Home / Pernikahan / Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK: Chapter 41 - Chapter 50

57 Chapters

41. Dana Sosial

Seketika semua orang berlari menuju gerbang. Mas Adit dengan cepat membopong Bu Susi yang meringis kesakitan. "Da... Darah." Aku menunjuk cairan merah yang ada di mata kakinya. Mas Adit menatap kaki Bu Susi, wajah lelaki itu semakin tegang."Mama kenapa, Pa?" Tyo menarik ujung koko yang Mas Adit kenakan. Anak itu bingung harus bagaimana. "Tolong!" teriak Mas Adit. Namun warga yang lain seolah diam. Entah ke mana hati nurani mereka. Mungkin kesal dengan tingkah Bu Susi yang selalu memancing emosi. "Adi, tolong antar Pak Adit," ucap Mas Ridho akhirnya. Setelah mendapatkan kunci mobil, asisten Mas Ridho itu segera mengantar Bu Susi ke rumah sakit terdekat. Aku hanya berharap janin dalam perutnya bisa selamat. Hanya itu. Tetangga terdekat mulai meninggalkan rumah kami. Hanya aku dan Mas Ridho yang masih duduk di teras. "Bunda gak capek?" tanya Mas Ridho. Aku menggeleng sambil membenarkan posisi dudukku. Pantat panas dengan pinggang serasa mau patah. Namun rasa khawatir membuatku
Read more

42 Bu Tini Korupsi

"Bu Susi bilang apa tadi? Rp. 200.000,- ?" ucap Bu Rini sambil menatap Bu Aini. Kedua wanita itu saling pandang. "Saya juga dengar seperti itu, Bu." Alisa ikut berkomentar. Kini semua mata tertuju pada satu titik yang sama, Bu Tini. Namun wanita itu tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ibu-Ibu, saya permisi pulang dulu, ya." Bu Tini melangkah pergi. "Tunggu, Bu!" Sebuah tangan menghentikan gerakan tubuh wanita itu. Dengan sedikit kesal Bu Tini membalikkan badan, menatap tajam Alisa. Anak itu selalu berani. "Saya mau pulang, kenapa kamu cekal? Jangan kurang ajar sama orang tua!"Alisa tersenyum datar, melepaskan lengan yang sempat ia genggam. Tak ada raut bersalah. Sikapnya membuat Bu Tini naik darah. Anak itu terlampau berani. Tapi aku suka. "Bukankah dana sosial harusnya Rp. 500.000,- untuk anggota yang masuk rumah sakit. Tapi kenapa cuman Rp 200.000,-?""Dari mana kamu tahu uangnya hanya Rp. 200.000,-?""Tadi suara Bu Susi terdengar jelas. Memangnya Bu Tini gak denger?
Read more

43. Bu Tini Korupsi

"Saya kurang tahu, Bu. Saya, kan bukan pengurus.""Ah, payah kamu ini, Sal. Apa-apa kok gak tahu. Percuma saya ke sini."Jadi kedatangannya kemari untuk mengorek informasi tentang dana sosial itu. Bu Susi... Bu Susi, kapan tingkahnya bisa berubah? "Ini harganya berapa, Sal? Tapi kalau anaknya perempuan gimana?" tanya Bu Susi sambil menyentuh lemari itu. "Gak papa, Bu Susi. Ini hadiah dari Mas Ridho. Bu Susi dapat hadiah apa dari Pak Adit?""Sebentar lagi juga dapat, Sal. Kamu jangan ngiri, ya." "Iya," jawabku sekenanya. "Pulang dulu. Mas Adit pasti nyiapin hadiah istimewa untukku." Wanita itu segera pergi dari rumahku. Lega, tak sia-sia aku memanas-manasi dia. Terbakar juga, kan? Memiliki sikap yang iri hati membuat Bu Susi mudah terbakar emosi. Padahal hanya untuk masalah sepele saja. ***"Bagaimana lemarinya, Bun?" tanya Mas Ridho ketika aku menyambut kedatangannya."Suka, Yah, semoga anaknya lelaki, ya, Yah. Agar sesuai dengan motif lemarinya."Seketika Mas Ridho menepuk jid
Read more

Tyo Bersembunyi

"Eh, Bu Salma belum bayar iuran seragam, ya?" Aku menoleh ke samping, menatap wanita yang berjalan sambil mengelus perutnya itu. Dadaku bergemuruh, marah. Baru semalam Bu RT mengirim pesan tapi kabar itu sudah sampai di telinga Bu Susi, ratu gosip di komplek mawar. "Saya sudah membayar, Bu. Tapi bukan kepada Bu RT. Tapi pada Bu Tini," jawabku."Gak mungkin sudah bayar tapi mendapat pesan dari Bu RT, iya, kan? Ngaku aja kalau belum bayar, Bu. Apa Bu Salma malu karena pemilik restoran belum membayar uang seragam? Mau ngomong begitu saja kok susah to, Bu," ucap Bu Susi kekeh. Dia tak mau mendengarkan penjelasanku. Aku tahu, dia ingin menjatuhkan aku di depan umum. Menjelek-jelekkan namaku agar semua orang membenciku. Entah kenapa dia suka mengibarkan bendera perang padaku. "Saya sudah membayar pada Bu Tini, Bu. Mungkin belum dilaporkan kepada Bu RT," jawabku datar. Aku tahan emosi yang hampir meledak. "Sabar... Sabar," batinku seraya mengelus perut yang sudah semakin membesar ini.
Read more

45. Kinar Menghilang

"Keluar, Tyo. Mama cariin itu.""Gak mau, Tante."Anak itu mengalihkan pandangan, ia ketuk-ketuk meja untuk mengalihkan perhatianku. "Kenapa? Disuruh makan sama Mama itu."Aku terus merayu agar Tyo mau pulang ke rumah. Bukan tak mengizinkan ia bermain di sini. Namun aku tak mau kembali beradu mulut dengan ibunya. Lelah selalu disalahkan dan dianggap musuh besar. Sejujurnya aku ingin hidup tenang dan memiliki tetangga yang baik, saling membantu dan menghargai satu dan lainnya. Bukan justru bersaing dan saling mengejek. Seperti Bu Susi dan Bu Tini. "Aku takut, Tante." Tyo menundukkan kepala sambil memainkan ujung kaos yang ia kenakan. Aku mendekat, menatap lekat wajahnya. "Kenapa? Mama, kan gak galak?""Tyo menendang lemari plastik sampai jebol, Tante.""Lemari Tyo?" tanyaku memastikan. "Bukan, Tante. Lemari buat adik."Pantas saja Bu Susi marah, lemari yang baru saja dibeli sudah dihancurkan. Alamat beli baru lagi. "Tyo!"Suara Bu Susi kembali menggelegar. Terdengar bagai kilata
Read more

46.Kinar Menghilang

"Siapa yang menunggu Bu Tini, Yah?" tanyaku seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja. "Aldo.""Terus anaknya yang kecil siapa yang jaga? Pak Gunawan?""Bu Tini melarang Kinar diasuh Pak Gunawan.""Lha terus Kinar yang rawat siapa?""Bu Tini minta tolong Bunda merawat Kinar. Nanti diantar Bu RT kemari."Aku menghela napas, dengan kesal menjatuhkan bobot di kursi dekat Mas Ridho. Kenapa setiap kali mereka susah, aku yang harus menolongnya. Tapi setelah masalah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya. Menyebalkan. Mas Ridho meletakkan koran, mengambil secangkir kopi lalu meneguknya perlahan. "Kurang manis dikit, Bun," ucapnya sambil meletakkan secangkir kopi itu. "Iya pahit kek hidup Bunda.""Kenapa memang?" Mas Ridho menatapku lekat, sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. "Pahit aja, tetangga yang kena masalah kita yang nolong. Giliran sehat mereka memusuhi kita. Kan nyebelin tu. Mereka pikir kita lembaga sosial apa?" ucapku kesal. Aku tahu sesama manusia wajib tolong me
Read more

Bab 47 Basah

"Kinar!""Kinar!"Aku berteriak memanggil nama anak Bu Tini seraya menoleh ke kanan dan kiri. Namun gadis itu tetap tak kutemukan. Dia bak tenggelam dalam dasar samudra, hilang tanpa jejak. Bagaimana jika anak itu benar-benar hilang? Apa yang akan aku katakan pada Bu Tini. Oh, Tuhan... "Kinar!" Aku berjalan keluar rumah, melangkah menuju rumah Bu Tini, siapa tahu anak itu pulang untuk mengambil bonekanya. Komplek Mawar sepi, tak ada ibu-ibu atau anak-anak yang terlihat di luar. Maklum ini jam kerja dan sekolah. Tak banyak warga yang ada di lingkungan ini. "Kinar!"Aku ketuk pintu sambil memanggil namanya berulang kali. Namun sepi, seperti tak ada tanda kehidupan. Seketika perasaan takut menyelimuti. Jangan sampai anak itu hilang, diculik lalu organnya dijual seperti berita yang tengah viral diperbincangkan. Ya Tuhan... Jangan sampai itu terjadi. "Kinar!"Tenggorokanku terasa kering karena terus berteriak manggil namanya. Tetapi Kinar tak juga menampakkan batang hidungnya. "Mbak
Read more

