Arsa memejamkan mata. Usai mengantar Samara pulang ia pun kembali ke unit yang katanya ia sewa. Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu mengingat kenangan lama bersama Hara. Bagaimanapun juga sikap Hara yang peduli dengan orang lain tetap terbawa pada setiap pecahannya. Kecuali mungkin Nira yang menjadi penjaga neraka. Pada saat itu … Dewi Hara yang menggunakan sutera berwarna biru muda sedang menadahkan tangan menampung butiran hujan. Ia melihat dewi langit terbang dengan indah memberikan air yang dibutuhkan manusia. Tak lama kemudian Arsa yang baru saja mengelilingi langit datang menghampiri istrinya. Hara langsung mencipratkan air di tangannya ke wajah Arsa. Dewa perang itu memejamkan mata sesaat dan menyimpan pedang petirnya di satu tempat. “Wajahmu menghitam, baru pulang dari mana?” tanya Hara sembari membersihkan wajah Arsa dengan sapu tangan miliknya. “Seperti biasa, menyelesaikan huru-hara,” jawab lelaki itu tanpa mengedipkan mata sama sekali. “Di bumi?” “Iya, di mana lag
Arsa mencoba gaya hidup ala manusia biasa di dalam unit apartemen. Dewa perang itu menghidupkan shower dan membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya. Air yang hangat, sehangat kulit Hara ketika senantiasa melayani dirinya. Sebuah hal yang membuat Arsa tak akan bisa melupakan kebaikan istrinya. Shower itu dimatikan ketika ritual mandinya telah selesai. Meski tak menggunakan sabun, seorang dewa memiliki aroma khas tersendiri hingga membuat orang pun betah ada di sisinya. Arsa mencoba melilit handuk dari pinggang sampai ke atas lutut. Ia terlihat sangat cocok tinggal di zaman modern. Bel di unit apartement Arsa berbunyi. Ia menarik napas sejenak dan menyugar rambutnya. Tanpa membuka pintu pun ia tahu siapa yang datang. “Oh, hai, aku ganggu, ya?” Samara berpaling ketika melihat Arsa shirtless. “Tidak, masuklah.” Arsa membuka pintu kian lebar. Usai Mara masuk pintu terkunci otomatis. Gadis berambut kemerahan itu menoleh dan menelan ludah, takut dia jadinya. “Tunggu aku ganti baju du
Malam ini Samara menggunakan gaun terusan berwarna biru muda dan rambutnya yang sebahu digerai. Sedangkan Arsa masih dengan gaya yang sama. Sang dokter menyetir mobil menuju rumah yang katanya mama. “Kamu, kok, diem aja? Nggak suka ke tempat mama, ya? Aku bisa batalin, kok,” kata Mara. Arsa menggeleng saja. Dia hanya bingung nanti bagaimana harus berhadapan dengan mahadewi. Saat di langit para dewa harus memberi hormat pada raja dan ratu langit. “Tidak apa-apa. Kita sudah sejauh ini, tidak perlu mundur lagi,” jawab Arsa. Terkadang matanya tak sengaja berkilau, pertanda ia sedang dalam emosi yang tidak baik. “Oh, iya.” Mara memahami Arsa sedang gundah. Hubungan mereka bisa dikatakan belum terlalu jauh. Masih jalan di tempat saja. Seharusnya Mara bisa dimiliki dengan mudah, tapi nyatanya Mahadewi Senandika datang mengacaukan semuanya. Mobil memasuki kawan elit yang dijaga oleh beberapa satpam. Samara mengarahkan mobil memasuki rumah mewah milik kedua orang tuanya. Dari gaya bangu
“Aduh.” Mara tak tahan dengan perlakuan Senandika yang nyaris menusuknya. “Menyusahkan saja kau ini.” Mahadewi menghempas Mara hingga gadis itu nyaris menabrak dinding. Arsa dengan cepat menangkap Mara. Sang dokter sampai shock dan tak bisa berkata apa-apa. “Tidak apa-apa, tidurlah.” Dewa perang mengusap wajah Mara dan beberapa saat kemudan ia tidur. “Mahadewi,” panggil Arsa. Wanita itu mengambil cerutu, menghidupkan, dan mengembuskan asapnya ke arah sang dewa perang. “Kau ketahuan,” ucap Senandika. “Lalu? Kau ingin memerangiku, bukankah sudah kukatakan.” “Tidak, Arsa, tidak, aku tidak ingin memerangimu. Aku hanya ingin memperingatimu, tidak semua yang terjadi sesuai kehendakmu. Ada masanya kau akan menyesali semua ini.” Senandika berganti baju menggunakan pakaiannya di langit. Pun dengan Arsa, hanya tinggal zirah perang saja yang belum digunakan. “Satu-satunya yang kusesali adalah tidak melindungi Hara lebih dahulu. Aku yakin ada yang menjebaknya.” “Kau menuduhku?” tanya mah
