Semua Bab Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK: Bab 21 - Bab 30

57 Bab

21. Ganti Rugi 2

"Ayo cepet! Aku mau jemput Tyo!" Bu Susi kembali menengadahkan tangan. "Ibu yang menghalangi saya, kan?""Halah, jangan alasan kamu, Salma! Pokoknya kamu harus ganti rugi! Aku tidak mau tahu!" teriaknya lantang. Dalam sekejap semua mata tertuju pada kami. Ini memang bukan yang pertama. Namun rasanya masih sama. Malu. "Berapa?" "Tiga ratus.""Sebentar."Aku berjalan ke kamar mengambil uang ganti rugi. Tetapi hanya ada dua lembar uang berwarna merah. Biarlah, toh ini lebih dari cukup. "Mana!""Ini, hanya ada 200 ribu.""Kok cuman dua lembar? Saya mintanya tiga lembar."Bu Susi masih tidak terima, Rp. 200.000,- lebih dari cukup untuk mencucikan rok itu di laundry depan gang. "Kalau tidak mau saya ambil lagi."Belum sempat kutarik, Bu Susi lebih dulu memasukkan uang itu ke dalam saku. "Ya sudah. Permisi."Bu Susi pergi setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. "Katanya kaya uang 300 ribu aja gak punya," ucapnya tapi masih mampu kudengar dengan jelas. Menggeleng pelan sambil menge
Baca selengkapnya

22. Maling

"Apa saya tidak salah dengar, Pak?" Mas Ridho mengernyitkan dahi. "Ti-tidak, Pak. Saya membutuhkan pekerjaan. Tabungan selama menjadi TKI habis untuk membayar hutang Susi. Sekarang saya bingung... Kebutuhan dan pengeluaran banyak tapi tidak ada pemasukan," jawabnya sambil menundukkan kepala. Aku tahu betul, Mas Adit menggadaikan harga diri hanya untuk sesuap nasi. Sedikit heran, ke mana harta yang mereka agungkan. Bahkan karena tidak selevel aku dicampakkan bak sampah. Sungguh aku benci jika mengingat itu. "Tolong saya, Pak," pintanya mengiba. Pasti Mas Ridho jadi tak tega. "Akan saya pikirkan, Pak. Kebetulan karyawan sudah banyak.""O, begitu, ya, Pak," jawab Mas Adit. Dia paksa bibir tersenyum meski kekecewaan terlihat jelas dari sorot matanya. "Kalau ada lowongan saya beritahu, Pak.""Makasih, Pak Ridho. Saya sangat berharap ada pekerjaan untuk saya."Beberapa saat lelaki itu terdiam,ia seruput kembali kopi yang masih tersisa itu. Kemudian berpamitan dengan kekecewaan. ***"
Baca selengkapnya

23. Maling

Tok! Tok! Aku berjalan cepat menuju kamar. Rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Tok! Tok! Pintu kembali diketuk, sedikit kencang hingga membuat Mas Ridho terbangun. Dia menatap kanan dan kiri, kebingungan. "Ada apa, Bun?" tanyanya kebingungan. "Bu Salma! Bu!" teriak seseorang dari depan. "Siapa, Bun?" tanyanya. "Gak tahu, Yah. Tadi mereka teriak maling di depan."Mas Ridho berjalan ke depan, sesekali ia menguap karena kantuk yang masih mendera. Baru beberapa menit ia terpejam tapi keributan memaksanya kembali membuka mata. Kami melangkah menuju pintu depan. Aku mengekor di belakang Mas Ridho. Takut dengan ucapan dua lelaki yang sempat kudengar tadi.Pintu dibuka, dua lelaki berdiri di balik pintu itu. Pak Rudi dan Pak Samsul berdiri dengan napas tersengal. Terlihat mereka kelelahan setelah berlari ke sana kemari. "Ada apa, Pak? Kenapa malam-malam mengetuk pintu?" tanya Mas Ridho seraya mengucek matanya. "Maaf, Pak. Tadi ada maling lari kemari.""Lalu hubungan den
Baca selengkapnya

24. Tamu Saat Hujan

"Nanti ribut lagi, Yah. Kita bisa disalahkan jika diam saja."Seketika Mas Ridho meletakkan laptop, lalu beranjak dari duduk. Suamiku segera melangkah menuju sumber keributan. Kedua laptop kumasukan ke dalam kamar. Kemudian aku kembali melangkah menuju depan. Lagi, rumah Bu Susi sudah dipenuhi warga yang penasaran dengan keributan ini. Selalu saja rumah ini yang terkenal dengan kontroversi. Apa mereka tak lelah? Aku saja lelah. Mas Ridho sudah tak tampak, dia masuk ke kerumunan orang-orang. Entah di mana ia sekarang."Apa-apaan ini? Kenapa kalian mengusik waktu istirahatku?" Bu Susi keluar dengan berkacak pinggang. Kulihat dari sela orang yang berkerumun. "Kembalikan ponselku." "Jangan asal menuduh tanpa bukti. Itu fitnah namanya.""Ck! Aku sudah lacak dan di sini titiknya. Kamu pasti yang maling.""Nga-ngapain kamu?""Jangan masuk!" Aku hanya mendengar teriakan mereka. Kaki ini enggan melangkah mendekat meski rasa penasaran memenuhi isi kepala. Aku takut sesuatu yang buruk terja
Baca selengkapnya

25. Tamu Saat Hujan

"Kyaa ... Setan!""Mana setannya, Sal?" "Astagfirullah, Pak Adit! Bikin orang jantungan saja!"Adit... Mas Adit? Aku keluar dari punggung Mas Ridho. Benar saja, setan yang membuatku ketakutan justru suami tetangga sebelah. Dia memakai sarung berwarna putih yang menutupi kepala hingga bagian dadanya. Senter ponsel ia letakkan di bawah mulut. Sudah persis lontong terbang. "Ada perlu apa, Pak? Hujan-hujan justru kemari," tanya Mas Ridho setelah kami duduk di ruang tamu. Mas Adit menunduk, sesekali ia menghela napas yang terasa berat. Dari gelagatnya aku tahu, ia tengah gelisah. Namun apa yang tengah ia pikirkan, aku tidak tahu. "Boleh saya pinjam uang, Pak Ridho. Saya akan ganti jika sudah memiliki pekerjaan. Saya tidak mau Susi masuk penjara," ucapnya setelah beberapa saat terdiam. Aku mengangkat bahu ketika Mas Ridho menatapku. Terserah dia mau meminjamkan atau tidak. Kuberikan semua keputusan padanya. "Butuh berapa, Pak?" tanya Mas Ridho pada akhirnya. Suamiku mana tega ditatap
Baca selengkapnya

26. Susi Syok

Aku sibuk menyiram berbagai tanaman yang ada di halaman. Rutinitas yang selalu membuatku senang. Sedikit menghilangkan penat. Tanaman yang kubeli dari Bu Susi tumbuh dengan subur. Daunnya lebat dengan buah yang mulai terlihat. Kebanyakan tanaman itu adalah buah, bukan bunga. Namun tak apa, justru semakin lengkap berbagai tanaman yang kupunya. Melihat tanaman itu membuatku tertawa sendiri. Teringat wajah Bu Susi saat ditagih bayaran tanaman-tanaman itu. Namun kejadian itu tidak membuatnya jera. Berulang kali ia melakukan hal yang sama. Astaga, wanita itu memang unik dan tidak ada duanya. "Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, saing-saingke... Yo mesti kalah."Aku menoleh ke belakang. Seorang lelaki bernyanyi sambil membawa gitar kecil. Lantunan lagu yang tengah viral ia nyanyikan berulang kali. "Tunggu sebentar, Mas." Aku matikan kran kemudian melangkah menuju rumah untuk mengambil uang receh. Sebenarnya sudah ada tulisan pengamen dilarang masuk, tapi masih saja ada pengamen yang
Baca selengkapnya

27.Ngidam

"Kamu gak sedang membohongiku, kan, Pa?" tanya Bu Susi tak percaya. "Untuk apa aku bohong? Aku bekerja si restoran Pak Ridho. Semua karena kamu. Kalau saja kamu tidak berhutang, tabunganku pasti cukup untuk membuat usaha." Mas Adit menatap Bu Susi tajam, kilau kemarahan tergambar jelas di matanya. "Gak! Aku maunya kamu jadi pemilik restoran bukan jadi babu begini!"Mas Adit menghela napas lalu melangkah pergi. Dia tinggalkan Bu Susi yang terus mengomel tiada henti. "Semua gara-gara kamu, Salma!" Dia menudingku kemudian pergi dengan membawa pisang owol milikku. Aku menggelengkan kepala seraya beristigfar berulang kali. Wanita itu tidak meminta maaf justru pergi setelah memberi ancaman. Tepat pukul sembilan suamiku sampai rumah. Aku beranjak dari ranjang, berjalan perlahan menuju pintu depan. Menyambut kedatangan Mas Ridho sudah menjadi kebiasaan sejak awal menikah hingga sekarang. "Nomor Bunda kok gak bisa dihubungi? Ayah mau tanya pengen apa. Tapi malah gak aktif." Mas Ridho men
Baca selengkapnya

