"Mana ada maling ngaku, iye kan?" Bu Tini tetap dengan pendiriannya. Dia berpikir semua lelaki sama. Manis dimuka pada akhirnya menyakiti juga. "Benar kok, Bu Tini. Pak Ridho pernah bercerita mempunyai adik yang kuliah di Bandung."Sontak semua mata tertuju pada wanita yang duduk berhadapan denganku itu. Wajahnya semakin merah, malu dan marah bercampur menjadi satu. "O, begitu. Kirain istri keduanya. Maklum saya baru pertama bertemu. Harus waspada, jaman sekarang banyak lelaki yang serong di bekang istri.""Termasuk suami Bu Tini?""Ya tidak, suami saya itu setia. Dia cinta mati sama saya, gak mungkin selingkuh," jawabnya sambil melotot ke arahku. Astaga, kenapa aku bisa kelepasan begitu. Tapi tidak apalah, salah sendiri memancing emosiku. "Sudah-sudah, kok jadi berantem begini." Bu RT menengahi. Bu RT kembali melanjutkan tugasnya. Dia mendaftar nama dan panjang kain yang akan dibeli. Aku duduk bersandar di tembok. Sesekali menatap ke arah Bu RT. Lagi-lagi Bu Tini melotot saat t
"Bu Tini ngamuk? Yang benar Pak Rudi?""Iya Bu Salma, dia bawa golok. Mau hajar Pak Gunawan dan selingkuhannya."Aku menelan ludah dengan susah payah. Ngeri saat membayangkan Bu Tini memotong pusaka suaminya dengan golok. Ih, serem. Bagaimana jadinya itu. "Terus saya suruh ngapain?" tanya Mas Ridho lagi. "Sudah ngawinin. Ya misah dong, Yah. Pakai nanyak lagi," jawabku kesal. "Ayo, Pak. Lebih banyak orang lebih baik. Saya takut Bu Tini nekat." Pak Rudi mengangkat bahu, bergidik ngeri. "Ayo." Mas Ridho melangkah mengikuti Pak Rudi. "Yah, Hati-hati."Mas Ridho mengangkat jempol tanpa menoleh ke arahku. Aku begitu takut terjadi apa-apa dengannya. Bukan tidak mungkin Bu Tini salah sasaran. Ah, wanita itu kenapa bisa kehilangan akal begini? Aku duduk di teras sambil mengawasi depan, orang-orang berjalan menuju rumah Bu Tini. Teriakan dan jeritan terdengar sampai ke rumah. "Ada apa to, Mbak?" tanya Gita saat keluar dari pintu. "Angggota trio wek-wek ngamuk, Git." Gadis itu menyatuk
"Angkat! Angkat!" teriak Mas Ridho. Dengan susah payah Mas Adit mengangkat tubuh istrinya lalu ditidurkan di sofa ruang tamu. "Ih, dasar nyusahkeun!""Hus! Jangan ngomong begitu, Git. Gak baik," ucap Mas Ridho seraya meliriknya. Adik iparku mencebik, dengan kesal ia melangkah ke kamar. Aku bahkan ingin mengatakan hal yang sama. Namun takut menyinggung perasaan orang lain. "Bun, ambilkan minyak kayu putih."Membalikkan badan, aku melangkahkan kaki menuju kamar. Kesal, tapi tak ada pilihan lain. Sebagai manusia biasa wajar jika aku kesal pada Bu susi. Bukan sekali dua kali ia membuatku emosi. Hampir tiap hari ada saja tingkahnya. Botol minyak kayu putih kemasan besar sudah berada di tangan. Dengan langkah gontai aku kembali ke ruang tamu. Wanita itu masih saja tak sadarkan diri. Awas saja kalau akting. "Ini." Aku berikan botol minyak kayu putih itu. Mas Adit tersenyum seraya menatap lekat netra ini. "Istrinya pingsan itu lho, jangan jelalatan matanya."Mas Ridho kembali menyen
"Ini bau apaan sih, Mas?" Bu Susi menutup hidung. "Gak ada yang bau, Bu Susi salah cium kali." Mas sayur melihat kanan kiri, awas mencari bau yang Bu Susi maksud. Namun tetap saja tak ia temukan. "Bau bangkai, kalian gak cium apa?" Bu Susi menutup hidung. "Perasaan Bu Susi saja kali. Orang kita gak cium apa-apa kok. Gak usah ngadi-ngadi, Bu."Bu Susi diam sambil menutup hidung rapat. Ada-ada saja tingkah wanita itu. "Ayam satu bungkus, Mas. Kalau ada yang sayap, ya," pinta Bu Aini. Penjual sayur itu segera mengambil ayam permintaan Bu Aini. "Ubinya ada, Mas? Satu, ya."Lelaki itu segera mengambilkan pisang dan ubi. Kemudian memberikannya padaku. "Aduh, Bu Aini kentut, ya. Baunya kok gak enak.""Is, ngawur saja Bu Susi ini. Hidung kamu yang bermasalah. Periksa sana!" Bu Aini menunjuk Bu Susi sambil membawa kantung plastik berisi ayam. Bu Susi segera berlari, menyingkir dari kerumunan. Howeek... Howeek.... Bu Susi muntah di depan rumah Bu Aini. Tepat di tengah-tengah gerbang.
Plastik dan kertas model gamis sudah dibuang. Betapa terkejutnya kami saat melihat penampakan kain itu. Kain warna hitam dengan motif polkadot berwarna merah menyala. Sungguh aku tidak sanggup membayangkan akan mengenakan seragam model itu. Dibayar pun aku tidak mau. Astaga, begini jika duo wanita itu yang membeli kain seragam. Hancur. "Yakin mau pakai ini untuk seragam, Bu RT?" tanya Bu Aini mewakili isi hatiku saat ini. "Em, bagaimana ya, Bu. Saya bingung harus apa. Kain sudah terlanjur dibeli dan tidak bisa diganti.""Bukannya Bu RT ikut, ya? Harusnya warna di share di grup, kan? Tapi kenapa tidak? Ini seragam lho, Bu. Bukan beli untuk pribadi," ucap Alisa kesal. "Sa... Saya...." Bu RT gelagapan, ia bingung harus menjawab apa. Karena memang ia tak memiliki jawaban. Ah, mana mungkin Bu RT berani dengan adik ipar. "Jadi harus begaimana, dong, Bu?" tanyaku. "Dengan terpaksa itu tetap menjadi seragam kita. Kita bagaimana kita menjahitnya, Bu."Aku menghela napas dan mengangguk m
"Sudah berani makan nasi, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku memindahkan nasi di piring. "Coba aja, Yah. Tempe mendoan buatan Ayah sepertinya enak," ucapku seraya melirik piring berisi tempe mendoan di atas meja. Tanpa menunggu jawaban aku segera melahap nasi dan tempe mendoan itu. Tidak ada rasa mual seperti sebelumnya. Di lidah memang ada sedikit rasa pahit. Namun itu biasa dialami ibu hamil. Seperti kata dokter tempo hari. "Boleh nambah, Yah?"Suamiku mengangguk lalu tersenyum. "Akhirnya kamu bisa makan nasi, Bun. Ayah seneng. Bosan tiap hari ada pisang dan ubi di atas meja," ledek Mas Ridho sambil melirik pisang ambon yang kemarin kubeli di tukang sayur. Aku memang bosan dengan pisang dan ubi. Namun mau bagaimana lagi jika hanya makanan itu yang mampu bertahan di dalam perut. Semoga kali ini tidak ada drama muntah untuk kesekian kalinya. "Siang mau Ayah masakin atau Ayah kirim dari restoran?" tanya Mas Ridho ketika kami selesai sarapan. Aku meletakkan piring, menoleh ke s
CIIT.... Seketika aku peluk erat perut wanita di depanku. "Hati-hati, bawa bumil ini!" Aku cubit perutnya hingga Alisa menjerit. "Ada kucing lewat, Mbak."Kucing warna hitam itu segera berlari, menjauh dari motor kami. Beruntung Alisa berhenti tepat waktu, meski jantungku serasa mau berhenti. Ketakutan. "Mbak, orang yang ngikutin dah pergi belum?" Seketika aku menoleh ke belakang. Lelaki dengan pakaian serba hitam menghilang entah ke mana. Aku bernapas lega, akhirnya dia pergi."Sudah hilang, ya, Mbak?""Sudah, Lis. Jangan-jangan dia gak ngikutin kita. Hanya searah saja.""Iya kali, Mbak. Kita ke PEDE an sih, Mbak?"Kami tertawa lepas, mentertawakan kecurigaan yang tidan bermutu. Terlalu banyak berita penculikan membuat aku berpikir yang tidak-tidak. Mana mungkin ada orang yang mau menculik kami. Di siang bolong begini. "Kita putar balik saja, Lis. Ke Abang penjual sop buah."Tanpa menjawab Alisa dengan hati-hati membelokkan kuda besinya. Perlahan kendaraan roda dua itu melaju,
Aku dan Alisa saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Kami segera menghabiskan sisa buah yang ada di mangkuk. Pulang jalan terbaik menghindari pertanyaan yang tak ada habisnya. "Kami permisi, Pak Adit," ucapku lalu beranjak pergi diikuti Alisa di belakang. "Mbak Salma hutang penjelasan padaku," ucap Alisa saat aku naik ke motornya. Sudah kutebak, dia akan mengatakan itu. Mau tak mau harus kubuka kembali kenangan pahit itu. Hening. Sepanjang jalan kami memilih diam. Pikiranku berkelana, memikirkan kenangan lama yang menyiksa rongga dada. Bohong jika aku sudah melupakan semua kejadian itu. Buktinya kebencian masih singgah di hati ini. Kendaraan roda dua Alisa berhenti tepat di depan gerbang. "Penjelasannya besok, ya, Lis. Mbak capek."Wanita itu mengangguk lalu kembali melajukan motornya meninggalkan halaman rumah. Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah itu kurebahkan tubuh ini di atas ranjang. Lelah, tapi jauh melelahkan mendengar pertanyaan Mas Adit tadi. Lelaki itu ke
"Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu
"STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d
"Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta
Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura
Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m
"Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas
Aku merebahkan tubuh tapi mata tetap terjaga. Berbagai prasangka memenuhi pikiran. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suamiku. Jaga dia hingga sampai di sini. Gita, mungkin anak itu tahu di mana Mas Ridho berada. Ya, kenapa tidak terpikirkan dari tadi. Kembali aku otak-atik benda pipih itu. Aku hubungi nomor Gita,tapi sama seperti saat menghubungi Mas Ridho, adik iparku tak kunjung mengangkat teleponku. Ya Allah, rasa khawatir semakin memenuhi isi kepalaku. Aku tidak bisa tidur sebelum mengetahui kabar Mas Ridho. Waktu berjalan begitu lambat. Berkali-kali aku melihat layar ponsel berharap ada pesan atau telepon dari Mas Ridho. Namun ternyata nihil. Tak satu pun pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima. Namun hingga detik ini aku belum juga memejamkan mata. Kini pusing mendera karena semalaman tidak terlelap. "Mas Ridho belum memberi kabar, Mbak?" tanya Alisa setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat. "Belum, Lis. Mbak jad
Perawat dengan hati-hati memasang selang infus di tangan kanan. Tak lama brankar yang kutiduri didorong ke ruangan bersalin.Dua orang bidan dengan cekatan membantuku. Aku mengikuti semua instruksi yang mereka berikan. Dalam hati terus berdoa agar Allah memberi kelancaran dalam proses kelahiran meski tanpa suamiku di sini. Owek... Owek.... Sebuah lengkungan tergambar di wajah. Rasa lega ini tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Sakit yang tadi kurasa hilang bersamaan dengan tangis bayi itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dengan sendirinya. Bahagia, hingga aku mengeluarkan air mata. Tangis ini yang bertahun-tahun aku nantikan. Akhirnya Tuhan berikan seorang malaikat kecil dalam kehidupan kami. "Selamat Ibu, bayinya laki-laki," ucap Bidan itu semakin membuatku bahagia. "Bukan cewek ya, Bu?""Bukan, lelaki.""Alhamdulillah," ucapku sambil menjatuhkan air mata. Bahagia bukan karena aku baru saja melahirkan tapi Allah memberikan seorang bayi laki-laki pada kami. Dari awal ha
"Apa-apaan ini, Bu? Kenapa saya ditampar?" Bu Susi melotot, matanya seakan mau copot. "Biar mulutnya tahu sopan santun, gak bicara yang tidak-tidak. Ingat ya, Bu Susi. Setiap kata yang keluar dari mulut itu doa. Ibu pengen ada pelakor di rumah tangga ibu?"Wanita itu diam tapi sorot kebencian tergambar jelas di sana. Terlihat dari kepalan tangan kanannya. Apa dia pikir aku akan takut? Tidak! Aku sudah muak dengan kelakukan wanita bar-bar itu. Lelah selalu mengalah hanya untuk hidup tenang. Namun dia selalu saja mengibarkan bendera perang. "Kamu!" Jari telunjuknya mengarah padaku. "Apa? Bu Susi pikir aku takut... Gak, aku sudah gak takut sama Bu Susi. Kalau Bu Susi terus gangguin kami. Maka aku tidak segan-segan lapor polisi.""Sial!" Wanita itu menghentak-hentakkan kaki pergi dari hadapanku. Pergi dan jangan pernah kembali. ***Aku menggulingkan badan ke kanan dan kiri. Beberapa kali melihat benda bulat yang menempel di dinding. Namun waktu terasa begitu lambat. Ah, tak ada Mas R