. Arsa menunggu dengan sabar. Entah sudah berapa lama ia sabar mengumpulkan semua pecahan arwah istrinya. Dan kini hanya harus mengulangi siklus kelima saja. Dewa perang itu mengembuskan napas panjang. Bolehlah kali ini merasa lelah. Biasanya dulu saat letih ia akan mencari Hara. Sekarang Hara tak mengenalinya untuk yang kelima kali. “Hei, masih di sini,” sapa suara istrinya yang dulu biasa menawarkan kelembutan. “Aku di sini menunggumu
Baca selengkapnya

Bunuh Diri

“What can i say, i’m just second choice,” ucap Samara ketika Arsa sudah pulang. Tidak pulang yang sebenarnya, melainkan lelaki itu ada di luar unit milik sang dokter. “Aku harus tahu diri juga, umur udah mau 40 tahun siapa yang mau. Duda aja cari yang masih muda masih seger. Gini amat hidup jadi manusia.” Gadis berambut kemerahan itu mengibas kasur dan membaringkan diri di sana. Selesai makan tadi ia meminta Arsa keluar dengan alasan ingin istirahat. Beberapa menit lamanya Mara berbaring, mata tak juga ingin tidur padahal sekujur tubuh lelah dari ujung rambut sampai kaki. Hujan di luar membuat udara jadi terasa segar. Samara bangun dan menggeser pintu di balkon. Di sana ia menadahkan tangan menampung hujan yang turun. Arsa melakukan hal yang sama dari unitnya juga. Dewa perang itu memperhatikan Samara, persis sama ketika Hara suka melihat dewi hujan menaburkan bintik-bintik air ke bumi dan Hara tak akan mau ketinggalan. “Harus bagaimana aku menjelaskan kalau kau adalah Hara. Hara
Baca selengkapnya

Mama Tiri

Samara keluar dari unit apartementnya, pada saat itu Arsa juga melakukan hal yang sama. Dokter Mara agak siang hari ke rumah sakit. Dua orang itu sama-sama berjalan dan menuju pintu unit gadis yang ingin melakukan percobaan bunuh diri tadi malam. “Aku mau pastikan keadaan dia baik-baik aja atau nggak,” ujar Samara sebelum ditanya. Arsa mengisyaratkan tangannya agar dokter itu terus saja, walaupun … “Kok, nggak dibuka juga, ya?” Mara menekan bel berkali-kali. Arsa tahu apa yang terjadi tadi malam setelah Mara tidur. Ia tak mau mencegah karena sudah ditolong satu kali. Pintu apartement terbuka sendiri karena disentuh oleh Arsa. Mara lekas masuk dan terkejut ketika menemukan gadis itu meregang nyawa dengan leher terjerat di seutas tali. Sekujur tubuh Mara lemas dan ia jatuh, untung Arsa menangkapnya. Meski tak pingsan, sang dokter tak sanggup mengatakan apa-apa. Namun, ia menarik napas sejenak. “Panggil security biar mayatnya diturunkan,” ujar Mara dengan suara lemah. Arsa mengiyaka
Baca selengkapnya

Dewi Hara

Arsa memejamkan mata. Usai mengantar Samara pulang ia pun kembali ke unit yang katanya ia sewa. Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu mengingat kenangan lama bersama Hara. Bagaimanapun juga sikap Hara yang peduli dengan orang lain tetap terbawa pada setiap pecahannya. Kecuali mungkin Nira yang menjadi penjaga neraka. Pada saat itu … Dewi Hara yang menggunakan sutera berwarna biru muda sedang menadahkan tangan menampung butiran hujan. Ia melihat dewi langit terbang dengan indah memberikan air yang dibutuhkan manusia. Tak lama kemudian Arsa yang baru saja mengelilingi langit datang menghampiri istrinya. Hara langsung mencipratkan air di tangannya ke wajah Arsa. Dewa perang itu memejamkan mata sesaat dan menyimpan pedang petirnya di satu tempat. “Wajahmu menghitam, baru pulang dari mana?” tanya Hara sembari membersihkan wajah Arsa dengan sapu tangan miliknya. “Seperti biasa, menyelesaikan huru-hara,” jawab lelaki itu tanpa mengedipkan mata sama sekali. “Di bumi?” “Iya, di mana lag
Baca selengkapnya

Godaan

Arsa mencoba gaya hidup ala manusia biasa di dalam unit apartemen. Dewa perang itu menghidupkan shower dan membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya. Air yang hangat, sehangat kulit Hara ketika senantiasa melayani dirinya. Sebuah hal yang membuat Arsa tak akan bisa melupakan kebaikan istrinya. Shower itu dimatikan ketika ritual mandinya telah selesai. Meski tak menggunakan sabun, seorang dewa memiliki aroma khas tersendiri hingga membuat orang pun betah ada di sisinya. Arsa mencoba melilit handuk dari pinggang sampai ke atas lutut. Ia terlihat sangat cocok tinggal di zaman modern. Bel di unit apartement Arsa berbunyi. Ia menarik napas sejenak dan menyugar rambutnya. Tanpa membuka pintu pun ia tahu siapa yang datang. “Oh, hai, aku ganggu, ya?” Samara berpaling ketika melihat Arsa shirtless. “Tidak, masuklah.” Arsa membuka pintu kian lebar. Usai Mara masuk pintu terkunci otomatis. Gadis berambut kemerahan itu menoleh dan menelan ludah, takut dia jadinya. “Tunggu aku ganti baju du
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status