48.Tamparan

Hari berganti hari, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini usia kandunganku menginjak sembilan bulan. Tinggal menghitung hari malaikat kecilku akan terlahir ke dunia. Dia akan memberi warna dalam kehidupan kami. "Keperluan bayinya kurang apa, Bun?" tanya Mas Ridho saat aku menata pakaian si kecil dalam tas. "Tinggal stroller, Yah."Aku kembali memasukkan dan menata pakaian bayi ke dalam tas. Handuk dan bedong tak lupa kumasukkan. "Kenapa tidak dimasukkan ke lemari, Bun?" Mas Ridho menatapku heran. "Buat persiapan, Yah. Kalau suatu saat kerasa bisa langsung angkut. Ayah tahu sendiri, kan kalau gugup ada saja barang yang tertinggal." Mas Ridho menganggukkan kepala tanda mengerti. Setelah selesai dengan pakaian aku pun merebahkan tubuh di atas ranjang, tepat di samping Mas Ridho. Beberapa kali aku mengubah posisi tubuh karena rasa pegal yang kerap kali mendera. Hamil tua sungguh nikmat luar biasa. Tidur tak enak, lapar mendera, bahkan aku sering terbangun karena hasrat ing
Read more

49.Kontraksi

"Apa-apaan ini, Bu? Kenapa saya ditampar?" Bu Susi melotot, matanya seakan mau copot. "Biar mulutnya tahu sopan santun, gak bicara yang tidak-tidak. Ingat ya, Bu Susi. Setiap kata yang keluar dari mulut itu doa. Ibu pengen ada pelakor di rumah tangga ibu?"Wanita itu diam tapi sorot kebencian tergambar jelas di sana. Terlihat dari kepalan tangan kanannya. Apa dia pikir aku akan takut? Tidak! Aku sudah muak dengan kelakukan wanita bar-bar itu. Lelah selalu mengalah hanya untuk hidup tenang. Namun dia selalu saja mengibarkan bendera perang. "Kamu!" Jari telunjuknya mengarah padaku. "Apa? Bu Susi pikir aku takut... Gak, aku sudah gak takut sama Bu Susi. Kalau Bu Susi terus gangguin kami. Maka aku tidak segan-segan lapor polisi.""Sial!" Wanita itu menghentak-hentakkan kaki pergi dari hadapanku. Pergi dan jangan pernah kembali. ***Aku menggulingkan badan ke kanan dan kiri. Beberapa kali melihat benda bulat yang menempel di dinding. Namun waktu terasa begitu lambat. Ah, tak ada Mas R
Read more

50. Melahirkan

Perawat dengan hati-hati memasang selang infus di tangan kanan. Tak lama brankar yang kutiduri didorong ke ruangan bersalin.Dua orang bidan dengan cekatan membantuku. Aku mengikuti semua instruksi yang mereka berikan. Dalam hati terus berdoa agar Allah memberi kelancaran dalam proses kelahiran meski tanpa suamiku di sini. Owek... Owek.... Sebuah lengkungan tergambar di wajah. Rasa lega ini tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Sakit yang tadi kurasa hilang bersamaan dengan tangis bayi itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dengan sendirinya. Bahagia, hingga aku mengeluarkan air mata. Tangis ini yang bertahun-tahun aku nantikan. Akhirnya Tuhan berikan seorang malaikat kecil dalam kehidupan kami. "Selamat Ibu, bayinya laki-laki," ucap Bidan itu semakin membuatku bahagia. "Bukan cewek ya, Bu?""Bukan, lelaki.""Alhamdulillah," ucapku sambil menjatuhkan air mata. Bahagia bukan karena aku baru saja melahirkan tapi Allah memberikan seorang bayi laki-laki pada kami. Dari awal ha
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status