“Fattan, berhentilah mengatakan sesuatu yang mungkin bisa menyakiti kita berdua.” Wajahku membeku. Aku tahu Fattan tidak pernah tulus tentang apa pun bahkan yang berhubungan dengan anak-anaknya. Pertanyaan yang baru saja dia lontarkan tidak pernah ada dalam perdiksiku. Itu sangat mengejutkan. Kegelisahanku kian menggenang di dasar perut manakala Fattan justru memilih untuk terus memandangku. Dia berharap belas kasihan dan kelembutan? Aku tidak punya semua itu, khususnya untuk Fattan. Setelah dia melihat tidak ada peluang, Fattan pun keluar dan berlalu. Aku menghembuskan nafas lega dan segera menutup pintu gerbang. Lalu kembali ke dalam rumah. Semua masih aman. Keculia perasaanku yang berantakan. Setelah beberapa hari, aku dan Andre sama sekali tidak berkomunikasi. Aku pikir kami berdua butuh waktu untuk melakukan introspeksi tentang apa yang kami inginkan satu sama lain. Dan malam itu, ketika malam menanjak menuju tengah, tiba-tiba ponselku berbunyi. “Din, kau sudah tidur?” tanya
Read more