Juna menggeleng beberapa kali, mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan penglihatannya tidak bermasalah. Wanita yang berdiri di depannya adalah Diva. Astaga!"Be, ini beneran kamu?" Gemetar tangan Juna menyentuh pipi yang dipenuhi air mata. Pipi itu hangat, tidak sedingin seperti kondisi seseorang yang sudah meninggal. Hanya air nata yang membuatnya terasa dingin. Apakah ia bermimpi? Namun, kenapa mimpinya kali ini terasa nyata? Ia dapat menyentuh Diva, dapat mencium aromanya yang khas –wangi susu. "Juna." Dada Diva terasa mau meledak setiap kali dia menyebutkan nana itu. Benar, ini adalah pria di dalam mimpinya. Meskipun dia tidak mengingatnya, tapi ia hafal dengan suaranya, juga panggilan khas yang biasanya didengarnya di dalam mimpi. "Kamu Juna?" Juna mengangguk. Tersenyum geli mendengar pertanyaan itu. Ia masih menganggap ini semua adalah mimpi, tidak nyata. Diva pasti kasihan melihatnya sendirian di taman ini sehingga turun dari atas sana untuk menemaninya. Diva versi dewasa
Suasana taman tiba-tiba menjadi sepi, seolah hanya ada mereka berdua saja di sana, sementara yang lainnya seakan menghilang. Sista embusan angin dan suara bising kendaraan di jalan raya pun tak tertangkap oleh indra pendengaran Diva. Kedua telinganya seolah tuli dengan suara-suara yang berasal dari luar, tertutup oleh segala macam pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya yang disebabkan oleh perkataan Juna. Dia sudah meninggal sebelas tahun yang lalu? Astaga! Bagaimana bisa? Siapa yang memberitahunya seperti itu? Siapa yang mengatakan itu? Dia belum mati, masih hidup. "Kamu, 'kan, udah meninggal, Be. Gimana kamu bisa di sini?" Tak hanya Juna yang mengucurkan air mata, bulir-bulir bening juga meluncur di pipi mulus Diva. Kepalanya menggeleng, menyangkal semua yang dikatakan Juna. "Be, ini ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Ia kesusahan mencari kosakata yang tepat untuk menggambarkan kebingungannya saat ini. "Aku masih hidup, Juna. Aku belum mati." Diva makin terisak. Tida
Sejak tiba tadi, Kevin sudah dibuat kebingungan dengan sikap Juna. Wajahnya pucat dan terlihat sangat panik. Ada seorang wanita di pelukannya, dan sepertinya ia mengenal wanita itu, tapi lupa pernah melihatnya di mana, wajahnya seolah tak asing. Wanita itu juga pucat. Yang lebih membuatnya heran adalah mata Juna yang memerah, dan setelah diamati lebih seksama ada jejak air mata di pipinya. Juna baru saja menangis. Setahunya, Juna sangat kuat, tak ada yang bisa membuatnya menangis kecuali Diva. Hati-hati Juna mendudukkan Diva di jok belakang. Mengitari separuh bagian mobil dengan setengah berlari setelah menutup pintu. "Lu yang bawa, Vin!" serunya. "Cepetan, ya! Hidung Diva mimisan!" Juna masuk ke jok belakang di samping Diva, kembali memeluk dan menyadarkan kepala Diva di bahunya. "Be, kamu masih sadar, 'kan?" Tak ada jawaban, Juna hanya merasakan kepala di bahunya bergerak ke atas dan ke bawah, Diva mengangguk, memberitahu jika dia masih bisa bertahan. Kevin mengernyit. Be? Kenapa
"Nggak ada apa-apa di dalam makam Diva, peti matinya kosong." Seandainya mereka tidak sedang berada di rumah sakit, wajah tampan itu pasti sudah babak-belur dihajarnya. Juna mengepalkan kedua tangannya kuat sampai buku-buku jarinya memutih, ia menahan amarah. Begitu mudahnya Arkan mengatakannya, tidak ada tubuh Diva di makamnya, makam itu palsu, dan ia dengan bodohnya percaya jika tubuh tak bernyawa Diva terbaring di sana. Bahkan sempat tidur di makam itu. Ia sangat ingin menyela, tapi juga ditahannya mati-matian. Ia ingin mendengar semuanya lebih dulu, setelah itu baru melancarkan pertanyaan yang menumpuk di dalam kepalanya. "Waktu jantung Diva emang udah nggak berdetak lagi, dia juga kehilangan banyak darah makanya dinyatakan dokter meninggal." Arkan menghela napas, menatap ke dalam ruang ICU, berusaha untuk mencari tahu apa saja yang dilakukan dokter untuk menolong sepupunya. "Pas lu pingsan, mayat Diva juga udah ditutupin nggak tau kenapa perawat yang bertugas melepas semua pera
