Beranda / Fantasi / Roh Dewa Perang / Melindungi Diri

Share

Melindungi Diri

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Leher salah satu pelayan itu dijerat dari belakang. Kemudian dalam sekejap saja yang menjerat berhasil mencekiknya sampai mati. Tersisa salah satu pelayan yang masih hidup dan hampir kencing di celana.

“Katakan.” Lira menodongkan pisau ke arah leher pelayan yang ia percaya. Benar kata Arsa, jangan mempercayai siapa pun di kerajaan.

“Ratuku.” Hamba itu bersujud dan menicum kaki sang ratu daripada dihukum mati.

“Aku bilang cepat katakan. Atau kau aku jerat sampai mati seperti dia.” Ancam sang ratu tak main-main.

“Ratuku, kau terbukti hamil dan perdana menteri tak menginginkan kelahiran anakmu, tolong jangan bunuh hamba, hamba hanya orang lemah.”

“Bodoh.” Lira menendang sang pelayan hingga jatuh tersungkur.

Kemudian ia memegang perutnya yang masih rata. Tak disangka Lira akan hamil anak Arsa. Bahkan selama hampir ribuan tahun bersama di langit sepasang suami istri itu belum dikaruniai keturunan.

“Urus mayat temanmu. Untuk sementara waktu kau aku maafkan dan jangan bicara apa-apa p
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Roh Dewa Perang   Bla Bla Bla

    Arsa sampai di satu tempat atas petunjuk zodiak Dewi Sagitarius. Di mana dia sekarang? Di dalam lorong sebuah bangunan dengan aroma obat-obatan yang menyengat hidung. Kemudian tak lama setelah itu ada beberapa orang dengan pakaian putih mendorong brankar berisikan korban kecelakaan. “Di mana aku sekarang?” gumam Arsa perlahan. Ia masih menggunakan baju di era Kalira ketika sampai. Masuk seorang perempuan dengan baju biru kedokteran dan sudah mencuci tangan. Arsa dan perempuan itu saling memandang sejenak. “Hara, begitu mudah kau ditemukan,” ucap Arsa tapi pecahan arwah kelima itu tak peduli. “Kok, bisa ada orang asing di sini. Panggil security, usir dia dari ruang operasi!” perintah sang dokter pada dua orang perawat. Arsa diminta keluar oleh perawat dan menunggu di ruang tunggu saja. Untuk sementara ia akan mengalah sampai tahu di mana dan di zaman apa dirinya berada sekarang. Tak tahu arah dan tujuan yang jelas, serta sudah setengah jam menunggu tapi Hara tidak juga keluar. A

  • Roh Dewa Perang   Gagal Move On

    Samara—nama pecahan arwah kelima sedang mengoperasi pasien korban kecelakaan tunggal di trotoar jalanan. Sudahlah sambil berkendara main handphone dan tak menggunakan helm pula. Kepala itu pecah dan darah merembes sangat banyak. Tangan yang diberi hand skoon itu menjahit luka yang amat sangat dalam. Dipotong benang, ganti jarum jahit, begitu saja terus hingga luka demi luka tertutup. Samara berkeringat, seorang perawat membersihkan dahinya. Napas Mara—begitu panggilannya ditarik cukup panjang. Sudah beberapa jam ia berdiri tegak. Untung saja dia tak punya pasangan yang sudah menunggu. Setidaknya begitu caranya menghibur diri dari kesendirian. Mana kala lelaki takut mendekati Mara karena terlalu pintar, cantik, dan banyak uang. “Selesai,” ucap dokter itu menutup luka. Operasi yang memakan waktu empat jam itu berakhir juga. Korban tak akan baik-baik saja, dan masih berada dalam pengawasan Mara. Gadis itu membuang celemek yang telah terciprat darah, sarung tangan, tutup kepala dan

