Samara keluar dari unit apartementnya, pada saat itu Arsa juga melakukan hal yang sama. Dokter Mara agak siang hari ke rumah sakit. Dua orang itu sama-sama berjalan dan menuju pintu unit gadis yang ingin melakukan percobaan bunuh diri tadi malam. “Aku mau pastikan keadaan dia baik-baik aja atau nggak,” ujar Samara sebelum ditanya. Arsa mengisyaratkan tangannya agar dokter itu terus saja, walaupun … “Kok, nggak dibuka juga, ya?” Mara menekan bel berkali-kali. Arsa tahu apa yang terjadi tadi malam setelah Mara tidur. Ia tak mau mencegah karena sudah ditolong satu kali. Pintu apartement terbuka sendiri karena disentuh oleh Arsa. Mara lekas masuk dan terkejut ketika menemukan gadis itu meregang nyawa dengan leher terjerat di seutas tali. Sekujur tubuh Mara lemas dan ia jatuh, untung Arsa menangkapnya. Meski tak pingsan, sang dokter tak sanggup mengatakan apa-apa. Namun, ia menarik napas sejenak. “Panggil security biar mayatnya diturunkan,” ujar Mara dengan suara lemah. Arsa mengiyaka
Arsa memejamkan mata. Usai mengantar Samara pulang ia pun kembali ke unit yang katanya ia sewa. Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu mengingat kenangan lama bersama Hara. Bagaimanapun juga sikap Hara yang peduli dengan orang lain tetap terbawa pada setiap pecahannya. Kecuali mungkin Nira yang menjadi penjaga neraka. Pada saat itu … Dewi Hara yang menggunakan sutera berwarna biru muda sedang menadahkan tangan menampung butiran hujan. Ia melihat dewi langit terbang dengan indah memberikan air yang dibutuhkan manusia. Tak lama kemudian Arsa yang baru saja mengelilingi langit datang menghampiri istrinya. Hara langsung mencipratkan air di tangannya ke wajah Arsa. Dewa perang itu memejamkan mata sesaat dan menyimpan pedang petirnya di satu tempat. “Wajahmu menghitam, baru pulang dari mana?” tanya Hara sembari membersihkan wajah Arsa dengan sapu tangan miliknya. “Seperti biasa, menyelesaikan huru-hara,” jawab lelaki itu tanpa mengedipkan mata sama sekali. “Di bumi?” “Iya, di mana lag
Arsa mencoba gaya hidup ala manusia biasa di dalam unit apartemen. Dewa perang itu menghidupkan shower dan membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya. Air yang hangat, sehangat kulit Hara ketika senantiasa melayani dirinya. Sebuah hal yang membuat Arsa tak akan bisa melupakan kebaikan istrinya. Shower itu dimatikan ketika ritual mandinya telah selesai. Meski tak menggunakan sabun, seorang dewa memiliki aroma khas tersendiri hingga membuat orang pun betah ada di sisinya. Arsa mencoba melilit handuk dari pinggang sampai ke atas lutut. Ia terlihat sangat cocok tinggal di zaman modern. Bel di unit apartement Arsa berbunyi. Ia menarik napas sejenak dan menyugar rambutnya. Tanpa membuka pintu pun ia tahu siapa yang datang. “Oh, hai, aku ganggu, ya?” Samara berpaling ketika melihat Arsa shirtless. “Tidak, masuklah.” Arsa membuka pintu kian lebar. Usai Mara masuk pintu terkunci otomatis. Gadis berambut kemerahan itu menoleh dan menelan ludah, takut dia jadinya. “Tunggu aku ganti baju du
Malam ini Samara menggunakan gaun terusan berwarna biru muda dan rambutnya yang sebahu digerai. Sedangkan Arsa masih dengan gaya yang sama. Sang dokter menyetir mobil menuju rumah yang katanya mama. “Kamu, kok, diem aja? Nggak suka ke tempat mama, ya? Aku bisa batalin, kok,” kata Mara. Arsa menggeleng saja. Dia hanya bingung nanti bagaimana harus berhadapan dengan mahadewi. Saat di langit para dewa harus memberi hormat pada raja dan ratu langit. “Tidak apa-apa. Kita sudah sejauh ini, tidak perlu mundur lagi,” jawab Arsa. Terkadang matanya tak sengaja berkilau, pertanda ia sedang dalam emosi yang tidak baik. “Oh, iya.” Mara memahami Arsa sedang gundah. Hubungan mereka bisa dikatakan belum terlalu jauh. Masih jalan di tempat saja. Seharusnya Mara bisa dimiliki dengan mudah, tapi nyatanya Mahadewi Senandika datang mengacaukan semuanya. Mobil memasuki kawan elit yang dijaga oleh beberapa satpam. Samara mengarahkan mobil memasuki rumah mewah milik kedua orang tuanya. Dari gaya bangu
“Aduh.” Mara tak tahan dengan perlakuan Senandika yang nyaris menusuknya. “Menyusahkan saja kau ini.” Mahadewi menghempas Mara hingga gadis itu nyaris menabrak dinding. Arsa dengan cepat menangkap Mara. Sang dokter sampai shock dan tak bisa berkata apa-apa. “Tidak apa-apa, tidurlah.” Dewa perang mengusap wajah Mara dan beberapa saat kemudan ia tidur. “Mahadewi,” panggil Arsa. Wanita itu mengambil cerutu, menghidupkan, dan mengembuskan asapnya ke arah sang dewa perang. “Kau ketahuan,” ucap Senandika. “Lalu? Kau ingin memerangiku, bukankah sudah kukatakan.” “Tidak, Arsa, tidak, aku tidak ingin memerangimu. Aku hanya ingin memperingatimu, tidak semua yang terjadi sesuai kehendakmu. Ada masanya kau akan menyesali semua ini.” Senandika berganti baju menggunakan pakaiannya di langit. Pun dengan Arsa, hanya tinggal zirah perang saja yang belum digunakan. “Satu-satunya yang kusesali adalah tidak melindungi Hara lebih dahulu. Aku yakin ada yang menjebaknya.” “Kau menuduhku?” tanya mah
Hampir memutih mata Mara karena cekikan di leher, kemudian Arsa masuk karena mendengar suara kekasihnya kesakitan. Sesaat tadi pendengarannya ada yang menutup. “Kenapa?” tanya Arsa setelah membuka lilitan keran air di leher Mara. Gadis itu hanya menggeleng saja. Ia masih syok. Di dalam kamar, Mara mengganti bajunya dengan tangan gemetaran, Arsa di dalam sana mengawasi, sudah tidak ada lagit batasan antara keduanya, dan dari dulu memang seperti itu. “Aku berangkat kerja dulu.” Mara mengambil kunci mobil tapi jatuh. Sang dokter bedah masih takut tapi dia juga punya kewajiban yang harus ditunaikan. “Aku antar.” Arsa mengambil kunci mobil dan menggaet tangan Mara agar berjalan bersamanya. Napas gadis itu jadi teratur sedikit. Dewa perang itu mengingat sosok yang masuk ke dalam kamar mandi dan aroma bunga yang begitu khas. Tuduhannya tertuju pada Dewi Ambaramurni, dan sejak kapan seorang dewi bunga berniat membunuh orang? Apakah dewi bunga sudah dibisiki oleh Mahadewi Senandika? “Ars
Ambaramurni merasa kecewa ketika berkali-kali gagal membunuh Mara. Satu saja pecahan arwah Hara tewas, maka tidak akan ada ceritanya dewi kebaikan itu bisa naik ke langit. “Usahamu kurang keras, Ambar,” bisik Dewi Senandika di sebelah keponakannya. “Aku harus bagaimana? Yang menjaganya seorang dewa perang, aku bukan tandingan Arsa sama sekali.” “Dia memang bukan tandinganmu, tapi aku tandingan Arsa, Sayang, kenapa kau lupa.” “Mahadewi, aku tak ingin kita terlalu kelewatan. Sudahlah, menjadi selirnya pun tak apa, aku tak harus jadi permaisurinya.” “Tidak bisa, jadi selir dapat apa? Dapat sisa? Kau itu dewi bunga, lebih cantik dari kebaikan. Wajahmu itu dipuja-puja oleh dewa lain. Ada apa denganmu, Ambar.” Dewi Senandika memegang dagu keponakannya yang halus tanpa cela. Memang dari segi wajah tetap Ambar yang lebih cantik. “Sekalipun aku adalah makhluk paling cantik di dunia ini, kalau bukan aku yang diinginkan Arsa, aku tidak akan pernah mendapatkan hatinya. Aku mulai menyerah de
“Pergi ke mana?” tanya Mara yang merasa tak baik-baik saja. “Pergi sebentar setelah itu aku kembali.” Arsa berbalik dan berniat meninggalkan sang dokter sendirian. “Nggak, nggak bisa, enak aja kamu mau pergi!” Mara membuat pagar betis di depan kamar mandi. “Hanya sementara setelah itu aku ke sini lagi, paham?” “Nggak. Nggak paham, kamu sama aja ya seperti yang lain lama-lama.” “Bukan begitu.” “Terus?” Suara Mara agak tinggi. “Ada urusan yang harus aku selesaikan. Kau tahu, kan, aku siapa sebenarnya?” Sang dewa perang menurunkan tangan Mara yang melintang di depan pintu kamar mandi. Gadis berambut kemerahan itu langsung diam. Iya, meski dulu katanya hanya dongeng, tapi ternyata dewa memang ada. “Berapa lama perginya?” Mara mengalah, sudah menjadi resiko mencintai dewa perang harus siap diabaikan demi urusan yang lebih penting. “Tak lama, setelah itu aku akan menjemputmu.” Entah sudah berapa kali Arsa bilang begitu. “Dijemput, bawa ke mana?” “Satu tempat yang sangat indah. S