Beranda / Romansa / Remember Me, BE! / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Remember Me, BE!: Bab 21 - Bab 30

135 Bab

Bab 21. Juna

Ini buruk, sangat buruk. Sudah sejak beberapa menit yang lalu dia mencoba mengingatnya, tapi tak bisa. Tak ada satu potong pun ingatan tentang Juna yang tersimpan di memori otaknya. Dia sudah melupakan semuanya. Diva mengepal kuat, napasnya memburu, dada naik turun dengan cepat. Bulir-bulir air mata semakin deras, tak bisa berhenti sejak dia keluar dari ruangan Arkan. Persetan dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan tatapan mereka yang beraneka ragam. Dia hanya ingin meluapkan perasaannya. Keluar dari ruangan Arkan, Diva tidak langsung pulang. Dia memilih mengikuti kakinya membawanya ke mana. Taman kota bukan tempat yang buruk untuk menyendiri. Meskipun ramai, tapi mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Tak ada yang peduli dengan wanita yang menangis, mereka pasti berpikir jika si wanita baru saja putus cinta atau memiliki masalah lainnya. Orang-orang itu menatapnya. tapi mereka hanya membiarkannya saja. Diva bersyukur ibu kota secuek kota besar lainnya di dunia. Dia bisa 'bers
Baca selengkapnya

Bab 22. Kamu Sudah Meninggal

Juna menggeleng beberapa kali, mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan penglihatannya tidak bermasalah. Wanita yang berdiri di depannya adalah Diva. Astaga!"Be, ini beneran kamu?" Gemetar tangan Juna menyentuh pipi yang dipenuhi air mata. Pipi itu hangat, tidak sedingin seperti kondisi seseorang yang sudah meninggal. Hanya air nata yang membuatnya terasa dingin. Apakah ia bermimpi? Namun, kenapa mimpinya kali ini terasa nyata? Ia dapat menyentuh Diva, dapat mencium aromanya yang khas –wangi susu. "Juna." Dada Diva terasa mau meledak setiap kali dia menyebutkan nana itu. Benar, ini adalah pria di dalam mimpinya. Meskipun dia tidak mengingatnya, tapi ia hafal dengan suaranya, juga panggilan khas yang biasanya didengarnya di dalam mimpi. "Kamu Juna?" Juna mengangguk. Tersenyum geli mendengar pertanyaan itu. Ia masih menganggap ini semua adalah mimpi, tidak nyata. Diva pasti kasihan melihatnya sendirian di taman ini sehingga turun dari atas sana untuk menemaninya. Diva versi dewasa
Baca selengkapnya

Bab 23. Ketahuan

Suasana taman tiba-tiba menjadi sepi, seolah hanya ada mereka berdua saja di sana, sementara yang lainnya seakan menghilang. Sista embusan angin dan suara bising kendaraan di jalan raya pun tak tertangkap oleh indra pendengaran Diva. Kedua telinganya seolah tuli dengan suara-suara yang berasal dari luar, tertutup oleh segala macam pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya yang disebabkan oleh perkataan Juna. Dia sudah meninggal sebelas tahun yang lalu? Astaga! Bagaimana bisa? Siapa yang memberitahunya seperti itu? Siapa yang mengatakan itu? Dia belum mati, masih hidup. "Kamu, 'kan, udah meninggal, Be. Gimana kamu bisa di sini?" Tak hanya Juna yang mengucurkan air mata, bulir-bulir bening juga meluncur di pipi mulus Diva. Kepalanya menggeleng, menyangkal semua yang dikatakan Juna. "Be, ini ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Ia kesusahan mencari kosakata yang tepat untuk menggambarkan kebingungannya saat ini. "Aku masih hidup, Juna. Aku belum mati." Diva makin terisak. Tida
Baca selengkapnya

