Chapter ini penuh bawang... Jadi mau gimana Adina...?
“Aku berbahaya. Semua yang berada di dekatku akan hancur. Kau lihat berapa banyak kerusakan yang telah kubuat.” Rasa frustasi menguasaiku. Satu-satunya yang bisa kupikirkan saat ini adalah menjauh dan pergi jauh dari siapa pun yang ada di sekelilingku. Aku seperti api, siapa pun yang ada di dekatku akan terbakar. Berbahaya dan sangat berbahaya. “Adina, itu tidak benar. Kau sedang menyudutkan dirimu sendiri. Percayalah apa pun yang sekarang terjadi hanyalah sebuah proses untuk menuju ke masa depan yang lebih baik.” Tara berkata bijak. “Masa depan yang mana maksudmu? Siapa bagian dari masa depan itu? Tidak ada siapa pun di sana.” “Anaya, dia bagian masa depan itu, Adina.” “Aku mungkin akan menyakitinya juga.” “Tentu saja tidak. Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Ini hanya masalah waktu untukmu sembuh dari perasaan bersalah. Perasaan yang sebenarnya tidak perlu kau miliki.” Aku kehilangan diriku. Apa yang pernah kupercayai sebagai diriku yang baru dua tahun lalu, kini telah
“Bukankah dia masih dalam masa libur?” tanya Fattan. “Iya… tapi….” Jauh di dalam hatiku, aku tidak ingin Anaya pergi. Tapi, bukankah itu terdengar sangat egois? Aku bukan ibu yang baik bagi Anaya. Bukan sahabat yang baik bagi Marisa. Bukan adik yang baik bagi Tara. Lalu haruskah aku juga menghalangi Anaya untuk mendapatkan hal baik dari Fattan? Fattan mungkin adalah suami yang pengkhianat. Dia juga adalah pria yang penuh dusta. Kali ini dia ingin menjadi ayah yang baik bagi Anaya. Bukankah aku seharusnya memberikan kesempatan itu? Bukankah seharusnya Anaya berhak untuk bersama dengan ayahnya? Keinginan Fattan untuk kembali dekat dengan Anaya adalah bukti bahwa dia masih akan terus membawa Anaya dalam kehidupannya. Hubungan pernikahan kami memang telah berakhir. Tapi, tidak akan pernah ada akhir untuk hubungan antara Anaya dan Fattan. “Ya, kau bisa menjemputnya besok di apartementku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu.” Lalu panggilan telepon diputus. Vivian melihat aneh ke ara
“Dini, tolong masuk ke ruanganku….” Gagang telepon yang ada di tanganku terjatuh. Dalam hitungan detik sekretarisku sudah berada di ambang pintu. Dia menemukanku terduduk dilantai dan berusaha mengatur nafas. Aku bisa merasakan tubuhku dingin. Aliran darahku tercekat karena emosi yang berlebihan. Ada kepanikan yang datang tanpa alasan. “Bu Adina! Bu! Apa yang terjadi?” “Aku… panggil dokter….” Dini dengan cekatan menghubungi dokter. Lalu dia kembali dan berusaha menolongku. Beberapa menit kemudian, aku sudah terbaring di sofa dengan dokter, Yuda dan Dini di ruanganku. “Bu Adina, anda terserang depresi. Tampaknya ada sesuatu yang membuat emosi anda meningkat secara berlebihan. Biasanya ini dipicu oleh kejadian sekarang, tapi didorong oleh timbunan emosi di masa lalu. Apakah anda punya masalah serius akhir-akhir ini?” Masalah serius, ya aku punya. Masalah yang sangat serius. Bayangan kematian Marisa terus menghantuiku. Bukan hanya karena kematiannya tapi juga masa depan orang tua ma
"Tempat? Suatu tempat?" aku bergumam.Tentu saja banyak pilihan tempat seperti itu. Terlebih properti El Khairi memang tersebar di banyak lokasi. Aku sedang memikirkan mungkinkah Bali? Sebuah pulau yang indah dengan sejuta pesonanya. Setiap hari akan jadi hal yang menyenangkan. Tapi, apakah ini akan mudah bagi Anaya?Jika kami memang pergi ke sana, maka situasi sosial dan budayanya sudah pasti berbeda. Belum lagi masalah agama yang menjadi minoritas. Selama ini Anaya bersekolah di sekolah islan berstandar international. Hal yang mungkin agak sulit untuk ditemukan di Bali.Atau tempat lain? Ah, aku tidak bisa memikirkan apa pun sekarang. Mungkin sebaiknya aku kembali ke apartment dan mengambil waktu sejenak untuk memikirkan semuanya."Aku akan kembali ke apartment. Dan akan memberitahumu jika aku sudah memutuskan sesuatu." Aku meraih tas yang ada di atas meja dan bersiap untuk pergi.Vivian meraih tanganku. Matanya menatap gelisah dan khawatir."Adina, sekarang tidak ada aku atau siap
"Dia baik-baik saja, hanya sebuah benturan. Tidak ada luka."Terdengar suara di sekitarku yang perlahan semakin jelas ketika aku membuka mata. Aku masih duduk di dalam mobil. Beberapa orang coba menarikku keluar dari dalam mobil.Mereka tegang tapi tidak panik. Tidak ada sakit yang kurasakan. Hanya sebuah denyutan di kepala dan kegelapan dalam. Perlahan kesadaranku kembali untuk mencoba mengingat apa yang terakhir kulihat.Ternyata mobil yang kami naiki membentur sebuah pembatas jalan. Beruntung jalanan tidak terlalu padat sehingga kami masih selamat. Hanya sebuah benturan yang tidak berbahaya. Seminggu berlalu, keadaan rumah kami semakin menyedihkan. Tidak ada lagi canda dan keceriaan. Sebuah panggilan telepon seolah memecah batu es yang semakin menjadi."Aku akan mengambil Anaya besok." Fattan terdengar datar."Ini belum waktunya untuk berlibur.""Anaya akan tinggal bersamaku," ada sebuah ketegasan dalam suara Fattan."Apa? Kenapa Anaya harus bersamamu?""Ingat, Adina. Kau sudah be
"Selamat datang, Adina. Kamu masih ingat namaku setelah puluhan tahun." Senyum merekah di wajah cantik berusia tiga puluhan tahun itu.Dengan celana pendek dan tshirt putihnya, Nadine terlihat santai. Penampilan yang sama sekali tidak mempengaruhi kecantikannya.Wajah Eropa yang kental dengan mata coklat terang."Kesulitan selalu membawa kita pada orang-orang yang kita lupakan," ujarku kecut.Nadine segera mengambil tas troly yang aku pegang. Dia memelukku dan menangkup pipiku. Wajahnya masih sama seperti lima belas tahun lalu ketika kami baru mengenal satu sama lain.Saat itu, kami baru saja masuk menjadi siswa Sekolah Menengah Islam terfavorit di Jakarta. Wajah Belanda yang dimilikinya membuat Nadine terlihat menonjol di antara teman-teman yang lain. "Itulah kenapa kita tidak boleh melupakan masa lalu," ujar Nadine sambil tersenyum."Aku tidak pernah melupakanmu. Karena kita memilih jalan berbeda, maka semua membuat kita jauh.""Lupakan. Ayo, masuklah."Nadine menuju ke mobil bagia
"Kembalilah ke Jakarta. Ambil semua yang menjadi milikmu.” Nadien mengatakan dengan tatapan mata tajam. Apakah dia sedang mencoba menyemangatiku atau dia sedang mencoba membunuhku. Ini keterlaluan. Bagaimana mungkin dia memberika saran seperti itu. Susah payah aku berusaha keluar dari kota Jakarta dan sekarang dia memintaku kembali dengan ucapan seringan kapas. Hmm… atau sebenarnya Nadine memang keberatan jika aku bersamanya. Kehidupan bebas yang Nadine miliki mungkin akan terasa terbatas dengan keberadaanku. Meski secara keseluruhan, aku mengenal Nadine sebagai orang yang tidak peduli dengan pandangan orang lain. Dia akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Setelah menghabiskan seluruh the yangmenjadi bagianku, aku berdiri. Tidak ingin berdebat dengan Nadine. Sampai beberapa waktu, aku merasa tempat ini cukup aman untukku beristirahat dan melepaskan penat. Setidaknya sampai aku tahu apa yang menjadi tujuanku. “Apa kau punya kamar untukku?” “Kau akan tinggal di pavilyun yan
"Siapa kau?” tanyaku. “Kenapa melihatku seperti hantu? Apaka kau tidak pernah melihat manusia sebelumnya?” suara pria itu terdengar renyah dan ramah. “Bukan itu… maksudku… aku….” Aku tidak menggunakan hijab. Karena kupikir ini adalah tempat yang sepi. Nadine bilang ini bukan musim liburan sehingga pavilyun-pavilyun miliknya cenderung kosong. Suasana memang terasa sunyi. Karena itulah aku memutuskan mmbuka hijab yang membuatku merasa gerah di hari yang panas. Lalu tiba-tiba saja pria ini muncul di depanku seperti hantu. Ak bahkan tidan mendengar langkah atau gerakan sebelumnya. Pria dengan wajah khas Indonesia yang tampan. Rambutnya hitam pekat dan bulu mata lebat membingkai matanya dengan warna senada. Tampan khas Indonesia! Dalam kegalauanku, wajah tampan ini bahkan tidak bisa menarik perhatianku. Aku sedikit gugup karena berdiri berhadapan dengannya tanpa hijab. Atau mungkin dia juga tidak tahu bahwa sebenarnya aku berhijab. Tatapan pria itu lurus ke arahku dan matanya sedikit m
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil