Share

Pak Dewa

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Arsa menghindar dari kejaran pemburu neraka yang kali ini ukuranya jauh lebi besar. Ia melompat, terbang dari satu gedung pencakar langit ke gedung lainnya.

Serangan itu tak terlihat oleh manusia biasa. Namun, dari atas sana Arsa tahu kalau Sahira dalam perjalanan ke rumah sakit.

Pedang petir Arsa dilemparkan. Benda tersebut melilit dan merobek sebagian besar kain berwarna hitam kemerahan yang terus mengejarnya.

Pemburu neraka itu tak patah arang. Ia empaskan bebatuan neraka. Arsa menaikkan air kolam renang yang ada di rooftop salah satu hotel. Bukannya padam kolam renang itu justru mengering dibuatnya.

“Pergi. Aku tak ada urusan denganmu!” gertak Arsa.

Pemburu neraka yang wajahnya ditutup kain itu tertawa. Tawanya membuat angin bertiup kencang dan semakin banyak mobil yang kecelakaan.

Setelahnya pemburu tersebut hilang dengan sendirinya. Arsa mengerutkan kening. Tidak mungkin semudah itu menyingkirkan makhluk dengan naluri membunuh yang teramat sangat besar.

Dewa perang itu te
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Roh Dewa Perang   Tiga Arwah

    “Tidak ada, aku serius,” kata Arsa. “Suer lo, serius ini. Entar udah aku pakai, kamu minta tiga kali lipat, dasar rentenir.” Naik sebelah alis Sahira dibuatnya. “Tidak!” tegas Arsa. Ia melihat di dalam kamar itu tidak ada siapa pun. “Sudah ada uangnya, kita pulang sekarang.” “Kita? Gue aja kali, lo, nggak. Belum bisa, Say, aku harus nungguin kata dokter cantik itu. Empat hari lagi, sih, dan kayaknya aku nggak bisa ambil semua, deh, kebanyakan. Kisaran tujuh juta aja aku pinjem nanti aku balikin. Judulnya minjem bukan mintak, nih!” Sahira mengembalikan lembaran uang milik Arsa yang tidak digunakan. Gadis manis dengan kulit cokelat itu tidak mau aji mumpung. Takut suatu hari Arsa meminta dikembalikan dengan cara yang lain. Yang tadi dia nanya berapa ronde itu cuman iseng aja. “Simpan saja untukmu, aku pergi dulu.” Tapi dewa perang itu tidak mau menerimanya. Dia pergi keluar dan lagi-lagi Samara muncul begitu saja. Mendadak Arsa lupa kalau dia dewa dan bisa menghilang atau menghent

  • Roh Dewa Perang   Kiriman dari Neraka

    Entah karena kebanyakan pikiran atau apa. Arsa masih berdiam diri di apartement milik Samara. Hingga sang dokter terbangun dan menemukan kekasihnya berdiri di sana. “Eh, aku nggak salah lihat, kan?” Mara menggunakan kaca matanya. Terlihat Arsa sedang berdiam diri di lobi unit tanpa melakukan apa-apa. Samara berlari dan memeluk lelaki tersebut dari belakang. Detik itu juga Arsa kaget, kenapa dia tak pergi dari tadi. Pikiran dewa perang yang sedang kusut. Lelaki bermata kuning itu memang ada di kediaman Mara, tapi hatinya terbagi-bagi memikiran dari pecahan arwah yang pertama sampai ke empat. Sedang apa mereka sekarang dan apakah baik-baik saja karena sudah ada yang mengetahui perjalanan Arsa mengumpulkan percahan arwah Dewi Hara. “Arsa, aku kangen banget sama kamu,” ucap Mara tanpa mau melepaskan pelukannya. “Iya, sama tapi aku hanya sebentar saja di sini, Mara.” Dewa perang itu melepaskan tangan Mara dari pinggangnya. “Kenapa? Udah ada yang lain. Baru juga dua hari kita nggak ju

