Semua Bab Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK: Bab 31 - Bab 40

57 Bab

31. Dikira Selingkuhan

"Siapa yang Bu Salma maksud?" tanyanya lagi. "Bukan siapa-siapa, Bu. Saya permisi, mau masuk."Aku memutar badan, melangkah meninggalkan Bu Aini dengan rasa penasaran yang semakin membelenggunya. Aku memang tahu masalah yang dialami Bu Tini. Seberapa hancur perasaan dia saat tahu suaminya bermesraan dengan wanita lain. Namun aku tak akan mengumbar aib itu. Biar mereka tahu dari orang lain. Bukan dari mulutku. "Kok lama, Bun?" tanya Mas Ridho ketika aku sampai dapur. "Biasa, Bu Aini kepo, Yah."Mas Ridho meletakkan gelas berisi air putih lalu menatap penuh tanda tanya padaku. "Mereka kira Gita istri kedua kamu, Yah.""Ha ha ha... Istri kedua? Ada-ada saja ibu Tini. Mana mau aku punya istri kedua model Gita. Bangkrut.""Jadi kalau model yang lain mau?" tanyaku kesal. "Bu-bukan begitu maksud ayah, Bun.""Taulah!" Kesal, kutinggalkan ia pergi ke kamar. Sudah tahu istri sedang hamil tapi justru membuat emosi saja. Mas Ridho memang tidak terlalu peka dalam hal ini. Lagi dan lagi watak
Baca selengkapnya

32. Bu Tini Ngamuk

"Mana ada maling ngaku, iye kan?" Bu Tini tetap dengan pendiriannya. Dia berpikir semua lelaki sama. Manis dimuka pada akhirnya menyakiti juga. "Benar kok, Bu Tini. Pak Ridho pernah bercerita mempunyai adik yang kuliah di Bandung."Sontak semua mata tertuju pada wanita yang duduk berhadapan denganku itu. Wajahnya semakin merah, malu dan marah bercampur menjadi satu. "O, begitu. Kirain istri keduanya. Maklum saya baru pertama bertemu. Harus waspada, jaman sekarang banyak lelaki yang serong di bekang istri.""Termasuk suami Bu Tini?""Ya tidak, suami saya itu setia. Dia cinta mati sama saya, gak mungkin selingkuh," jawabnya sambil melotot ke arahku. Astaga, kenapa aku bisa kelepasan begitu. Tapi tidak apalah, salah sendiri memancing emosiku. "Sudah-sudah, kok jadi berantem begini." Bu RT menengahi. Bu RT kembali melanjutkan tugasnya. Dia mendaftar nama dan panjang kain yang akan dibeli. Aku duduk bersandar di tembok. Sesekali menatap ke arah Bu RT. Lagi-lagi Bu Tini melotot saat t
Baca selengkapnya

Tragedi Sosis Bakar

"Bu Tini ngamuk? Yang benar Pak Rudi?""Iya Bu Salma, dia bawa golok. Mau hajar Pak Gunawan dan selingkuhannya."Aku menelan ludah dengan susah payah. Ngeri saat membayangkan Bu Tini memotong pusaka suaminya dengan golok. Ih, serem. Bagaimana jadinya itu. "Terus saya suruh ngapain?" tanya Mas Ridho lagi. "Sudah ngawinin. Ya misah dong, Yah. Pakai nanyak lagi," jawabku kesal. "Ayo, Pak. Lebih banyak orang lebih baik. Saya takut Bu Tini nekat." Pak Rudi mengangkat bahu, bergidik ngeri. "Ayo." Mas Ridho melangkah mengikuti Pak Rudi. "Yah, Hati-hati."Mas Ridho mengangkat jempol tanpa menoleh ke arahku. Aku begitu takut terjadi apa-apa dengannya. Bukan tidak mungkin Bu Tini salah sasaran. Ah, wanita itu kenapa bisa kehilangan akal begini? Aku duduk di teras sambil mengawasi depan, orang-orang berjalan menuju rumah Bu Tini. Teriakan dan jeritan terdengar sampai ke rumah. "Ada apa to, Mbak?" tanya Gita saat keluar dari pintu. "Angggota trio wek-wek ngamuk, Git." Gadis itu menyatuk
Baca selengkapnya

34. Tragedi Sosis Bakar

"Angkat! Angkat!" teriak Mas Ridho. Dengan susah payah Mas Adit mengangkat tubuh istrinya lalu ditidurkan di sofa ruang tamu. "Ih, dasar nyusahkeun!""Hus! Jangan ngomong begitu, Git. Gak baik," ucap Mas Ridho seraya meliriknya. Adik iparku mencebik, dengan kesal ia melangkah ke kamar. Aku bahkan ingin mengatakan hal yang sama. Namun takut menyinggung perasaan orang lain. "Bun, ambilkan minyak kayu putih."Membalikkan badan, aku melangkahkan kaki menuju kamar. Kesal, tapi tak ada pilihan lain. Sebagai manusia biasa wajar jika aku kesal pada Bu susi. Bukan sekali dua kali ia membuatku emosi. Hampir tiap hari ada saja tingkahnya. Botol minyak kayu putih kemasan besar sudah berada di tangan. Dengan langkah gontai aku kembali ke ruang tamu. Wanita itu masih saja tak sadarkan diri. Awas saja kalau akting. "Ini." Aku berikan botol minyak kayu putih itu. Mas Adit tersenyum seraya menatap lekat netra ini. "Istrinya pingsan itu lho, jangan jelalatan matanya."Mas Ridho kembali menyen
Baca selengkapnya

35. Seragam PKK

"Ini bau apaan sih, Mas?" Bu Susi menutup hidung. "Gak ada yang bau, Bu Susi salah cium kali." Mas sayur melihat kanan kiri, awas mencari bau yang Bu Susi maksud. Namun tetap saja tak ia temukan. "Bau bangkai, kalian gak cium apa?" Bu Susi menutup hidung. "Perasaan Bu Susi saja kali. Orang kita gak cium apa-apa kok. Gak usah ngadi-ngadi, Bu."Bu Susi diam sambil menutup hidung rapat. Ada-ada saja tingkah wanita itu. "Ayam satu bungkus, Mas. Kalau ada yang sayap, ya," pinta Bu Aini. Penjual sayur itu segera mengambil ayam permintaan Bu Aini. "Ubinya ada, Mas? Satu, ya."Lelaki itu segera mengambilkan pisang dan ubi. Kemudian memberikannya padaku. "Aduh, Bu Aini kentut, ya. Baunya kok gak enak.""Is, ngawur saja Bu Susi ini. Hidung kamu yang bermasalah. Periksa sana!" Bu Aini menunjuk Bu Susi sambil membawa kantung plastik berisi ayam. Bu Susi segera berlari, menyingkir dari kerumunan. Howeek... Howeek.... Bu Susi muntah di depan rumah Bu Aini. Tepat di tengah-tengah gerbang.
Baca selengkapnya

36 Seragam Ibu PKK

Plastik dan kertas model gamis sudah dibuang. Betapa terkejutnya kami saat melihat penampakan kain itu. Kain warna hitam dengan motif polkadot berwarna merah menyala. Sungguh aku tidak sanggup membayangkan akan mengenakan seragam model itu. Dibayar pun aku tidak mau. Astaga, begini jika duo wanita itu yang membeli kain seragam. Hancur. "Yakin mau pakai ini untuk seragam, Bu RT?" tanya Bu Aini mewakili isi hatiku saat ini. "Em, bagaimana ya, Bu. Saya bingung harus apa. Kain sudah terlanjur dibeli dan tidak bisa diganti.""Bukannya Bu RT ikut, ya? Harusnya warna di share di grup, kan? Tapi kenapa tidak? Ini seragam lho, Bu. Bukan beli untuk pribadi," ucap Alisa kesal. "Sa... Saya...." Bu RT gelagapan, ia bingung harus menjawab apa. Karena memang ia tak memiliki jawaban. Ah, mana mungkin Bu RT berani dengan adik ipar. "Jadi harus begaimana, dong, Bu?" tanyaku. "Dengan terpaksa itu tetap menjadi seragam kita. Kita bagaimana kita menjahitnya, Bu."Aku menghela napas dan mengangguk m
Baca selengkapnya

37. Bu Susi Hamil

"Sudah berani makan nasi, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku memindahkan nasi di piring. "Coba aja, Yah. Tempe mendoan buatan Ayah sepertinya enak," ucapku seraya melirik piring berisi tempe mendoan di atas meja. Tanpa menunggu jawaban aku segera melahap nasi dan tempe mendoan itu. Tidak ada rasa mual seperti sebelumnya. Di lidah memang ada sedikit rasa pahit. Namun itu biasa dialami ibu hamil. Seperti kata dokter tempo hari. "Boleh nambah, Yah?"Suamiku mengangguk lalu tersenyum. "Akhirnya kamu bisa makan nasi, Bun. Ayah seneng. Bosan tiap hari ada pisang dan ubi di atas meja," ledek Mas Ridho sambil melirik pisang ambon yang kemarin kubeli di tukang sayur. Aku memang bosan dengan pisang dan ubi. Namun mau bagaimana lagi jika hanya makanan itu yang mampu bertahan di dalam perut. Semoga kali ini tidak ada drama muntah untuk kesekian kalinya. "Siang mau Ayah masakin atau Ayah kirim dari restoran?" tanya Mas Ridho ketika kami selesai sarapan. Aku meletakkan piring, menoleh ke s
Baca selengkapnya

Bertemu Adit

CIIT.... Seketika aku peluk erat perut wanita di depanku. "Hati-hati, bawa bumil ini!" Aku cubit perutnya hingga Alisa menjerit. "Ada kucing lewat, Mbak."Kucing warna hitam itu segera berlari, menjauh dari motor kami. Beruntung Alisa berhenti tepat waktu, meski jantungku serasa mau berhenti. Ketakutan. "Mbak, orang yang ngikutin dah pergi belum?" Seketika aku menoleh ke belakang. Lelaki dengan pakaian serba hitam menghilang entah ke mana. Aku bernapas lega, akhirnya dia pergi."Sudah hilang, ya, Mbak?""Sudah, Lis. Jangan-jangan dia gak ngikutin kita. Hanya searah saja.""Iya kali, Mbak. Kita ke PEDE an sih, Mbak?"Kami tertawa lepas, mentertawakan kecurigaan yang tidan bermutu. Terlalu banyak berita penculikan membuat aku berpikir yang tidak-tidak. Mana mungkin ada orang yang mau menculik kami. Di siang bolong begini. "Kita putar balik saja, Lis. Ke Abang penjual sop buah."Tanpa menjawab Alisa dengan hati-hati membelokkan kuda besinya. Perlahan kendaraan roda dua itu melaju,
Baca selengkapnya

39. Sebuah Foto

Aku dan Alisa saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Kami segera menghabiskan sisa buah yang ada di mangkuk. Pulang jalan terbaik menghindari pertanyaan yang tak ada habisnya. "Kami permisi, Pak Adit," ucapku lalu beranjak pergi diikuti Alisa di belakang. "Mbak Salma hutang penjelasan padaku," ucap Alisa saat aku naik ke motornya. Sudah kutebak, dia akan mengatakan itu. Mau tak mau harus kubuka kembali kenangan pahit itu. Hening. Sepanjang jalan kami memilih diam. Pikiranku berkelana, memikirkan kenangan lama yang menyiksa rongga dada. Bohong jika aku sudah melupakan semua kejadian itu. Buktinya kebencian masih singgah di hati ini. Kendaraan roda dua Alisa berhenti tepat di depan gerbang. "Penjelasannya besok, ya, Lis. Mbak capek."Wanita itu mengangguk lalu kembali melajukan motornya meninggalkan halaman rumah. Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah itu kurebahkan tubuh ini di atas ranjang. Lelah, tapi jauh melelahkan mendengar pertanyaan Mas Adit tadi. Lelaki itu ke
Baca selengkapnya

Empat Bulanan

"I-ini tidak seperti yang Bu Susi pikirkan. Saya tidak berduaan dengan Pak Adit," ucapku terbata. "Tak seperti yang aku pikirkan gimana? Jelas-jelas kalian berduaan di warung es. Duduk berhadapan. Apa namanya kalau tidak selingkuh? Kalian sengaja, kan bertemu di sana. Supaya bebas pacaran, kan? Ngaku!""Saya bersama Alisa. Ibu lihat sendiri, kan? Saya boncengan dengan Alisa. Jangan menuduh orang sembarangan, Bu. Nanti jadinya fitnah!""Fitnah apa? Jelas-jelas kalian selingkuh. Ini buktinya!" Bu Susi terus saja menuduhku. Dia tak percaya dengan penjelasan yang aku berikan. Entah dari mana ia mendapatkan foto itu. Siapa yang iseng melakukan hal ini? Astaga... Kapan hidupku tenang? Terbebas dari masalah seperti ini? "Ngaku kamu, Salma! Ngaku!" Bu Susi menatapku tajam! Lelah memberi penjelasan pada orang yang tidak mau mendengar. Aku ambil teh yang sudah dingin itu,meminumnya sambil mendengar ocehan Bu Susi. Ini seperti di cafe menikmati minuman sambil mendengarkan musik. Namun kali i
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status