Malam ini Samara menggunakan gaun terusan berwarna biru muda dan rambutnya yang sebahu digerai. Sedangkan Arsa masih dengan gaya yang sama. Sang dokter menyetir mobil menuju rumah yang katanya mama. “Kamu, kok, diem aja? Nggak suka ke tempat mama, ya? Aku bisa batalin, kok,” kata Mara. Arsa menggeleng saja. Dia hanya bingung nanti bagaimana harus berhadapan dengan mahadewi. Saat di langit para dewa harus memberi hormat pada raja dan ratu langit. “Tidak apa-apa. Kita sudah sejauh ini, tidak perlu mundur lagi,” jawab Arsa. Terkadang matanya tak sengaja berkilau, pertanda ia sedang dalam emosi yang tidak baik. “Oh, iya.” Mara memahami Arsa sedang gundah. Hubungan mereka bisa dikatakan belum terlalu jauh. Masih jalan di tempat saja. Seharusnya Mara bisa dimiliki dengan mudah, tapi nyatanya Mahadewi Senandika datang mengacaukan semuanya. Mobil memasuki kawan elit yang dijaga oleh beberapa satpam. Samara mengarahkan mobil memasuki rumah mewah milik kedua orang tuanya. Dari gaya bangu
“Aduh.” Mara tak tahan dengan perlakuan Senandika yang nyaris menusuknya. “Menyusahkan saja kau ini.” Mahadewi menghempas Mara hingga gadis itu nyaris menabrak dinding. Arsa dengan cepat menangkap Mara. Sang dokter sampai shock dan tak bisa berkata apa-apa. “Tidak apa-apa, tidurlah.” Dewa perang mengusap wajah Mara dan beberapa saat kemudan ia tidur. “Mahadewi,” panggil Arsa. Wanita itu mengambil cerutu, menghidupkan, dan mengembuskan asapnya ke arah sang dewa perang. “Kau ketahuan,” ucap Senandika. “Lalu? Kau ingin memerangiku, bukankah sudah kukatakan.” “Tidak, Arsa, tidak, aku tidak ingin memerangimu. Aku hanya ingin memperingatimu, tidak semua yang terjadi sesuai kehendakmu. Ada masanya kau akan menyesali semua ini.” Senandika berganti baju menggunakan pakaiannya di langit. Pun dengan Arsa, hanya tinggal zirah perang saja yang belum digunakan. “Satu-satunya yang kusesali adalah tidak melindungi Hara lebih dahulu. Aku yakin ada yang menjebaknya.” “Kau menuduhku?” tanya mah
Hampir memutih mata Mara karena cekikan di leher, kemudian Arsa masuk karena mendengar suara kekasihnya kesakitan. Sesaat tadi pendengarannya ada yang menutup. “Kenapa?” tanya Arsa setelah membuka lilitan keran air di leher Mara. Gadis itu hanya menggeleng saja. Ia masih syok. Di dalam kamar, Mara mengganti bajunya dengan tangan gemetaran, Arsa di dalam sana mengawasi, sudah tidak ada lagit batasan antara keduanya, dan dari dulu memang seperti itu. “Aku berangkat kerja dulu.” Mara mengambil kunci mobil tapi jatuh. Sang dokter bedah masih takut tapi dia juga punya kewajiban yang harus ditunaikan. “Aku antar.” Arsa mengambil kunci mobil dan menggaet tangan Mara agar berjalan bersamanya. Napas gadis itu jadi teratur sedikit. Dewa perang itu mengingat sosok yang masuk ke dalam kamar mandi dan aroma bunga yang begitu khas. Tuduhannya tertuju pada Dewi Ambaramurni, dan sejak kapan seorang dewi bunga berniat membunuh orang? Apakah dewi bunga sudah dibisiki oleh Mahadewi Senandika? “Ars
Ambaramurni merasa kecewa ketika berkali-kali gagal membunuh Mara. Satu saja pecahan arwah Hara tewas, maka tidak akan ada ceritanya dewi kebaikan itu bisa naik ke langit. “Usahamu kurang keras, Ambar,” bisik Dewi Senandika di sebelah keponakannya. “Aku harus bagaimana? Yang menjaganya seorang dewa perang, aku bukan tandingan Arsa sama sekali.” “Dia memang bukan tandinganmu, tapi aku tandingan Arsa, Sayang, kenapa kau lupa.” “Mahadewi, aku tak ingin kita terlalu kelewatan. Sudahlah, menjadi selirnya pun tak apa, aku tak harus jadi permaisurinya.” “Tidak bisa, jadi selir dapat apa? Dapat sisa? Kau itu dewi bunga, lebih cantik dari kebaikan. Wajahmu itu dipuja-puja oleh dewa lain. Ada apa denganmu, Ambar.” Dewi Senandika memegang dagu keponakannya yang halus tanpa cela. Memang dari segi wajah tetap Ambar yang lebih cantik. “Sekalipun aku adalah makhluk paling cantik di dunia ini, kalau bukan aku yang diinginkan Arsa, aku tidak akan pernah mendapatkan hatinya. Aku mulai menyerah de