  • Roh Dewa Perang   Dugaan

    “Nira hilang. Dia pergi ke mana?” tanya Arsa dan Rogu tak tahu. Entah ke dimensi mana arah yang dituju Nira. Yang jelas mantan penjaga neraka itu mencari keberadaan Arsa. Lama termenung membuat Arsa hilang arah dan matanya terbelalak. Belati dari neraka itu menembus perutnya. Ia kesakitan tapi masih bisa terbang. Pedang petir ia lempar dengan kekuatan penuh dan membuat belati itu meledak. Dahsyatnya ledakan membuat Rogu terpental jauh. Perlahan-lahan kesadaran Arsa hilang. Ia pun jatuh terus ke bumi dan tubuhnya menghantam tanah. Dewa perang itu masih setengah sadar. Matanya terpejam karena tak tahan dengan silau matahari. “Woi, ada korban lagi, tolong-tolong!” teriak salah satu petugas medis dan mereka berusaha menaikkan Arsa ke ambulance walau agak berat. “Teruskan sama Dokter Samara. Pasien sudah luka parah,” ujar salah satu petugas medis. *** Di rumah sakit Mara telah menjalani beberapa operasi ringan. Dokter bedah itu menguatkan hati ketika tahu apartemennya runtuh. Ia tak

  • Roh Dewa Perang   Awal yang Baru

    Samara menarik napas panjang ketika muntahnya mereda. Sejak bertemu dan menjalin hubungan terlalu jauh dengan Arsa, dokter bedah itu memang menyediakan test pack di tasnya. Meski ia telah minum pil KB tapi resiko kebobolan tetap ada. "Oke, tenang, kalau tidur sama lelali memang harus siap hamil," gumam Mara sambil membuka bungkus TP. Beberapa saat setelah diguyur air seni, pecahan arwah kelima Hara itu memejamkan mata. Hasilnya positive, Samara hamil anak Arsa."Terus aku harus gimana. Ayahnya aja suka datang dan pergi sesuka hati." Samara membuang TP ke tong sampah. Ia tetap jalankan aktivitas tanpa gangguan sama sekali. Rasa kantuk dan mual bisa ia tahan. Yang sulit menahan rindu pada Arsa yang sangat menggebu-gebu."Kita periksa hari ini ya, Sayang, kalau pun hanya ada kita berdua tanpa papa kamu, nggak apa-apa, Mama bisa besarin kamu sendirian." Mara menarik napas menenangkan debar jantungnya yang tak tenang. Dengan sekuat tenaga ia masuk ke dalam poliklinik ibu dan anak dan men

  • Roh Dewa Perang   Musim Panas

    Sahira masuk ke kampus lagi masih dalam kondisi setengah terluka di bagian kepala. Tapi kalau didiamkan terus dia bisa bosan seharian di rumah. “Huuuh. Pak Dewa, kok, nggak pernah kelihatan lagi, ya, habis di rumah sakit. Balikin duitnya itu loh. Apa emang ada orang seikhlas ngasih gitu aja?” gumam Hira di dalam kelas. Beberapa temannya berhamburan masuk. Dosen mata pelajaran katanya ada yang baru. Hira menundukkan kepala membuka buku dan mengeluarkan pena. Kemudian pecahan arwah keenam itu mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing. “Selamat pagi semuanya. Perkenalan namaku Dewa Arsa.” Lelaki itu menulis di papan putih menggunakan spidol merah. Jatuh pena Hira ketika tahu Pak Dewa adalah dosen baru. “Mati aku. Udahlah kemarin sempat digodain, astaga, bisa pura-pura jadi keset aja nggak, sih?” Hira duduk lebih rendah dari temannya yang ada di depan. Biasanya dia paling aktif. Sesekali boleh jadi anak pendiam. “Keluarkan buku dan kalian aku beri waktu belajar selama sepuluh