  • Roh Dewa Perang   Sudah Takdir

    Samara melepaskan jas putih dan melipat serta membawanya di tangan sebelah kiri. Rambut merah ia gerai begitu saja, membawa tas tangan dengan rantai kecil, lalu kaca mata hitam di malam yang gelap, demi apa entah. Gadis itu keluar dari rumah sakit dan menuju mobil. “Bener, dia di sini, nungguin aku apa nungguin orderan kang gojek,” heran Mara dengan perangai Arsa. Ingin GR takut kebablasan, tapi pandangan mata Arsa jelas mengarah padanya. Dokter bedah itu hanya menundukkan kepala sedikit saja. “Huuuh, hancur hatiku melihat senyummu. Ah, apa, sih, semurah ini aku jadi perempuan, gegara nggak pernah pacaran sama sekali. Oke, come on, Mara, jual mahal, jual mahal jual mahal.” Gadis yang memiliki tato zodiak sagi itu menyalakan mobil dan memanaskan sebentar. Tak ia hiraukan Arsa memandangnya tanpa berkedip. Saat mobil ingin dimajukan, ponsel Mara berdering. Panggilan dari mamanya yang cerewet nanyain soal jodoh. Mara dijodohin nggak mau, tapi cari sendiri nggak ketemu juga sampai umur

  • Roh Dewa Perang   Bunga Peony

    “Kau lihat bukan di bagian kepalanya ada yang pecah dan mengalirkan darah, menurutmu yang jadi tabib k—” “Dokter keles,” sela Mara. “Iya, maksudku dokter, kira-kira dengan darah yang keluar sebanyak itu, selamat tidak korbannya?” tanya balik Arsa. Mara berpikir sejenak.“Ya, nggak, sih, kecuali ada keajaiban.” Mara turun dari brangkar ketika perawat dan dokter jaga di ruang tindakan telah datang. “Gadis pintar,” ucap Arsa. “Meninggal saat ditolong, penanggung jawab Dokter Mara.” Gadis berambut kemerahan itu menandatangani berkas yang diperlukan. Arsa menunggu dengan sabar. Entah sudah berapa lama ia sabar mengumpulkan semua pecahan arwah istrinya. Dan kini hanya harus mengulangi siklus kelima saja. Dewa perang itu mengembuskan napas panjang. Bolehlah kali ini merasa lelah. Biasanya dulu saat letih ia akan mencari Hara. Sekarang Hara tak mengenalinya untuk yang kelima kali. “Hei, masih di sini,” sapa suara istrinya yang dulu biasa menawarkan kelembutan. “Aku di sini menunggumu

  • Roh Dewa Perang   Bunuh Diri

    “What can i say, i’m just second choice,” ucap Samara ketika Arsa sudah pulang. Tidak pulang yang sebenarnya, melainkan lelaki itu ada di luar unit milik sang dokter. “Aku harus tahu diri juga, umur udah mau 40 tahun siapa yang mau. Duda aja cari yang masih muda masih seger. Gini amat hidup jadi manusia.” Gadis berambut kemerahan itu mengibas kasur dan membaringkan diri di sana. Selesai makan tadi ia meminta Arsa keluar dengan alasan ingin istirahat. Beberapa menit lamanya Mara berbaring, mata tak juga ingin tidur padahal sekujur tubuh lelah dari ujung rambut sampai kaki. Hujan di luar membuat udara jadi terasa segar. Samara bangun dan menggeser pintu di balkon. Di sana ia menadahkan tangan menampung hujan yang turun. Arsa melakukan hal yang sama dari unitnya juga. Dewa perang itu memperhatikan Samara, persis sama ketika Hara suka melihat dewi hujan menaburkan bintik-bintik air ke bumi dan Hara tak akan mau ketinggalan. “Harus bagaimana aku menjelaskan kalau kau adalah Hara. Hara

