Fattan itu ya?
“Bukankah dia masih dalam masa libur?” tanya Fattan. “Iya… tapi….” Jauh di dalam hatiku, aku tidak ingin Anaya pergi. Tapi, bukankah itu terdengar sangat egois? Aku bukan ibu yang baik bagi Anaya. Bukan sahabat yang baik bagi Marisa. Bukan adik yang baik bagi Tara. Lalu haruskah aku juga menghalangi Anaya untuk mendapatkan hal baik dari Fattan? Fattan mungkin adalah suami yang pengkhianat. Dia juga adalah pria yang penuh dusta. Kali ini dia ingin menjadi ayah yang baik bagi Anaya. Bukankah aku seharusnya memberikan kesempatan itu? Bukankah seharusnya Anaya berhak untuk bersama dengan ayahnya? Keinginan Fattan untuk kembali dekat dengan Anaya adalah bukti bahwa dia masih akan terus membawa Anaya dalam kehidupannya. Hubungan pernikahan kami memang telah berakhir. Tapi, tidak akan pernah ada akhir untuk hubungan antara Anaya dan Fattan. “Ya, kau bisa menjemputnya besok di apartementku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu.” Lalu panggilan telepon diputus. Vivian melihat aneh ke ara
“Dini, tolong masuk ke ruanganku….” Gagang telepon yang ada di tanganku terjatuh. Dalam hitungan detik sekretarisku sudah berada di ambang pintu. Dia menemukanku terduduk dilantai dan berusaha mengatur nafas. Aku bisa merasakan tubuhku dingin. Aliran darahku tercekat karena emosi yang berlebihan. Ada kepanikan yang datang tanpa alasan. “Bu Adina! Bu! Apa yang terjadi?” “Aku… panggil dokter….” Dini dengan cekatan menghubungi dokter. Lalu dia kembali dan berusaha menolongku. Beberapa menit kemudian, aku sudah terbaring di sofa dengan dokter, Yuda dan Dini di ruanganku. “Bu Adina, anda terserang depresi. Tampaknya ada sesuatu yang membuat emosi anda meningkat secara berlebihan. Biasanya ini dipicu oleh kejadian sekarang, tapi didorong oleh timbunan emosi di masa lalu. Apakah anda punya masalah serius akhir-akhir ini?” Masalah serius, ya aku punya. Masalah yang sangat serius. Bayangan kematian Marisa terus menghantuiku. Bukan hanya karena kematiannya tapi juga masa depan orang tua ma
"Tempat? Suatu tempat?" aku bergumam.Tentu saja banyak pilihan tempat seperti itu. Terlebih properti El Khairi memang tersebar di banyak lokasi. Aku sedang memikirkan mungkinkah Bali? Sebuah pulau yang indah dengan sejuta pesonanya. Setiap hari akan jadi hal yang menyenangkan. Tapi, apakah ini akan mudah bagi Anaya?Jika kami memang pergi ke sana, maka situasi sosial dan budayanya sudah pasti berbeda. Belum lagi masalah agama yang menjadi minoritas. Selama ini Anaya bersekolah di sekolah islan berstandar international. Hal yang mungkin agak sulit untuk ditemukan di Bali.Atau tempat lain? Ah, aku tidak bisa memikirkan apa pun sekarang. Mungkin sebaiknya aku kembali ke apartment dan mengambil waktu sejenak untuk memikirkan semuanya."Aku akan kembali ke apartment. Dan akan memberitahumu jika aku sudah memutuskan sesuatu." Aku meraih tas yang ada di atas meja dan bersiap untuk pergi.Vivian meraih tanganku. Matanya menatap gelisah dan khawatir."Adina, sekarang tidak ada aku atau siap
"Dia baik-baik saja, hanya sebuah benturan. Tidak ada luka."Terdengar suara di sekitarku yang perlahan semakin jelas ketika aku membuka mata. Aku masih duduk di dalam mobil. Beberapa orang coba menarikku keluar dari dalam mobil.Mereka tegang tapi tidak panik. Tidak ada sakit yang kurasakan. Hanya sebuah denyutan di kepala dan kegelapan dalam. Perlahan kesadaranku kembali untuk mencoba mengingat apa yang terakhir kulihat.Ternyata mobil yang kami naiki membentur sebuah pembatas jalan. Beruntung jalanan tidak terlalu padat sehingga kami masih selamat. Hanya sebuah benturan yang tidak berbahaya. Seminggu berlalu, keadaan rumah kami semakin menyedihkan. Tidak ada lagi canda dan keceriaan. Sebuah panggilan telepon seolah memecah batu es yang semakin menjadi."Aku akan mengambil Anaya besok." Fattan terdengar datar."Ini belum waktunya untuk berlibur.""Anaya akan tinggal bersamaku," ada sebuah ketegasan dalam suara Fattan."Apa? Kenapa Anaya harus bersamamu?""Ingat, Adina. Kau sudah be
