“Tidak ada, aku serius,” kata Arsa. “Suer lo, serius ini. Entar udah aku pakai, kamu minta tiga kali lipat, dasar rentenir.” Naik sebelah alis Sahira dibuatnya. “Tidak!” tegas Arsa. Ia melihat di dalam kamar itu tidak ada siapa pun. “Sudah ada uangnya, kita pulang sekarang.” “Kita? Gue aja kali, lo, nggak. Belum bisa, Say, aku harus nungguin kata dokter cantik itu. Empat hari lagi, sih, dan kayaknya aku nggak bisa ambil semua, deh, kebanyakan. Kisaran tujuh juta aja aku pinjem nanti aku balikin. Judulnya minjem bukan mintak, nih!” Sahira mengembalikan lembaran uang milik Arsa yang tidak digunakan. Gadis manis dengan kulit cokelat itu tidak mau aji mumpung. Takut suatu hari Arsa meminta dikembalikan dengan cara yang lain. Yang tadi dia nanya berapa ronde itu cuman iseng aja. “Simpan saja untukmu, aku pergi dulu.” Tapi dewa perang itu tidak mau menerimanya. Dia pergi keluar dan lagi-lagi Samara muncul begitu saja. Mendadak Arsa lupa kalau dia dewa dan bisa menghilang atau menghent
Entah karena kebanyakan pikiran atau apa. Arsa masih berdiam diri di apartement milik Samara. Hingga sang dokter terbangun dan menemukan kekasihnya berdiri di sana. “Eh, aku nggak salah lihat, kan?” Mara menggunakan kaca matanya. Terlihat Arsa sedang berdiam diri di lobi unit tanpa melakukan apa-apa. Samara berlari dan memeluk lelaki tersebut dari belakang. Detik itu juga Arsa kaget, kenapa dia tak pergi dari tadi. Pikiran dewa perang yang sedang kusut. Lelaki bermata kuning itu memang ada di kediaman Mara, tapi hatinya terbagi-bagi memikiran dari pecahan arwah yang pertama sampai ke empat. Sedang apa mereka sekarang dan apakah baik-baik saja karena sudah ada yang mengetahui perjalanan Arsa mengumpulkan percahan arwah Dewi Hara. “Arsa, aku kangen banget sama kamu,” ucap Mara tanpa mau melepaskan pelukannya. “Iya, sama tapi aku hanya sebentar saja di sini, Mara.” Dewa perang itu melepaskan tangan Mara dari pinggangnya. “Kenapa? Udah ada yang lain. Baru juga dua hari kita nggak ju
“Nira hilang. Dia pergi ke mana?” tanya Arsa dan Rogu tak tahu. Entah ke dimensi mana arah yang dituju Nira. Yang jelas mantan penjaga neraka itu mencari keberadaan Arsa. Lama termenung membuat Arsa hilang arah dan matanya terbelalak. Belati dari neraka itu menembus perutnya. Ia kesakitan tapi masih bisa terbang. Pedang petir ia lempar dengan kekuatan penuh dan membuat belati itu meledak. Dahsyatnya ledakan membuat Rogu terpental jauh. Perlahan-lahan kesadaran Arsa hilang. Ia pun jatuh terus ke bumi dan tubuhnya menghantam tanah. Dewa perang itu masih setengah sadar. Matanya terpejam karena tak tahan dengan silau matahari. “Woi, ada korban lagi, tolong-tolong!” teriak salah satu petugas medis dan mereka berusaha menaikkan Arsa ke ambulance walau agak berat. “Teruskan sama Dokter Samara. Pasien sudah luka parah,” ujar salah satu petugas medis. *** Di rumah sakit Mara telah menjalani beberapa operasi ringan. Dokter bedah itu menguatkan hati ketika tahu apartemennya runtuh. Ia tak
Samara menarik napas panjang ketika muntahnya mereda. Sejak bertemu dan menjalin hubungan terlalu jauh dengan Arsa, dokter bedah itu memang menyediakan test pack di tasnya. Meski ia telah minum pil KB tapi resiko kebobolan tetap ada. "Oke, tenang, kalau tidur sama lelali memang harus siap hamil," gumam Mara sambil membuka bungkus TP. Beberapa saat setelah diguyur air seni, pecahan arwah kelima Hara itu memejamkan mata. Hasilnya positive, Samara hamil anak Arsa."Terus aku harus gimana. Ayahnya aja suka datang dan pergi sesuka hati." Samara membuang TP ke tong sampah. Ia tetap jalankan aktivitas tanpa gangguan sama sekali. Rasa kantuk dan mual bisa ia tahan. Yang sulit menahan rindu pada Arsa yang sangat menggebu-gebu."Kita periksa hari ini ya, Sayang, kalau pun hanya ada kita berdua tanpa papa kamu, nggak apa-apa, Mama bisa besarin kamu sendirian." Mara menarik napas menenangkan debar jantungnya yang tak tenang. Dengan sekuat tenaga ia masuk ke dalam poliklinik ibu dan anak dan men
