"Lu mau tau apa lagi, sih, Jun?" tanya Arkan kesal. Juna mendatangi kantornya pagi-pagi, menuntutnya untuk jujur mengenai Diva. Pria itu percaya masih ada yang disembunyikan. Padahal tidak ada, ia sudah menceritakan semuanya. "Gue udah nyeritain semua yang gue tau sama lu." Arkan mengusap wajah kasar, menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya. Sementara Juna duduk di depannya, dipisahkan oleh meja kerjanya. Juna benar-benar tidak pulang ke apartemennya tadi malam, ia menginap di rumah sakit menunggui Diva. Pagi ini pun, seandainya tidak ada pertemuan penting yang harus dihadirinya hari ini, dia tidak akan meninggalkan Diva. Kevin melaporkan semuanya, dia yang membawa baju ganti Juna tadi pagi. "Nggak!" Juna menatap Arkan tajam. "Gue yakin masih ada yang gue nggak tau. Feeling gue bilang lu masih nyembunyiin sesuatu." "Astaga!" Arkan merosot di kursinya. Ia beruntung hari ini tidak ada yang penting yang harus dikerjakannya sehingga bisa meladeni Juna sementara ini, set
Dua hari bermalam di rumah sakit, Diva baru diperbolehkan pulang. Sebenarnya,.dia sudah bisa pulang keesokan hari, tapi Juna tidak memperbolehkan. Pria itu tidak percaya jika dirinya sudah baik-baik saja. Lebih gila lagi, Juna ingin dia terus dirawat selama beberapa hari lagi. Astaga! Entah apa yang dipikirkannya. Salahkah dirinya sekarang merasa kesal padanya. Juna terlalu pemaksa, selain posesif dan overprotektif. Sangat menyebalkan. Juna juga melarangnya bekerja. Dengan pongahnya dia mengatakan, masih bisa memberikan apa pun padanya meskipun tak bekerja. Juna memintanya untuk duduk manis di rumah saja, dan menyerahkan semua urusan keuangan padanya. Hei! Siapa dirinya bisa mengaturnya seperti itu? Siapa Juna sehingga mau menafkahinya? Dasar orang gila!Untungnya, setelah dibujuk yang membuat mulutnya nyaris berbusa karena terllau banyak bicara, akhirnya Juna menyetujui untuknya pulang keesokan harinya. Juna juga lahirnya membiarkannya bekerja dengan syarat harus tidak boleh terlalu
Selama beberapa saat tak ada suara di dalam mobil selain suara deru mesin. Entah perasaannya saja atau tidak, suara Diva terdengar meninggi. Juna mengangguk tanpa meliriknya sama sekali, ia lebih memilih untuk fokus pada jalanan. Lalu lintas macet seperti biasa, membuatnya harus lebih hati-hati dalam berkendara. "Nggak!"Juna menahan napas menunggu kalimat selanjutnya. Sebenarnya ia tak ingin bertanya, hanya saja ia tak kuat melawan penasaran. Ia sangat ingin tahu apakah ada orang lain selain dirinya. Jika ada, tak apa-apa, ia akan berusaha menerimanya meskipun selama sebelas tahun ini ia tak pernah melakukan apa pun, Tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Sudah dikatakannya, bukan, jika seluruh perasaannya mati? Lagipula, saat mereka pertama berhubungan, Diva juga mau menerimanya apa adanya. Lalu, seandainya Diva yang seperti itu, kenapa ia harus menolaknya? "Aku nggak pernah pacaran, nggak pernah dekat sama siapa pun kecuali sama Ruud.""Rudd?" ulang Juna tanpa sadar. Nama
"Besok jangan masuk kerja dulu!"Diva mengangguk untuk yang kesekian kali. "Iya, Juna. Iya!" Terlalu banyak peraturan dari Juna yang harus dipatuhinya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh segala-galanya. Anehnya, dia selalu mengangguk mengiakan, walaupun sebenarnya enggan. Sungguh, dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan tubuhnya, selalu saja tak dapat dikendalikan setiap kali di dekat Juna. Selalu saja menuruti perintahnya. "Aku udah bilang sama Arkan kalo kamu minggu depan baru masuk kerja."Mata bulat Diva mendelik. Apa-apaan itu? Bagaimana bisa seperti itu? Dia justru ingin bekerja secepatnya agar tidak bosan berada di rumah, bukan seperti ini. "Kamu harus mau, kalo nggak aku minta Arkan buat nyari pengganti kamu.""Nggak bisa kayak gitu, dong, Juna!" Kali ini Diva tidak bisa diam lagi, dia memprotes. Seenaknya saja Juna memutuskan. Yang ingin bekerja adalah dirinya, kenapa Juna yang justru heboh. "Aku kerja juga belum, masa main ganti aja!" "Kalo kamu mau kerja mi