Hampir memutih mata Mara karena cekikan di leher, kemudian Arsa masuk karena mendengar suara kekasihnya kesakitan. Sesaat tadi pendengarannya ada yang menutup. “Kenapa?” tanya Arsa setelah membuka lilitan keran air di leher Mara. Gadis itu hanya menggeleng saja. Ia masih syok. Di dalam kamar, Mara mengganti bajunya dengan tangan gemetaran, Arsa di dalam sana mengawasi, sudah tidak ada lagit batasan antara keduanya, dan dari dulu memang seperti itu. “Aku berangkat kerja dulu.” Mara mengambil kunci mobil tapi jatuh. Sang dokter bedah masih takut tapi dia juga punya kewajiban yang harus ditunaikan. “Aku antar.” Arsa mengambil kunci mobil dan menggaet tangan Mara agar berjalan bersamanya. Napas gadis itu jadi teratur sedikit. Dewa perang itu mengingat sosok yang masuk ke dalam kamar mandi dan aroma bunga yang begitu khas. Tuduhannya tertuju pada Dewi Ambaramurni, dan sejak kapan seorang dewi bunga berniat membunuh orang? Apakah dewi bunga sudah dibisiki oleh Mahadewi Senandika? “Ars
Ambaramurni merasa kecewa ketika berkali-kali gagal membunuh Mara. Satu saja pecahan arwah Hara tewas, maka tidak akan ada ceritanya dewi kebaikan itu bisa naik ke langit. “Usahamu kurang keras, Ambar,” bisik Dewi Senandika di sebelah keponakannya. “Aku harus bagaimana? Yang menjaganya seorang dewa perang, aku bukan tandingan Arsa sama sekali.” “Dia memang bukan tandinganmu, tapi aku tandingan Arsa, Sayang, kenapa kau lupa.” “Mahadewi, aku tak ingin kita terlalu kelewatan. Sudahlah, menjadi selirnya pun tak apa, aku tak harus jadi permaisurinya.” “Tidak bisa, jadi selir dapat apa? Dapat sisa? Kau itu dewi bunga, lebih cantik dari kebaikan. Wajahmu itu dipuja-puja oleh dewa lain. Ada apa denganmu, Ambar.” Dewi Senandika memegang dagu keponakannya yang halus tanpa cela. Memang dari segi wajah tetap Ambar yang lebih cantik. “Sekalipun aku adalah makhluk paling cantik di dunia ini, kalau bukan aku yang diinginkan Arsa, aku tidak akan pernah mendapatkan hatinya. Aku mulai menyerah de
“Pergi ke mana?” tanya Mara yang merasa tak baik-baik saja. “Pergi sebentar setelah itu aku kembali.” Arsa berbalik dan berniat meninggalkan sang dokter sendirian. “Nggak, nggak bisa, enak aja kamu mau pergi!” Mara membuat pagar betis di depan kamar mandi. “Hanya sementara setelah itu aku ke sini lagi, paham?” “Nggak. Nggak paham, kamu sama aja ya seperti yang lain lama-lama.” “Bukan begitu.” “Terus?” Suara Mara agak tinggi. “Ada urusan yang harus aku selesaikan. Kau tahu, kan, aku siapa sebenarnya?” Sang dewa perang menurunkan tangan Mara yang melintang di depan pintu kamar mandi. Gadis berambut kemerahan itu langsung diam. Iya, meski dulu katanya hanya dongeng, tapi ternyata dewa memang ada. “Berapa lama perginya?” Mara mengalah, sudah menjadi resiko mencintai dewa perang harus siap diabaikan demi urusan yang lebih penting. “Tak lama, setelah itu aku akan menjemputmu.” Entah sudah berapa kali Arsa bilang begitu. “Dijemput, bawa ke mana?” “Satu tempat yang sangat indah. S