Sahira masuk ke kampus lagi masih dalam kondisi setengah terluka di bagian kepala. Tapi kalau didiamkan terus dia bisa bosan seharian di rumah. “Huuuh. Pak Dewa, kok, nggak pernah kelihatan lagi, ya, habis di rumah sakit. Balikin duitnya itu loh. Apa emang ada orang seikhlas ngasih gitu aja?” gumam Hira di dalam kelas. Beberapa temannya berhamburan masuk. Dosen mata pelajaran katanya ada yang baru. Hira menundukkan kepala membuka buku dan mengeluarkan pena. Kemudian pecahan arwah keenam itu mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing. “Selamat pagi semuanya. Perkenalan namaku Dewa Arsa.” Lelaki itu menulis di papan putih menggunakan spidol merah. Jatuh pena Hira ketika tahu Pak Dewa adalah dosen baru. “Mati aku. Udahlah kemarin sempat digodain, astaga, bisa pura-pura jadi keset aja nggak, sih?” Hira duduk lebih rendah dari temannya yang ada di depan. Biasanya dia paling aktif. Sesekali boleh jadi anak pendiam. “Keluarkan buku dan kalian aku beri waktu belajar selama sepuluh
“Mau pergi ke mana? Di luar sangat panas, kulitmu yang halus itu tak akan bisa menahannya.” Arsa mengunci pintu agar Hira tak keluar. Benar kata dia panasnya tak masuk akal. Hira mengintip dari jendela, tapi hanya terlihat pagar saja. Percaya tak percaya besi dicat putih itu mulai layu. “Wow, kira-kira apa sebabnya, ya, Pak? Perasaan nggak pernah sepanas ini, deh.” “Tidak tahu, kau tak ada kerjaan, bukan? Memasaklah, anggap ini salah satu cara mengangsur hutangmu.” Arsa mengeluarkan barang-barang di atas meja. Hira menggerutu, tapi dia tak punya pilihan lain. Lumayan juga kalau hutangnya dikurangin dikit. “Masak apa, Pak?” “Terserah,” jawab Arsa sekenanya. Terasa mulai panas sekali lingkungan sekitar. Dewa perang itu membuka baju kausnya. Ia tak pakai singlet, tak biasa. Lantas Hira ber wow saja melihat pemandangan indah di depan matanya. “Six pack, bok, kayae orangnya kuat ini makanya punya istri aja lima.” Hira mulai membuka kaleng sarden. Ia keluarkan isinya dan mulai meny
Dewi pelangi memasuki kamar Dewi Ambar yang sedang kena gangguan pikiran. Dewi bunga itu sedang tidak baik-baik saja setelah ditolak terlalu kasar oleh Arsa. Bahkan sejak saat ia dilempar Arsa semua bunga baik yang di langit atau bumi jadi layu karena tak ada pancaran kebahagiaan dari Ambar. Gadis itu duduk bertapa dalam kamarnya tanpa melakukan apa-apa. Hati yang hampa dan pikiran yang kalut membuatnya tak peduli siapa pun yang menerobos masuk. Bukan hanya dewi pelangi saja, tapi yang lain sudah pernah menerobos. “Ternyata semudah ini melakukannya,” ucap Dewi Pelangi hijau yang membuka tempat penyimpanan milik Ambar. Ada satu buah guci yang apabila disentuh rasanya sangat sejuk dan menenangkan. “Ini pasti mata air surga, tak apa aku ambil tiga tetes saja, ya.” Ambar memindahkan sedikit air dalam guci ke cawan pemberian Arsa. Setelahnya ia pun pergi. Ambar masih tak bergerak sama sekali. Walau nyawa hilang mungkin ia sudah pasrah juga. “Dewa Arsa, ini.” Dewi pelangi hijau kembali
Dunia berjalan seperti biasa ketika panas tak lagi menyengat sampai ke daging. Arsa ketika datang melihat Hira tergeletak di kamar mandi. Ia menolong dengan cepat dan memberikan minum yang cukup banyak. Gadis itu sadar dan kembali merasa terhutang budi padanya, padahal hutang-hutang yang lain juga belum lunas. Setelahnya mereka berdua menolong warga yang kebingungan ada di rumah Arsa. Yang selamat diberi tahu untuk pulang, yang meninggal dunia diserahkan pada keluarga. Tak terhitung lagi berapa kerugian yang diderita. Jalanan serta properti yang hancur termasuk emas juga yang melebur. Hira memandang langit yang meneteskan air hujan. Fenomena alam yang terjadi cukup unik. Pelangi melengkung di atas hujan, sayangnya … “Kok, nggak ada warna hijau, ya?” gumam Sahira. Arsa ikut melihat pelangi. Tak ia sangka dewi pelangi hijau akan jadi korban karenanya. Sebenarnya bukan hanya dewi pelangi saja, Dewi Anjas juga belum lepas sampai sekarang karena Arsa tidak tahu kejadiannya sama sekali