Bab 24. Mengungkap Fakta

Sejak tiba tadi, Kevin sudah dibuat kebingungan dengan sikap Juna. Wajahnya pucat dan terlihat sangat panik. Ada seorang wanita di pelukannya, dan sepertinya ia mengenal wanita itu, tapi lupa pernah melihatnya di mana, wajahnya seolah tak asing. Wanita itu juga pucat. Yang lebih membuatnya heran adalah mata Juna yang memerah, dan setelah diamati lebih seksama ada jejak air mata di pipinya. Juna baru saja menangis. Setahunya, Juna sangat kuat, tak ada yang bisa membuatnya menangis kecuali Diva. Hati-hati Juna mendudukkan Diva di jok belakang. Mengitari separuh bagian mobil dengan setengah berlari setelah menutup pintu. "Lu yang bawa, Vin!" serunya. "Cepetan, ya! Hidung Diva mimisan!" Juna masuk ke jok belakang di samping Diva, kembali memeluk dan menyadarkan kepala Diva di bahunya. "Be, kamu masih sadar, 'kan?" Tak ada jawaban, Juna hanya merasakan kepala di bahunya bergerak ke atas dan ke bawah, Diva mengangguk, memberitahu jika dia masih bisa bertahan. Kevin mengernyit. Be? Kenapa
Baca selengkapnya

Bab 25. Cowok Itu Juna

"Nggak ada apa-apa di dalam makam Diva, peti matinya kosong." Seandainya mereka tidak sedang berada di rumah sakit, wajah tampan itu pasti sudah babak-belur dihajarnya. Juna mengepalkan kedua tangannya kuat sampai buku-buku jarinya memutih, ia menahan amarah. Begitu mudahnya Arkan mengatakannya, tidak ada tubuh Diva di makamnya, makam itu palsu, dan ia dengan bodohnya percaya jika tubuh tak bernyawa Diva terbaring di sana. Bahkan sempat tidur di makam itu. Ia sangat ingin menyela, tapi juga ditahannya mati-matian. Ia ingin mendengar semuanya lebih dulu, setelah itu baru melancarkan pertanyaan yang menumpuk di dalam kepalanya. "Waktu jantung Diva emang udah nggak berdetak lagi, dia juga kehilangan banyak darah makanya dinyatakan dokter meninggal." Arkan menghela napas, menatap ke dalam ruang ICU, berusaha untuk mencari tahu apa saja yang dilakukan dokter untuk menolong sepupunya. "Pas lu pingsan, mayat Diva juga udah ditutupin nggak tau kenapa perawat yang bertugas melepas semua pera
Baca selengkapnya

Bab 26. Pemakaman Palsu

Juna mendengkus, masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Diva. Namun, ada satu yang membuatnya harus mengenyampingkan perasaan bersalah itu. Masih ada satu pertanyaannya yang belum terjawab. Saat hari pemakaman, sebelumnya dia melihat Diva di dalam peti mati. Ia bahkan menciumnya dan merasakan kulitnya yang dingin. Ia yakin itu memang manyat, 'kan, atau ia salah. Itu bukan mayat Diva, tetapi boneka yang didandani dan diserupakan seperti Diva. Manekin!"Mayat ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Tidak mungkin ia mengatakan mayat Diva. Hei, wanitanya masih hidup! Diva baik-baik saja, dokter sedang memeriksanya di dalam sana. Sebagai gantinya, ia mengibaskan kedua tangan dengan kacau. Arkan berdeham. Ia sudah menyangka pasti Juna akan menanyakan hal itu. "Kayaknya biar pun nggak gue kasih tau lu tetap bakalan ngehajar gue, 'kan, Jun?" tanyanya terkekeh lagi. "Jadi, mending gue kasih tau lu aja, deh, biar lu puas." Juna memutar bola mata. Arkan benar-benar menguji kesaba
Baca selengkapnya

Bab 27. Remember Me, Be!

Diva masih di ruang ICU, masih belum dipindahkan. Masih ada beberapa alat rumah sakit yang menancap di tubuhnya, para perawat itu masih belum melepaskannya. Kata mereka, Diva masih memerlukan benda-benda itu. Tubuhnya masih lemah, masih memerlukan bantuan peralatan medis agar tubuhnya cepat pulih seperti sediakala. Sejak dulu Juna tidak pernah menyukai rumah sakit, ia tidak suka pada bau obat yang menyengat. Perutnya terasa mual setiap kali menciumnya, kepalanya juga terasa berdenyut. Oleh sebab itu, setiap kali sakit atau merasakan sesuatu yang tidak enak terhadap tubuhnya, ia lebih suka memanggil dokter keluarga daripada harus ke rumah sakit. Ketidaksukaannya pada rumah sakit diperparah dengan tewasnya Diva di ranjang rumah sakit. Juna tak lagi tidak menyukainya, ia membencinya. Terkadang ia menyalahkan dokter-dokter itu yang dinilainya tidak becus sehingga kekasihnya sampai kehilangan nyawa. Namun, kemudian ia menyadari semua sudah takdir. Menyalahkan orang lain juga percuma, keka
Baca selengkapnya