Juna yang mengembuskan napasnya dengan sedikit kuat seakan mengeluh, menaik perhatian Diva. Dia menatapnya dengan tatapan bertanya. "Kenapa?" tanya Diva khawatir. "Kamu nggak apa-apa, 'kan, Juna?"Diva dalam mode polos selalu menggemaskan. Juna menggeleng susah payah, dan memasang senyum terpaksa. "Aku nggak apa-apa, Be," sahutnya serak. Kali ini karena sesuatu yang lain. Tubuhnya bergetar, Juna menatap iba pada selangkangannya yang menggembung. "Jangan khawatir, ya?" Tangannya mengusap pipi mulus itu. "Tau nggak kenapa sekarang beda?" Juna bertanya dengan suara bergetar. Diva menggeleng. "Nggak tau," jawabnya. Senyum tak lepas dari bibir Juna, sekarang ia tak lagi melakukannya dengan terpaksa. Senyumnya terbit dengan sempurna. "Sebab kita udah ada di masa depan. Istri masa depan Juna, itu kata-kata aku sebelas tahun yang lalu, pas kita masih remaja, masih sekolah. Sekarang kita udah dewasa, Be, dan kamu calon istri Juna." Diva tersenyum, lantas mengangguk. "Oke, sekarang kamu ma
Akhir pekan biasanya selalu identik dengan bangun lebih siang, apalagi dengan cuaca mendung yang sangat mendukung. Diva juga akan bangun lebih siang seandainya Juna tidak datang dan membangunkannya pagi-pagi. Mulai dari mengiriminya pesan, menelepon, sampai mendatangi ke rumahnya yang tentu saja membuat orang-orang di rumahnya terkejut. Sudah lebih dari sepuluh tahun Juna tidak pernah lagi berkunjung, dan pagi ini dia datang dengan pakaian santainya, celana jean's dipadu dengan kaus dan kemeja berwarna hitam. Tak ada lagi sepatu pantofel, Juna mengenakan sneaker untuk melindungi kakinya. Diva yang beberapa hari ini selalu melihatnya mengenakan pakaian formal merasa sedikit pangling. Penampilan Juna berubah seratus delapan puluh derajat di matanya. "Ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Diva cemberut. Juna membuyarkan mimpi indahnya tentang mereka berdua. Dengan malas dia duduk di depan pria itu, dipisahkan oleh sebuah meja teras berukuran tidak terlalu besar. Juna memilih untuk duduk di
Mata Diva melebar, pipinya terasa panas. Mendadak pandanganya berkunang-kunang, sekitarnya terlihat berputar. Diva memejamkan mata, membuang wajah ke luar jendela, menyembunyikannya dari Juna. Dia tak ingin Juna melihatnya seperti ini. Dia yakin Juna memiliki kepanikan yang sama dengan kedua orang tuanya bila melihatnya seperti ini, dan akan membawanya ke rumah sakit. Baru kemarin dia keluar dari rumah sakit, akan sangat tidak lucu bila hari ini harus kembali lagi. Diva mengusap pelipisnya yang berkeringat menggunakan tangan. Jari-jarinya terasa dingin menyentuh pelipis. Matanya masih terpejam. Sedapat mungkin dia mencoba mengatur napasnya agar terlihat baik-baik saja. Untungnya Juna tidak memperhatikan, dia fokus pada jalanan dan orang yang menghubunginya. Beberapa kali Juna menyebut nama Kevin dan memintanya bersiap untuk keberangkatan mereka awal pekan nanti. Perlahan Diva membuka mata, kembali melirik Juna melalui kaca spion. Pusingnya sudah berkurang, Juna tak terlihat berbayang
Roma berteriak melihat mamanya terjatuh. Cepat dia menghampiri Helen dan mengguncang tubuhnya. Diva memekik kaget, dia panik, takut disalahkan atas apa yang terjadi pada Helen, sementara Juna hanya berdecak. Ia sudah menduga akan seperti ini, Helen pasti akan pingsan melihat Diva. Bukannya menggendong Helen dan membawanya masuk ke dalam, dengan santai Juna berteriak memanggil Arsyi. "Arsyi, istri lu pingsan, nih!" Diva membelalak kaget. Dia berpikir Juna akan menolong Helen dan menggendongnya ke dalam, bukan malah tersenyum. Juna malah menarik tangannya yang ingin mendekat. "Biarin aja, Be. Siapa suruh tadi ngatain kamu hantu."Diva memukul bahu Juna mendengar bisikannya itu. Sungguh, Juna sangat tidak lucu baginya. Secara paksa Diva melepaskan tangannya, tak peduli dengan decakan yang keluar dari mulut Juna. Diva menghampiri Helen, berjongkok di depannya berusaha menyentuh. Namun, tatapan tajam putri Helen yang sedang mengguncang bahu ibunya membuatnya membeku. Gadis kecil ini tid
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop