Semua Bab Kubuat Mantan Suamiku Menyesal: Bab 111 - Bab 120

239 Bab

Berhadapan Dengan Kenyataan

“Hana….” Desisku. Spontan aku menoleh pada Marisa. Ya, benar! Aku tidak sedang mengkhawatirkan diriku. Bertemu dengan Hana dan segala kesinisannya bukan masalah buatku. Pertemuan kami satu-satunya berakhir menyebalkan. Entah karena cemburu atau curiga, tampaknya sulit bagi Hana menerima pertemananku dengan Aslan. Setidaknya pada pertemuan selanjutnya, aku juga tidak berharap banyak. Sebuah kejutan karena kami harus berdekatan di sebuah lift yang sempit. Aku, Marisa, Anaya, Mbak Pia, Hana dan… Aslan. Wajah Aslan terlihat ramah. Begitulah pria, selalu bisa menyembunyikan diri dan perasaannya. Dia mengangguk rama pada Marisa dan menunduk untuk menyapa Anaya. “Halo, Naya. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Aslan. “Iya, Om Aslan nggak pernah ke rumah Naya lagi , sih.” “Ah… maaf ya. Om Aslan sedang sibuk. Nanti kita atur waktu untuk bermain lagi, ok!” “Ok, Om!” Anaya dan Aslan menyatukan telapak tangan. Perbincangan ringan mereka ternyata justru jadi masalah besar bagi Hana.
Baca selengkapnya

Penyesalan Aslan Untuk Marisa

“Semua tamu harap tetap tenang. Petugas yang berwenang akan menangani hal ini. Kejadian itu sama sekali tidak berkaitan dengan acara kita.” Seorang MC berusaha mengeluarkan kata-kata sakti agar semua orang kembali fokus pada pesta mewah Tara dan Vivian. Usaha yang percuma karena wajah-wajah tamu undangan jelas terlihat gelisah. Kejadian bunuh diri di saat pesta pernikahan. Bukankah itu sangat mengejutkan? Siapa pun akan mengkaitkan hal ini dengan Tara atau Vivian. Sebagai bagian dari Sang Empu hajat dan masih di bersama dengan rangkaian acara, aku berusaha mengabaikan hal itu. Jauh di dalam hatiku ada sesuatu yang berdentum. Seperti sebuah ledakan yang menunggu di ujung jalan. Seseorang memilih meninggalkan hidup yang hanya sekali. Entah beban sebesar apa yang sedang ditanggung olehnya. Siapa pun dia, pasti adalah orang yang tidak memiliki harapan lagi tentang masa depan. Mataku berusaha menemukan Marisa dan Mbak Pia dari tempatku berdiri. Para tamu mulai mengabaikan kejadian barus
Baca selengkapnya

Pilihan Marisa

“Apa?! Siapa maksud anda?!” “Kami tidak menemukan identitasnya. Dari pelacakan kamera CCTV dia datang bersama anda ke hotel ini. Dan masih bersama anda sampai masuk ke area pesta.” “Marisa….” Aku bergumam. Tidak! Tidak mungkin Marisa melakukan hal konyol seperti itu. Dia mungkin putus asa. Aku tahu dia hancur karena melihat kebersamaan Aslan dan Hana. Meski begitu Marisa adalah seorang wanita dengan keimanan yang tinggi. Berbulan-bulan dia bertahan dengan rasa sakitnya. Dia mencoba keluar dari bara api yang membakarnya. Marisa tetap bisa selamat dengan segala kondisinya. Kali ini, dia pasti akan berjuang dengan cara yang sama. Aku berlari lebih cepat ke dalam toilet yang menjadi tujuanku. Tempat di mana aku berharap menemukan Marisa di depan kaca. Dia mungkin menangis, make up-nya berantakan, maskaranya meleleh atau rambutnya kusut. Tidak apa-apa! Aku hanya ingin melihatnya bernyawa! Itu saja! “Marisa! Risa!” aku berteriak. Sontak Aslan dan kedua polisi yang mendatangiku ikut be
Baca selengkapnya

Akulah Penjahatnya

“Tadi malam sebuah panggilan darurat datang dari Turki. Pernikahan mereka harus dipercepat. Ibu Aslan anfal. Mereka terbang dengan flight pribadi.” “Apa?! Mereka meninggalkan Singapura dalam keadaan seperti ini?” aku berusaha duduk dari dari tidurku. Ranjang rumah sakit selalu sedingin ini walau di ruangan paling mewah sekali pun. Aslan dan Hana pergi? Bukankah ini terdengar sangat kejam? Mereka terlalu biadab. Saat Marisa kehilangan nyawa dan mereka penyebabnya, justru mereka pergi begitu saja? Seember air es baru saja ‘jatuh’ di kepalaku. Jadi mereka benar-benar melemparkan semua untuk menjadi tanggung jawabku tanpa rasa bersalah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kebingungan menderaku bagai badai. Aku pikir setelah kepergian kami ke Singapura, keadaan akan lebih baik dan setidaknya bersahabat untuk kami semua. Aku tahu, semua mulai pergi satu per satu. Ini sebuah rangkaian perjalanan baru, tapi aku tidak pernah berpikir tentang kematian. Dari sahabatku… “Dina, tenangkan dirimu
Baca selengkapnya

Penthouse Tara

“Aku berbahaya. Semua yang berada di dekatku akan hancur. Kau lihat berapa banyak kerusakan yang telah kubuat.” Rasa frustasi menguasaiku. Satu-satunya yang bisa kupikirkan saat ini adalah menjauh dan pergi jauh dari siapa pun yang ada di sekelilingku. Aku seperti api, siapa pun yang ada di dekatku akan terbakar. Berbahaya dan sangat berbahaya. “Adina, itu tidak benar. Kau sedang menyudutkan dirimu sendiri. Percayalah apa pun yang sekarang terjadi hanyalah sebuah proses untuk menuju ke masa depan yang lebih baik.” Tara berkata bijak. “Masa depan yang mana maksudmu? Siapa bagian dari masa depan itu? Tidak ada siapa pun di sana.” “Anaya, dia bagian masa depan itu, Adina.” “Aku mungkin akan menyakitinya juga.” “Tentu saja tidak. Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Ini hanya masalah waktu untukmu sembuh dari perasaan bersalah. Perasaan yang sebenarnya tidak perlu kau miliki.” Aku kehilangan diriku. Apa yang pernah kupercayai sebagai diriku yang baru dua tahun lalu, kini telah
Baca selengkapnya

Emosi Yang Tertahan

“Bukankah dia masih dalam masa libur?” tanya Fattan. “Iya… tapi….” Jauh di dalam hatiku, aku tidak ingin Anaya pergi. Tapi, bukankah itu terdengar sangat egois? Aku bukan ibu yang baik bagi Anaya. Bukan sahabat yang baik bagi Marisa. Bukan adik yang baik bagi Tara. Lalu haruskah aku juga menghalangi Anaya untuk mendapatkan hal baik dari Fattan? Fattan mungkin adalah suami yang pengkhianat. Dia juga adalah pria yang penuh dusta. Kali ini dia ingin menjadi ayah yang baik bagi Anaya. Bukankah aku seharusnya memberikan kesempatan itu? Bukankah seharusnya Anaya berhak untuk bersama dengan ayahnya? Keinginan Fattan untuk kembali dekat dengan Anaya adalah bukti bahwa dia masih akan terus membawa Anaya dalam kehidupannya. Hubungan pernikahan kami memang telah berakhir. Tapi, tidak akan pernah ada akhir untuk hubungan antara Anaya dan Fattan. “Ya, kau bisa menjemputnya besok di apartementku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu.” Lalu panggilan telepon diputus. Vivian melihat aneh ke ara
Baca selengkapnya

Menyerahkan EL Khairi Company

“Dini, tolong masuk ke ruanganku….” Gagang telepon yang ada di tanganku terjatuh. Dalam hitungan detik sekretarisku sudah berada di ambang pintu. Dia menemukanku terduduk dilantai dan berusaha mengatur nafas. Aku bisa merasakan tubuhku dingin. Aliran darahku tercekat karena emosi yang berlebihan. Ada kepanikan yang datang tanpa alasan. “Bu Adina! Bu! Apa yang terjadi?” “Aku… panggil dokter….” Dini dengan cekatan menghubungi dokter. Lalu dia kembali dan berusaha menolongku. Beberapa menit kemudian, aku sudah terbaring di sofa dengan dokter, Yuda dan Dini di ruanganku. “Bu Adina, anda terserang depresi. Tampaknya ada sesuatu yang membuat emosi anda meningkat secara berlebihan. Biasanya ini dipicu oleh kejadian sekarang, tapi didorong oleh timbunan emosi di masa lalu. Apakah anda punya masalah serius akhir-akhir ini?” Masalah serius, ya aku punya. Masalah yang sangat serius. Bayangan kematian Marisa terus menghantuiku. Bukan hanya karena kematiannya tapi juga masa depan orang tua ma
Baca selengkapnya