Samara mengoperasi Sahira sambil terus memandang gadis itu. Untung saja luka-luka yang diderita tidak terlalu dalam dan Hira masih bisa diselamatkan. Terlambat sedikit ya memang tidak mati, takutnya lupa ingatan saja. “Kok, ada, ya, orang mirip banget sama aku.” Samara memandang wajahnya sendiri di cermin usai melempar peralatan sisa operasi ke tong sampah. Hanya beda di raut wajah saja. Mara hampir 40 tahun Hira belum 20 tahun.“Kebetulan atau gimana.” Mara mencuci wajahnya. Agak segar sedikit tampilannya usai diperbaiki. “Sepi banget rasanya,” gumam sang dokter ketika tahu Arsa tak lagi ada di sisinya. Padahal ia baru saja menikmati setiap limpahan cinta yang diberikan oleh sang dewa perang untuknya. Ketagihan dan kecanduan adalah perasaan Mara sekarang ini. “Kenapa aku jadi nyesel, ya, minum pil KB. Harusnya biarin aja, biar ada kenangan dari Arsa. Mana tahu dia nggak datang lagi. Namanya laki-laki ucapannya jarang bisa dipegang.” Samara mengikat satu rambutnya. Sang dokter sed
Kuwara mengubah wujudnya menjadi seekor serigala besar dan berdiri di dua kakinya. Dewa perang itu juga mengubah wujudnya menjadi seekor harimau kuning besar dengan otot yang kokoh serta taring dan kuku yang tajam. Dua binatang buas yang saling berteriak dan memamerkan kekuatan mereka. Suara auman yang terdengar membahana sampai menembus portal keamanan milik Dewa Rama. Bahkan Hara terkejut dan hampir pegangannya pada Dewi Anjas terlepas. Di bumi, suara dua dewa yang sedang bertikai itu terdengar seperti naga yang sedang bangkit dari tidurnya. Macam-macam legenda yang berkembang. Terutama ketika tubuh binatang buas itu menutupi bulan yang bersinar terang. Penduduk bumi akan mulai memukul kentungan agar mereka yang bertikai memuntahkan bulan yang ditelan. Harimau dan serigala itu saling bergelut. Mencakar, menggigit, menendang, mematahkan tulang belulang. Kuku mereka masuk ke menembus kulit, tulang serta daging. Darah bercucuran sampai menetes ke bumi hingga membuat tumbuhan yang
Hara memegang pedang api neraka di tangan kanannya. Ia bersiap menghadapi pasukan iblis yang jumlahnya begitu banyak. Sang dewi melompat dan menaikkan lalu menebas pedangnya hingga timbul gelombang energi angin yang cukup besar. Gelombang itu tajam sesuai dengan pedangnya dan membuat beberapa bagian tubuh iblis terputus. Kemudian ibu dari Dewa Kembar itu berlarian dari satu atap ke atap lainnya sembari mengayunkan senjata mengikuti gerakan para iblis yang begitu gesit. Peluh Hara bercucuran. Ia melompat lebih tinggi dan mencoba meretakkan portal iblis yang dibuat oleh Kuwara. Portal hancur sedikit demi sedikit. Cahaya hijau terang dari tubuh Dewi Anjas keluar menembus langit. “Besar juga kekuatanmu sejak kembali dari bumi.” Kuwara memperhatikan pertarungan sengit dari atas singgasananya. Di sisi kirinya Dewi Anjasmara terkulai lemah tanpa bisa melawan.Sementara itu Reksi berdiri di antara barisan para prajurit neraka yang menghadapi Arsa. Pelayan Raja Iblis itu memiliki dendam yan
Seekor rubah ekor tujuh berlarian di atas gunung es. Ekornya bergerak ke sana kemari dengan lincah hingga membuat pola yang cahayanya berpendar begitu indah. Rubah ekor tujuh itu melompat ketika seekor harimau mengejarnya. Sang dewi api sedang menguji kekuatan barunya. Benar ia telah menyatu dengan makhluk kuno yang habitatnya dulu hancur diburu para iblis. Seekor harimau besar melompat cukup tinggi, mata rubah ekor tujuh itu bersinar terang. Dengan kekuatannya ia bersusaha menghindar dari terkaman. Namun, setelah rubah melompat tetap saja harimau yang merupakan perwujudan dari dewa perang mampu menangkapnya. “Ah, sudah, sudah hentikan! Aku tak tahan geli!” Dewi Hara mengubah wujud menjadi seperti biasa ketika kuku-kuku harimau yang tajam menelisik bulu-bulu rubah yang halus. Hara tak berhenti tertawa sampai menangis ketika Arsa terus menggodanya. “Ternyata seorang Dewi Api bisa geli juga. Kupikir seluruh tubuhnya akan dilindungi perisai sampai tak bisa tersentuh.” Arsa menyudahi
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.