  • Roh Dewa Perang   Mama Tiri

    Samara keluar dari unit apartementnya, pada saat itu Arsa juga melakukan hal yang sama. Dokter Mara agak siang hari ke rumah sakit. Dua orang itu sama-sama berjalan dan menuju pintu unit gadis yang ingin melakukan percobaan bunuh diri tadi malam. “Aku mau pastikan keadaan dia baik-baik aja atau nggak,” ujar Samara sebelum ditanya. Arsa mengisyaratkan tangannya agar dokter itu terus saja, walaupun … “Kok, nggak dibuka juga, ya?” Mara menekan bel berkali-kali. Arsa tahu apa yang terjadi tadi malam setelah Mara tidur. Ia tak mau mencegah karena sudah ditolong satu kali. Pintu apartement terbuka sendiri karena disentuh oleh Arsa. Mara lekas masuk dan terkejut ketika menemukan gadis itu meregang nyawa dengan leher terjerat di seutas tali. Sekujur tubuh Mara lemas dan ia jatuh, untung Arsa menangkapnya. Meski tak pingsan, sang dokter tak sanggup mengatakan apa-apa. Namun, ia menarik napas sejenak. “Panggil security biar mayatnya diturunkan,” ujar Mara dengan suara lemah. Arsa mengiyaka

  • Roh Dewa Perang   Dewi Hara

    Arsa memejamkan mata. Usai mengantar Samara pulang ia pun kembali ke unit yang katanya ia sewa. Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu mengingat kenangan lama bersama Hara. Bagaimanapun juga sikap Hara yang peduli dengan orang lain tetap terbawa pada setiap pecahannya. Kecuali mungkin Nira yang menjadi penjaga neraka. Pada saat itu … Dewi Hara yang menggunakan sutera berwarna biru muda sedang menadahkan tangan menampung butiran hujan. Ia melihat dewi langit terbang dengan indah memberikan air yang dibutuhkan manusia. Tak lama kemudian Arsa yang baru saja mengelilingi langit datang menghampiri istrinya. Hara langsung mencipratkan air di tangannya ke wajah Arsa. Dewa perang itu memejamkan mata sesaat dan menyimpan pedang petirnya di satu tempat. “Wajahmu menghitam, baru pulang dari mana?” tanya Hara sembari membersihkan wajah Arsa dengan sapu tangan miliknya. “Seperti biasa, menyelesaikan huru-hara,” jawab lelaki itu tanpa mengedipkan mata sama sekali. “Di bumi?” “Iya, di mana lag

  • Roh Dewa Perang   Godaan

    Arsa mencoba gaya hidup ala manusia biasa di dalam unit apartemen. Dewa perang itu menghidupkan shower dan membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya. Air yang hangat, sehangat kulit Hara ketika senantiasa melayani dirinya. Sebuah hal yang membuat Arsa tak akan bisa melupakan kebaikan istrinya. Shower itu dimatikan ketika ritual mandinya telah selesai. Meski tak menggunakan sabun, seorang dewa memiliki aroma khas tersendiri hingga membuat orang pun betah ada di sisinya. Arsa mencoba melilit handuk dari pinggang sampai ke atas lutut. Ia terlihat sangat cocok tinggal di zaman modern. Bel di unit apartement Arsa berbunyi. Ia menarik napas sejenak dan menyugar rambutnya. Tanpa membuka pintu pun ia tahu siapa yang datang. “Oh, hai, aku ganggu, ya?” Samara berpaling ketika melihat Arsa shirtless. “Tidak, masuklah.” Arsa membuka pintu kian lebar. Usai Mara masuk pintu terkunci otomatis. Gadis berambut kemerahan itu menoleh dan menelan ludah, takut dia jadinya. “Tunggu aku ganti baju du

Bab terbaru

  • Roh Dewa Perang   107. Rubah yang Angkuh

    Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el

  • Roh Dewa Perang   106. Sepasang Kekasih?

    Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen

  • Roh Dewa Perang   105. Gunung Api & Es

    Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat

  • Roh Dewa Perang   104. Ramalan

    Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m

  • Roh Dewa Perang   103. Rubah Ekor Tujuh

    Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb

  • Roh Dewa Perang   102

    Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.

  • Roh Dewa Perang   Pilar Langit

    “Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand

  • Roh Dewa Perang   Arti Sebuah Nama

    Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc

  • Roh Dewa Perang   Air Embun Langit

    “Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling

DMCA.com Protection Status