“Pergi ke mana?” tanya Mara yang merasa tak baik-baik saja. “Pergi sebentar setelah itu aku kembali.” Arsa berbalik dan berniat meninggalkan sang dokter sendirian. “Nggak, nggak bisa, enak aja kamu mau pergi!” Mara membuat pagar betis di depan kamar mandi. “Hanya sementara setelah itu aku ke sini lagi, paham?” “Nggak. Nggak paham, kamu sama aja ya seperti yang lain lama-lama.” “Bukan begitu.” “Terus?” Suara Mara agak tinggi. “Ada urusan yang harus aku selesaikan. Kau tahu, kan, aku siapa sebenarnya?” Sang dewa perang menurunkan tangan Mara yang melintang di depan pintu kamar mandi. Gadis berambut kemerahan itu langsung diam. Iya, meski dulu katanya hanya dongeng, tapi ternyata dewa memang ada. “Berapa lama perginya?” Mara mengalah, sudah menjadi resiko mencintai dewa perang harus siap diabaikan demi urusan yang lebih penting. “Tak lama, setelah itu aku akan menjemputmu.” Entah sudah berapa kali Arsa bilang begitu. “Dijemput, bawa ke mana?” “Satu tempat yang sangat indah. S
Samara mengoperasi Sahira sambil terus memandang gadis itu. Untung saja luka-luka yang diderita tidak terlalu dalam dan Hira masih bisa diselamatkan. Terlambat sedikit ya memang tidak mati, takutnya lupa ingatan saja. “Kok, ada, ya, orang mirip banget sama aku.” Samara memandang wajahnya sendiri di cermin usai melempar peralatan sisa operasi ke tong sampah. Hanya beda di raut wajah saja. Mara hampir 40 tahun Hira belum 20 tahun.“Kebetulan atau gimana.” Mara mencuci wajahnya. Agak segar sedikit tampilannya usai diperbaiki. “Sepi banget rasanya,” gumam sang dokter ketika tahu Arsa tak lagi ada di sisinya. Padahal ia baru saja menikmati setiap limpahan cinta yang diberikan oleh sang dewa perang untuknya. Ketagihan dan kecanduan adalah perasaan Mara sekarang ini. “Kenapa aku jadi nyesel, ya, minum pil KB. Harusnya biarin aja, biar ada kenangan dari Arsa. Mana tahu dia nggak datang lagi. Namanya laki-laki ucapannya jarang bisa dipegang.” Samara mengikat satu rambutnya. Sang dokter sed
Arsa menghindar dari kejaran pemburu neraka yang kali ini ukuranya jauh lebi besar. Ia melompat, terbang dari satu gedung pencakar langit ke gedung lainnya. Serangan itu tak terlihat oleh manusia biasa. Namun, dari atas sana Arsa tahu kalau Sahira dalam perjalanan ke rumah sakit. Pedang petir Arsa dilemparkan. Benda tersebut melilit dan merobek sebagian besar kain berwarna hitam kemerahan yang terus mengejarnya. Pemburu neraka itu tak patah arang. Ia empaskan bebatuan neraka. Arsa menaikkan air kolam renang yang ada di rooftop salah satu hotel. Bukannya padam kolam renang itu justru mengering dibuatnya. “Pergi. Aku tak ada urusan denganmu!” gertak Arsa. Pemburu neraka yang wajahnya ditutup kain itu tertawa. Tawanya membuat angin bertiup kencang dan semakin banyak mobil yang kecelakaan. Setelahnya pemburu tersebut hilang dengan sendirinya. Arsa mengerutkan kening. Tidak mungkin semudah itu menyingkirkan makhluk dengan naluri membunuh yang teramat sangat besar. Dewa perang itu te
“Tidak ada, aku serius,” kata Arsa. “Suer lo, serius ini. Entar udah aku pakai, kamu minta tiga kali lipat, dasar rentenir.” Naik sebelah alis Sahira dibuatnya. “Tidak!” tegas Arsa. Ia melihat di dalam kamar itu tidak ada siapa pun. “Sudah ada uangnya, kita pulang sekarang.” “Kita? Gue aja kali, lo, nggak. Belum bisa, Say, aku harus nungguin kata dokter cantik itu. Empat hari lagi, sih, dan kayaknya aku nggak bisa ambil semua, deh, kebanyakan. Kisaran tujuh juta aja aku pinjem nanti aku balikin. Judulnya minjem bukan mintak, nih!” Sahira mengembalikan lembaran uang milik Arsa yang tidak digunakan. Gadis manis dengan kulit cokelat itu tidak mau aji mumpung. Takut suatu hari Arsa meminta dikembalikan dengan cara yang lain. Yang tadi dia nanya berapa ronde itu cuman iseng aja. “Simpan saja untukmu, aku pergi dulu.” Tapi dewa perang itu tidak mau menerimanya. Dia pergi keluar dan lagi-lagi Samara muncul begitu saja. Mendadak Arsa lupa kalau dia dewa dan bisa menghilang atau menghent