Kehilangan Segalanya

"Tempat? Suatu tempat?" aku bergumam.Tentu saja banyak pilihan tempat seperti itu. Terlebih properti El Khairi memang tersebar di banyak lokasi. Aku sedang memikirkan mungkinkah Bali? Sebuah pulau yang indah dengan sejuta pesonanya. Setiap hari akan jadi hal yang menyenangkan. Tapi, apakah ini akan mudah bagi Anaya?Jika kami memang pergi ke sana, maka situasi sosial dan budayanya sudah pasti berbeda. Belum lagi masalah agama yang menjadi minoritas. Selama ini Anaya bersekolah di sekolah islan berstandar international. Hal yang mungkin agak sulit untuk ditemukan di Bali.Atau tempat lain? Ah, aku tidak bisa memikirkan apa pun sekarang. Mungkin sebaiknya aku kembali ke apartment dan mengambil waktu sejenak untuk memikirkan semuanya."Aku akan kembali ke apartment. Dan akan memberitahumu jika aku sudah memutuskan sesuatu." Aku meraih tas yang ada di atas meja dan bersiap untuk pergi.Vivian meraih tanganku. Matanya menatap gelisah dan khawatir."Adina, sekarang tidak ada aku atau siap
Baca selengkapnya

Anaya Dan Fattan

"Dia baik-baik saja, hanya sebuah benturan. Tidak ada luka."Terdengar suara di sekitarku yang perlahan semakin jelas ketika aku membuka mata. Aku masih duduk di dalam mobil. Beberapa orang coba menarikku keluar dari dalam mobil.Mereka tegang tapi tidak panik. Tidak ada sakit yang kurasakan. Hanya sebuah denyutan di kepala dan kegelapan dalam. Perlahan kesadaranku kembali untuk mencoba mengingat apa yang terakhir kulihat.Ternyata mobil yang kami naiki membentur sebuah pembatas jalan. Beruntung jalanan tidak terlalu padat sehingga kami masih selamat. Hanya sebuah benturan yang tidak berbahaya. Seminggu berlalu, keadaan rumah kami semakin menyedihkan. Tidak ada lagi canda dan keceriaan. Sebuah panggilan telepon seolah memecah batu es yang semakin menjadi."Aku akan mengambil Anaya besok." Fattan terdengar datar."Ini belum waktunya untuk berlibur.""Anaya akan tinggal bersamaku," ada sebuah ketegasan dalam suara Fattan."Apa? Kenapa Anaya harus bersamamu?""Ingat, Adina. Kau sudah be
Baca selengkapnya

Bali

"Selamat datang, Adina. Kamu masih ingat namaku setelah puluhan tahun." Senyum merekah di wajah cantik berusia tiga puluhan tahun itu.Dengan celana pendek dan tshirt putihnya, Nadine terlihat santai. Penampilan yang sama sekali tidak mempengaruhi kecantikannya.Wajah Eropa yang kental dengan mata coklat terang."Kesulitan selalu membawa kita pada orang-orang yang kita lupakan," ujarku kecut.Nadine segera mengambil tas troly yang aku pegang. Dia memelukku dan menangkup pipiku. Wajahnya masih sama seperti lima belas tahun lalu ketika kami baru mengenal satu sama lain.Saat itu, kami baru saja masuk menjadi siswa Sekolah Menengah Islam terfavorit di Jakarta. Wajah Belanda yang dimilikinya membuat Nadine terlihat menonjol di antara teman-teman yang lain. "Itulah kenapa kita tidak boleh melupakan masa lalu," ujar Nadine sambil tersenyum."Aku tidak pernah melupakanmu. Karena kita memilih jalan berbeda, maka semua membuat kita jauh.""Lupakan. Ayo, masuklah."Nadine menuju ke mobil bagia
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
24
DMCA.com Protection Status