  • Roh Dewa Perang   Kepanasan

    “Mau pergi ke mana? Di luar sangat panas, kulitmu yang halus itu tak akan bisa menahannya.” Arsa mengunci pintu agar Hira tak keluar. Benar kata dia panasnya tak masuk akal. Hira mengintip dari jendela, tapi hanya terlihat pagar saja. Percaya tak percaya besi dicat putih itu mulai layu. “Wow, kira-kira apa sebabnya, ya, Pak? Perasaan nggak pernah sepanas ini, deh.” “Tidak tahu, kau tak ada kerjaan, bukan? Memasaklah, anggap ini salah satu cara mengangsur hutangmu.” Arsa mengeluarkan barang-barang di atas meja. Hira menggerutu, tapi dia tak punya pilihan lain. Lumayan juga kalau hutangnya dikurangin dikit. “Masak apa, Pak?” “Terserah,” jawab Arsa sekenanya. Terasa mulai panas sekali lingkungan sekitar. Dewa perang itu membuka baju kausnya. Ia tak pakai singlet, tak biasa. Lantas Hira ber wow saja melihat pemandangan indah di depan matanya. “Six pack, bok, kayae orangnya kuat ini makanya punya istri aja lima.” Hira mulai membuka kaleng sarden. Ia keluarkan isinya dan mulai meny

  • Roh Dewa Perang   Persahabatan

    Dewi pelangi memasuki kamar Dewi Ambar yang sedang kena gangguan pikiran. Dewi bunga itu sedang tidak baik-baik saja setelah ditolak terlalu kasar oleh Arsa. Bahkan sejak saat ia dilempar Arsa semua bunga baik yang di langit atau bumi jadi layu karena tak ada pancaran kebahagiaan dari Ambar. Gadis itu duduk bertapa dalam kamarnya tanpa melakukan apa-apa. Hati yang hampa dan pikiran yang kalut membuatnya tak peduli siapa pun yang menerobos masuk. Bukan hanya dewi pelangi saja, tapi yang lain sudah pernah menerobos. “Ternyata semudah ini melakukannya,” ucap Dewi Pelangi hijau yang membuka tempat penyimpanan milik Ambar. Ada satu buah guci yang apabila disentuh rasanya sangat sejuk dan menenangkan. “Ini pasti mata air surga, tak apa aku ambil tiga tetes saja, ya.” Ambar memindahkan sedikit air dalam guci ke cawan pemberian Arsa. Setelahnya ia pun pergi. Ambar masih tak bergerak sama sekali. Walau nyawa hilang mungkin ia sudah pasrah juga. “Dewa Arsa, ini.” Dewi pelangi hijau kembali

  • Roh Dewa Perang   Memaksa

    Dunia berjalan seperti biasa ketika panas tak lagi menyengat sampai ke daging. Arsa ketika datang melihat Hira tergeletak di kamar mandi. Ia menolong dengan cepat dan memberikan minum yang cukup banyak. Gadis itu sadar dan kembali merasa terhutang budi padanya, padahal hutang-hutang yang lain juga belum lunas. Setelahnya mereka berdua menolong warga yang kebingungan ada di rumah Arsa. Yang selamat diberi tahu untuk pulang, yang meninggal dunia diserahkan pada keluarga. Tak terhitung lagi berapa kerugian yang diderita. Jalanan serta properti yang hancur termasuk emas juga yang melebur. Hira memandang langit yang meneteskan air hujan. Fenomena alam yang terjadi cukup unik. Pelangi melengkung di atas hujan, sayangnya … “Kok, nggak ada warna hijau, ya?” gumam Sahira. Arsa ikut melihat pelangi. Tak ia sangka dewi pelangi hijau akan jadi korban karenanya. Sebenarnya bukan hanya dewi pelangi saja, Dewi Anjas juga belum lepas sampai sekarang karena Arsa tidak tahu kejadiannya sama sekali

Latest chapter

  • Roh Dewa Perang   107. Rubah yang Angkuh

    Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el

  • Roh Dewa Perang   106. Sepasang Kekasih?

    Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen

  • Roh Dewa Perang   105. Gunung Api & Es

    Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat

  • Roh Dewa Perang   104. Ramalan

    Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m

  • Roh Dewa Perang   103. Rubah Ekor Tujuh

    Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb

  • Roh Dewa Perang   102

    Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.

  • Roh Dewa Perang   Pilar Langit

    “Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand

  • Roh Dewa Perang   Arti Sebuah Nama

    Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc

  • Roh Dewa Perang   Air Embun Langit

    “Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling

DMCA.com Protection Status