"Selamat datang, Adina. Kamu masih ingat namaku setelah puluhan tahun." Senyum merekah di wajah cantik berusia tiga puluhan tahun itu.Dengan celana pendek dan tshirt putihnya, Nadine terlihat santai. Penampilan yang sama sekali tidak mempengaruhi kecantikannya.Wajah Eropa yang kental dengan mata coklat terang."Kesulitan selalu membawa kita pada orang-orang yang kita lupakan," ujarku kecut.Nadine segera mengambil tas troly yang aku pegang. Dia memelukku dan menangkup pipiku. Wajahnya masih sama seperti lima belas tahun lalu ketika kami baru mengenal satu sama lain.Saat itu, kami baru saja masuk menjadi siswa Sekolah Menengah Islam terfavorit di Jakarta. Wajah Belanda yang dimilikinya membuat Nadine terlihat menonjol di antara teman-teman yang lain. "Itulah kenapa kita tidak boleh melupakan masa lalu," ujar Nadine sambil tersenyum."Aku tidak pernah melupakanmu. Karena kita memilih jalan berbeda, maka semua membuat kita jauh.""Lupakan. Ayo, masuklah."Nadine menuju ke mobil bagia
"Kembalilah ke Jakarta. Ambil semua yang menjadi milikmu.” Nadien mengatakan dengan tatapan mata tajam. Apakah dia sedang mencoba menyemangatiku atau dia sedang mencoba membunuhku. Ini keterlaluan. Bagaimana mungkin dia memberika saran seperti itu. Susah payah aku berusaha keluar dari kota Jakarta dan sekarang dia memintaku kembali dengan ucapan seringan kapas. Hmm… atau sebenarnya Nadine memang keberatan jika aku bersamanya. Kehidupan bebas yang Nadine miliki mungkin akan terasa terbatas dengan keberadaanku. Meski secara keseluruhan, aku mengenal Nadine sebagai orang yang tidak peduli dengan pandangan orang lain. Dia akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Setelah menghabiskan seluruh the yangmenjadi bagianku, aku berdiri. Tidak ingin berdebat dengan Nadine. Sampai beberapa waktu, aku merasa tempat ini cukup aman untukku beristirahat dan melepaskan penat. Setidaknya sampai aku tahu apa yang menjadi tujuanku. “Apa kau punya kamar untukku?” “Kau akan tinggal di pavilyun yan
"Siapa kau?” tanyaku. “Kenapa melihatku seperti hantu? Apaka kau tidak pernah melihat manusia sebelumnya?” suara pria itu terdengar renyah dan ramah. “Bukan itu… maksudku… aku….” Aku tidak menggunakan hijab. Karena kupikir ini adalah tempat yang sepi. Nadine bilang ini bukan musim liburan sehingga pavilyun-pavilyun miliknya cenderung kosong. Suasana memang terasa sunyi. Karena itulah aku memutuskan mmbuka hijab yang membuatku merasa gerah di hari yang panas. Lalu tiba-tiba saja pria ini muncul di depanku seperti hantu. Ak bahkan tidan mendengar langkah atau gerakan sebelumnya. Pria dengan wajah khas Indonesia yang tampan. Rambutnya hitam pekat dan bulu mata lebat membingkai matanya dengan warna senada. Tampan khas Indonesia! Dalam kegalauanku, wajah tampan ini bahkan tidak bisa menarik perhatianku. Aku sedikit gugup karena berdiri berhadapan dengannya tanpa hijab. Atau mungkin dia juga tidak tahu bahwa sebenarnya aku berhijab. Tatapan pria itu lurus ke arahku dan matanya sedikit m
"Jika kau percaya mata adalah jendela jiwa, maka sehebat apa pun kau menyembunyikannya, kesedihan dan kesepian itu akan tetap terlihat di wajahmu.” Begitu saja, lalu Andre berjalan dan pergi. Dia masuk ke salah satu pavilyun yang tidak jauh dari pavilyun yang aku tempati. Mataku terpaku melihat Andre sampai dia menghilang di balik pintu kayu. Keadaan seketika kembali sepi. Hanya ada aku yang sedang berdiri sendiri. Kesedihan dan kesepian, dua kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Semua tentang diriku seolah hilang arti. Aku gagal dalam pernikahan tiga tahun lalu. Terlepas dari fakta bahwa Kalila yang menggoda Fattan, nyatanya dia berpaling dariku. El Khairi Company berada di tangan yang tepat, Tara dan Vivian. Lalu Anaya bahagia bersama Kalila, Fattan dan anak lelaki mereka. Tidak salah jika kemudian aku mempertanyakan apa peranku di bumi ini. Apakah aku telah kehilangan arti dari nyawaku sendiri? Ketika yang bisa kuberikan pada orang lain hanyalah bencana. Mataha