Bab 28. Mimpi Yang Jadi Nyata

Diva dipindahkan ke kamar VVIP satu jam kemudian. Tiga puluh menit lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Masalahnya tak hanya Diva yang tertidur, tetapi juga Juna. Lelah menangis keduanya tertidur sambil berpelukan. Juna berbaring menyamping di sisi Diva, memeluknya posesif. Dokter Maya yang ingin memindahkan Diva ke ruangan yang sudah disiapkan untuknya, mengurungkan niat. Dia membiarkan mereka tidur tanpa berniat membangunkan, dan akan memindahkan Diva bila mereka terbangun. Tak ada yang mengganggu, Arkan dan Kevin menunggu di kamar tidur nap Diva selama itu."Kamu nggak ngasih tau Mama sama Papa, 'kan, Ar?" Diva bertanya setelah Sang Sepupu selesai menghubungi sekretarisnya. Arkan memberitahu wanita itu jika dia akan kembali setelah makan siang yang akan jatuh sebentar lagi. Untuk makan siang, Juna hanya memesan saja, dia tak ingin ke mana-mana. Ingin tetap menemaninya, katanya. "Aku nggak mau mereka khawatir."Arkan menggeleng. "Lu tenang aja, Va, aman, kok. Nggak bakalan gue k
Baca selengkapnya

Bab 29. Aku Belum Mati

"Iya, Mama, Diva baik-baik aja." Diva tersenyum, menatap Juna yang sibuk dengan laptopnya. Dia duduk di sofa. "Udah makan juga."Juna tidak pulang ke rumahnya. Pria itu bersikeras untuk menemaninya di sini sampai dia diperbolehkan pulang nanti. Juna juga tidak ke kantornya, dia rela mengerjakan semua pekerjaannya di sini. Duduk di sofa itu sudah sejak dua jam lalu. Setelah meminta maaf karena tidak bisa mengajaknya mengobrol, Juna terus saja berkutat dengan laptop dan beberapa tumpuk kertas di meja. "Mama nggak perlu khawatir, ini juga Diva istirahat, kok. Diva udah di tempat tidur, siap-siap mau bobo." Diva meringis tanpa suara, dia telah membohongi Mama. Meskipun bukan untuk yang pertama kali, tetap saja rasa bersalah itu ada. "Sampai nanti, Mama. Diva juga sayang Mama."Terlalu kekanak-kanakan? Iya, Diva menyadarinya, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin menunjukkan rasa sayangnya terhadap Mama. Diva memutuskan sambungan setelah memberikan ciuman jarak jauh, meletakkan ponsel di a
Baca selengkapnya

Bab 30. Mengulang Semua Dari Awal

"Lu mau tau apa lagi, sih, Jun?" tanya Arkan kesal. Juna mendatangi kantornya pagi-pagi, menuntutnya untuk jujur mengenai Diva. Pria itu percaya masih ada yang disembunyikan. Padahal tidak ada, ia sudah menceritakan semuanya. "Gue udah nyeritain semua yang gue tau sama lu." Arkan mengusap wajah kasar, menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya. Sementara Juna duduk di depannya, dipisahkan oleh meja kerjanya. Juna benar-benar tidak pulang ke apartemennya tadi malam, ia menginap di rumah sakit menunggui Diva. Pagi ini pun, seandainya tidak ada pertemuan penting yang harus dihadirinya hari ini, dia tidak akan meninggalkan Diva. Kevin melaporkan semuanya, dia yang membawa baju ganti Juna tadi pagi. "Nggak!" Juna menatap Arkan tajam. "Gue yakin masih ada yang gue nggak tau. Feeling gue bilang lu masih nyembunyiin sesuatu." "Astaga!" Arkan merosot di kursinya. Ia beruntung hari ini tidak ada yang penting yang harus dikerjakannya sehingga bisa meladeni Juna sementara ini, set
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
14
DMCA.com Protection Status