Juna mendengkus, masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Diva. Namun, ada satu yang membuatnya harus mengenyampingkan perasaan bersalah itu. Masih ada satu pertanyaannya yang belum terjawab. Saat hari pemakaman, sebelumnya dia melihat Diva di dalam peti mati. Ia bahkan menciumnya dan merasakan kulitnya yang dingin. Ia yakin itu memang manyat, 'kan, atau ia salah. Itu bukan mayat Diva, tetapi boneka yang didandani dan diserupakan seperti Diva. Manekin!"Mayat ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Tidak mungkin ia mengatakan mayat Diva. Hei, wanitanya masih hidup! Diva baik-baik saja, dokter sedang memeriksanya di dalam sana. Sebagai gantinya, ia mengibaskan kedua tangan dengan kacau. Arkan berdeham. Ia sudah menyangka pasti Juna akan menanyakan hal itu. "Kayaknya biar pun nggak gue kasih tau lu tetap bakalan ngehajar gue, 'kan, Jun?" tanyanya terkekeh lagi. "Jadi, mending gue kasih tau lu aja, deh, biar lu puas." Juna memutar bola mata. Arkan benar-benar menguji kesaba
Diva masih di ruang ICU, masih belum dipindahkan. Masih ada beberapa alat rumah sakit yang menancap di tubuhnya, para perawat itu masih belum melepaskannya. Kata mereka, Diva masih memerlukan benda-benda itu. Tubuhnya masih lemah, masih memerlukan bantuan peralatan medis agar tubuhnya cepat pulih seperti sediakala. Sejak dulu Juna tidak pernah menyukai rumah sakit, ia tidak suka pada bau obat yang menyengat. Perutnya terasa mual setiap kali menciumnya, kepalanya juga terasa berdenyut. Oleh sebab itu, setiap kali sakit atau merasakan sesuatu yang tidak enak terhadap tubuhnya, ia lebih suka memanggil dokter keluarga daripada harus ke rumah sakit. Ketidaksukaannya pada rumah sakit diperparah dengan tewasnya Diva di ranjang rumah sakit. Juna tak lagi tidak menyukainya, ia membencinya. Terkadang ia menyalahkan dokter-dokter itu yang dinilainya tidak becus sehingga kekasihnya sampai kehilangan nyawa. Namun, kemudian ia menyadari semua sudah takdir. Menyalahkan orang lain juga percuma, keka
Diva dipindahkan ke kamar VVIP satu jam kemudian. Tiga puluh menit lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Masalahnya tak hanya Diva yang tertidur, tetapi juga Juna. Lelah menangis keduanya tertidur sambil berpelukan. Juna berbaring menyamping di sisi Diva, memeluknya posesif. Dokter Maya yang ingin memindahkan Diva ke ruangan yang sudah disiapkan untuknya, mengurungkan niat. Dia membiarkan mereka tidur tanpa berniat membangunkan, dan akan memindahkan Diva bila mereka terbangun. Tak ada yang mengganggu, Arkan dan Kevin menunggu di kamar tidur nap Diva selama itu."Kamu nggak ngasih tau Mama sama Papa, 'kan, Ar?" Diva bertanya setelah Sang Sepupu selesai menghubungi sekretarisnya. Arkan memberitahu wanita itu jika dia akan kembali setelah makan siang yang akan jatuh sebentar lagi. Untuk makan siang, Juna hanya memesan saja, dia tak ingin ke mana-mana. Ingin tetap menemaninya, katanya. "Aku nggak mau mereka khawatir."Arkan menggeleng. "Lu tenang aja, Va, aman, kok. Nggak bakalan gue k
"Iya, Mama, Diva baik-baik aja." Diva tersenyum, menatap Juna yang sibuk dengan laptopnya. Dia duduk di sofa. "Udah makan juga."Juna tidak pulang ke rumahnya. Pria itu bersikeras untuk menemaninya di sini sampai dia diperbolehkan pulang nanti. Juna juga tidak ke kantornya, dia rela mengerjakan semua pekerjaannya di sini. Duduk di sofa itu sudah sejak dua jam lalu. Setelah meminta maaf karena tidak bisa mengajaknya mengobrol, Juna terus saja berkutat dengan laptop dan beberapa tumpuk kertas di meja. "Mama nggak perlu khawatir, ini juga Diva istirahat, kok. Diva udah di tempat tidur, siap-siap mau bobo." Diva meringis tanpa suara, dia telah membohongi Mama. Meskipun bukan untuk yang pertama kali, tetap saja rasa bersalah itu ada. "Sampai nanti, Mama. Diva juga sayang Mama."Terlalu kekanak-kanakan? Iya, Diva menyadarinya, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin menunjukkan rasa sayangnya terhadap Mama. Diva memutuskan sambungan setelah memberikan ciuman jarak jauh, meletakkan ponsel di a
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop