Aku dan Alisa saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Kami segera menghabiskan sisa buah yang ada di mangkuk. Pulang jalan terbaik menghindari pertanyaan yang tak ada habisnya. "Kami permisi, Pak Adit," ucapku lalu beranjak pergi diikuti Alisa di belakang. "Mbak Salma hutang penjelasan padaku," ucap Alisa saat aku naik ke motornya. Sudah kutebak, dia akan mengatakan itu. Mau tak mau harus kubuka kembali kenangan pahit itu. Hening. Sepanjang jalan kami memilih diam. Pikiranku berkelana, memikirkan kenangan lama yang menyiksa rongga dada. Bohong jika aku sudah melupakan semua kejadian itu. Buktinya kebencian masih singgah di hati ini. Kendaraan roda dua Alisa berhenti tepat di depan gerbang. "Penjelasannya besok, ya, Lis. Mbak capek."Wanita itu mengangguk lalu kembali melajukan motornya meninggalkan halaman rumah. Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah itu kurebahkan tubuh ini di atas ranjang. Lelah, tapi jauh melelahkan mendengar pertanyaan Mas Adit tadi. Lelaki itu ke
"I-ini tidak seperti yang Bu Susi pikirkan. Saya tidak berduaan dengan Pak Adit," ucapku terbata. "Tak seperti yang aku pikirkan gimana? Jelas-jelas kalian berduaan di warung es. Duduk berhadapan. Apa namanya kalau tidak selingkuh? Kalian sengaja, kan bertemu di sana. Supaya bebas pacaran, kan? Ngaku!""Saya bersama Alisa. Ibu lihat sendiri, kan? Saya boncengan dengan Alisa. Jangan menuduh orang sembarangan, Bu. Nanti jadinya fitnah!""Fitnah apa? Jelas-jelas kalian selingkuh. Ini buktinya!" Bu Susi terus saja menuduhku. Dia tak percaya dengan penjelasan yang aku berikan. Entah dari mana ia mendapatkan foto itu. Siapa yang iseng melakukan hal ini? Astaga... Kapan hidupku tenang? Terbebas dari masalah seperti ini? "Ngaku kamu, Salma! Ngaku!" Bu Susi menatapku tajam! Lelah memberi penjelasan pada orang yang tidak mau mendengar. Aku ambil teh yang sudah dingin itu,meminumnya sambil mendengar ocehan Bu Susi. Ini seperti di cafe menikmati minuman sambil mendengarkan musik. Namun kali i
Seketika semua orang berlari menuju gerbang. Mas Adit dengan cepat membopong Bu Susi yang meringis kesakitan. "Da... Darah." Aku menunjuk cairan merah yang ada di mata kakinya. Mas Adit menatap kaki Bu Susi, wajah lelaki itu semakin tegang."Mama kenapa, Pa?" Tyo menarik ujung koko yang Mas Adit kenakan. Anak itu bingung harus bagaimana. "Tolong!" teriak Mas Adit. Namun warga yang lain seolah diam. Entah ke mana hati nurani mereka. Mungkin kesal dengan tingkah Bu Susi yang selalu memancing emosi. "Adi, tolong antar Pak Adit," ucap Mas Ridho akhirnya. Setelah mendapatkan kunci mobil, asisten Mas Ridho itu segera mengantar Bu Susi ke rumah sakit terdekat. Aku hanya berharap janin dalam perutnya bisa selamat. Hanya itu. Tetangga terdekat mulai meninggalkan rumah kami. Hanya aku dan Mas Ridho yang masih duduk di teras. "Bunda gak capek?" tanya Mas Ridho. Aku menggeleng sambil membenarkan posisi dudukku. Pantat panas dengan pinggang serasa mau patah. Namun rasa khawatir membuatku
"Bu Susi bilang apa tadi? Rp. 200.000,- ?" ucap Bu Rini sambil menatap Bu Aini. Kedua wanita itu saling pandang. "Saya juga dengar seperti itu, Bu." Alisa ikut berkomentar. Kini semua mata tertuju pada satu titik yang sama, Bu Tini. Namun wanita itu tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ibu-Ibu, saya permisi pulang dulu, ya." Bu Tini melangkah pergi. "Tunggu, Bu!" Sebuah tangan menghentikan gerakan tubuh wanita itu. Dengan sedikit kesal Bu Tini membalikkan badan, menatap tajam Alisa. Anak itu selalu berani. "Saya mau pulang, kenapa kamu cekal? Jangan kurang ajar sama orang tua!"Alisa tersenyum datar, melepaskan lengan yang sempat ia genggam. Tak ada raut bersalah. Sikapnya membuat Bu Tini naik darah. Anak itu terlampau berani. Tapi aku suka. "Bukankah dana sosial harusnya Rp. 500.000,- untuk anggota yang masuk rumah sakit. Tapi kenapa cuman Rp 200.000,-?""Dari mana kamu tahu uangnya hanya Rp. 200.000,-?""Tadi suara Bu Susi terdengar jelas. Memangnya Bu Tini gak denger?
"Saya kurang tahu, Bu. Saya, kan bukan pengurus.""Ah, payah kamu ini, Sal. Apa-apa kok gak tahu. Percuma saya ke sini."Jadi kedatangannya kemari untuk mengorek informasi tentang dana sosial itu. Bu Susi... Bu Susi, kapan tingkahnya bisa berubah? "Ini harganya berapa, Sal? Tapi kalau anaknya perempuan gimana?" tanya Bu Susi sambil menyentuh lemari itu. "Gak papa, Bu Susi. Ini hadiah dari Mas Ridho. Bu Susi dapat hadiah apa dari Pak Adit?""Sebentar lagi juga dapat, Sal. Kamu jangan ngiri, ya." "Iya," jawabku sekenanya. "Pulang dulu. Mas Adit pasti nyiapin hadiah istimewa untukku." Wanita itu segera pergi dari rumahku. Lega, tak sia-sia aku memanas-manasi dia. Terbakar juga, kan? Memiliki sikap yang iri hati membuat Bu Susi mudah terbakar emosi. Padahal hanya untuk masalah sepele saja. ***"Bagaimana lemarinya, Bun?" tanya Mas Ridho ketika aku menyambut kedatangannya."Suka, Yah, semoga anaknya lelaki, ya, Yah. Agar sesuai dengan motif lemarinya."Seketika Mas Ridho menepuk jid
"Eh, Bu Salma belum bayar iuran seragam, ya?" Aku menoleh ke samping, menatap wanita yang berjalan sambil mengelus perutnya itu. Dadaku bergemuruh, marah. Baru semalam Bu RT mengirim pesan tapi kabar itu sudah sampai di telinga Bu Susi, ratu gosip di komplek mawar. "Saya sudah membayar, Bu. Tapi bukan kepada Bu RT. Tapi pada Bu Tini," jawabku."Gak mungkin sudah bayar tapi mendapat pesan dari Bu RT, iya, kan? Ngaku aja kalau belum bayar, Bu. Apa Bu Salma malu karena pemilik restoran belum membayar uang seragam? Mau ngomong begitu saja kok susah to, Bu," ucap Bu Susi kekeh. Dia tak mau mendengarkan penjelasanku. Aku tahu, dia ingin menjatuhkan aku di depan umum. Menjelek-jelekkan namaku agar semua orang membenciku. Entah kenapa dia suka mengibarkan bendera perang padaku. "Saya sudah membayar pada Bu Tini, Bu. Mungkin belum dilaporkan kepada Bu RT," jawabku datar. Aku tahan emosi yang hampir meledak. "Sabar... Sabar," batinku seraya mengelus perut yang sudah semakin membesar ini.
"Keluar, Tyo. Mama cariin itu.""Gak mau, Tante."Anak itu mengalihkan pandangan, ia ketuk-ketuk meja untuk mengalihkan perhatianku. "Kenapa? Disuruh makan sama Mama itu."Aku terus merayu agar Tyo mau pulang ke rumah. Bukan tak mengizinkan ia bermain di sini. Namun aku tak mau kembali beradu mulut dengan ibunya. Lelah selalu disalahkan dan dianggap musuh besar. Sejujurnya aku ingin hidup tenang dan memiliki tetangga yang baik, saling membantu dan menghargai satu dan lainnya. Bukan justru bersaing dan saling mengejek. Seperti Bu Susi dan Bu Tini. "Aku takut, Tante." Tyo menundukkan kepala sambil memainkan ujung kaos yang ia kenakan. Aku mendekat, menatap lekat wajahnya. "Kenapa? Mama, kan gak galak?""Tyo menendang lemari plastik sampai jebol, Tante.""Lemari Tyo?" tanyaku memastikan. "Bukan, Tante. Lemari buat adik."Pantas saja Bu Susi marah, lemari yang baru saja dibeli sudah dihancurkan. Alamat beli baru lagi. "Tyo!"Suara Bu Susi kembali menggelegar. Terdengar bagai kilata
"Siapa yang menunggu Bu Tini, Yah?" tanyaku seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja. "Aldo.""Terus anaknya yang kecil siapa yang jaga? Pak Gunawan?""Bu Tini melarang Kinar diasuh Pak Gunawan.""Lha terus Kinar yang rawat siapa?""Bu Tini minta tolong Bunda merawat Kinar. Nanti diantar Bu RT kemari."Aku menghela napas, dengan kesal menjatuhkan bobot di kursi dekat Mas Ridho. Kenapa setiap kali mereka susah, aku yang harus menolongnya. Tapi setelah masalah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya. Menyebalkan. Mas Ridho meletakkan koran, mengambil secangkir kopi lalu meneguknya perlahan. "Kurang manis dikit, Bun," ucapnya sambil meletakkan secangkir kopi itu. "Iya pahit kek hidup Bunda.""Kenapa memang?" Mas Ridho menatapku lekat, sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. "Pahit aja, tetangga yang kena masalah kita yang nolong. Giliran sehat mereka memusuhi kita. Kan nyebelin tu. Mereka pikir kita lembaga sosial apa?" ucapku kesal. Aku tahu sesama manusia wajib tolong me
"Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu
"STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d
"Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta
Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura
Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m
"Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas
Aku merebahkan tubuh tapi mata tetap terjaga. Berbagai prasangka memenuhi pikiran. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suamiku. Jaga dia hingga sampai di sini. Gita, mungkin anak itu tahu di mana Mas Ridho berada. Ya, kenapa tidak terpikirkan dari tadi. Kembali aku otak-atik benda pipih itu. Aku hubungi nomor Gita,tapi sama seperti saat menghubungi Mas Ridho, adik iparku tak kunjung mengangkat teleponku. Ya Allah, rasa khawatir semakin memenuhi isi kepalaku. Aku tidak bisa tidur sebelum mengetahui kabar Mas Ridho. Waktu berjalan begitu lambat. Berkali-kali aku melihat layar ponsel berharap ada pesan atau telepon dari Mas Ridho. Namun ternyata nihil. Tak satu pun pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima. Namun hingga detik ini aku belum juga memejamkan mata. Kini pusing mendera karena semalaman tidak terlelap. "Mas Ridho belum memberi kabar, Mbak?" tanya Alisa setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat. "Belum, Lis. Mbak jad
Perawat dengan hati-hati memasang selang infus di tangan kanan. Tak lama brankar yang kutiduri didorong ke ruangan bersalin.Dua orang bidan dengan cekatan membantuku. Aku mengikuti semua instruksi yang mereka berikan. Dalam hati terus berdoa agar Allah memberi kelancaran dalam proses kelahiran meski tanpa suamiku di sini. Owek... Owek.... Sebuah lengkungan tergambar di wajah. Rasa lega ini tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Sakit yang tadi kurasa hilang bersamaan dengan tangis bayi itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dengan sendirinya. Bahagia, hingga aku mengeluarkan air mata. Tangis ini yang bertahun-tahun aku nantikan. Akhirnya Tuhan berikan seorang malaikat kecil dalam kehidupan kami. "Selamat Ibu, bayinya laki-laki," ucap Bidan itu semakin membuatku bahagia. "Bukan cewek ya, Bu?""Bukan, lelaki.""Alhamdulillah," ucapku sambil menjatuhkan air mata. Bahagia bukan karena aku baru saja melahirkan tapi Allah memberikan seorang bayi laki-laki pada kami. Dari awal ha
"Apa-apaan ini, Bu? Kenapa saya ditampar?" Bu Susi melotot, matanya seakan mau copot. "Biar mulutnya tahu sopan santun, gak bicara yang tidak-tidak. Ingat ya, Bu Susi. Setiap kata yang keluar dari mulut itu doa. Ibu pengen ada pelakor di rumah tangga ibu?"Wanita itu diam tapi sorot kebencian tergambar jelas di sana. Terlihat dari kepalan tangan kanannya. Apa dia pikir aku akan takut? Tidak! Aku sudah muak dengan kelakukan wanita bar-bar itu. Lelah selalu mengalah hanya untuk hidup tenang. Namun dia selalu saja mengibarkan bendera perang. "Kamu!" Jari telunjuknya mengarah padaku. "Apa? Bu Susi pikir aku takut... Gak, aku sudah gak takut sama Bu Susi. Kalau Bu Susi terus gangguin kami. Maka aku tidak segan-segan lapor polisi.""Sial!" Wanita itu menghentak-hentakkan kaki pergi dari hadapanku. Pergi dan jangan pernah kembali. ***Aku menggulingkan badan ke kanan dan kiri. Beberapa kali melihat benda bulat yang menempel di dinding. Namun waktu terasa begitu lambat. Ah, tak ada Mas R