28. Tangis Bu Tini

"Ayo, Yah. Nanti anaknya ngeces lho!" Aku tarik Mas Ridho menuju lantai dua, tempat time zone berada. Time zone dipenuhi remaja dan anak-anak. Ada pula orang tua yang menemani putra putrinya bermain di sini. Tawa terdengar jelas saat aku menginjakkan kaki di tempat ini. Mas Ridho segera membeli koin agar bisa bermain di sini. Berbagai permainan telah kucoba. Kalah tentu, aku baru kali ini masuk di sini. Maklum jika tak bisa bermain seperti orang-orang. Namun. Aku cukup bahagia, permainan ini mampu menghilangkan penat. Penat dengan tingkah tetangga sebelah yang luar biasa. "Capek?" tanya Mas Ridho sambil menatap ke arahku. Dia hapus keringat yang menempel di dahi. "Laper, Yah.""Makan sekalian, yuk! Di food court lantai atas.""Muntah gak, Yah?"Jujur ada rasa takut makan di tempat umum. Apa lagi menu ayam dan lain sebagainya. Takut mual dan muntah. "Dicoba dulu, Bun. Kasihan dedek cuman makan pisang dan jagung." Mas Ridho mengelus perut ini dengan lembut. Seakan berinteraksi deng
Baca selengkapnya

Dikira Selingkuhan

Hidup memang rumit, terkadang niat baik tapi justru disalahartikan. Seperti yang aku alami kemarin. Bahkan Bu Tini semakin memusuhiku. Sebenarnya apa yang salah dengan rasa simpati ini? "Jadi beli hp Bu Salma?" tanya Bu Aini menyentak lamunanku. Seketika wajah Bu Tini berubah menjadi Mas sayur. Wanita yang tadi kuperhatikan telah hilang dari pandangan. Dia pergi, kembali ke rumahnya. "Jadi, Bu. Kemarin.""Halah, pamer!" sindir Bu Susi terdengar jelas di telinga. Aku menghela napas, menghilangkan amarah yang terlanjur bersemayam. Menghadapi orang seperti Bu Susi tak perlu memakai emosi. Kita yang akan lelah sendiri. "Jangan didengarkan, Bu." Bu Aini mengelus lengan ini. Memberi kekuatan di tengah rapuhnya hati. "Halah, gitu aja kok baper. Namanya hidup bertetangga ya gitu, to."Astaga, orang ini benar-benar hobi menambah emosi. Kalau anak kecil sudah kucubit supaya diam. Lha ini sudah tua tapi kelakuan masih seperti anak TK. "Bu Susi dengar-dengar Pak Adit kerja di restoran Bu Sa
Baca selengkapnya

30.Dikira Selingkuhan

Aku menelan ludah dengan susah payah. Sial, ternyata aku salah menduga. Bukan wanita lain yang ada di ruangan Mas Ridho, melainkan Gita, adik Mas Ridho yang kuliah di Bandung. Astaga, hampir saja aku melakukan kesalahan besar. Marah pada adik ipar dan suamiku sendiri. Semua gara-gara omongan Mas Adit. Bukan hanya Bu Susi, ternyata suaminya sama saja. Pantas mereka berjodoh. Awas kamu, Mas Adit! "Bunda, kenapa bengong?"Pertanyaan Mas Ridho menyentakku. Dengan ragu aku melangkah masuk. Entah jawaban apa yang nanti akan kuberikan soal pintu itu. "Kamu sudah lama, Git? Kenapa tidak ke rumah?" Aku memeluk wanita di hadapanku. Kami saling melepas rindu. "Pengen makan gratis dulu, Mbak," ucapnya sambil melirik Mas Ridho. "Dia malak, Bun. Makan semuanya. Heran aku itu perut apa karung?"Gita mengerucutkan bibir, merajuk. Tingkah kedua saudara itu sering kali membuatku tertawa. Aku memilih diam, menjadi penonton adegan pertengkaran yang berujung pelukan. "Sudah berantemnya?" Aku duduk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status