Martis dan Lancelot akhirnya justru bertaruh. "Nak, ayo kita bertaruh." Lancelot tersenyum. "Baik Ayah. Apa taruhannya?" tanya Lancelot. "Terserah, apapun boleh. Kau yang menentukan." "Kalau begitu baiklah. Jika pilihan Ayah kalah, Ayah harus berjanji padaku." "Berjanji? Apa itu? Selagi aku dapat mengabulkannya, maka boleh saja." Mereka saling berbicara, namun tatapan tetap fokus pada pertandingan yang masih berlangsung. "Tidak sulit, kok. Sangat gampang! Berjanjilah akan memberikanku seorang adik." Lancelot dengan santainya berucap. "Baiklah...," jawab Martis dengan enteng pula. Namun ia baru sadar setelah perkian detik kemudian. "Eh...? Tunggu dulu! Adik...? Apa maksudmu?" Setelah sadar, barulah Martis menoleh ke arah anaknya. Lancelot hanya meringis menatap martis. Lalu Aoi yang mendengar taruhan konyol itu mendengus. "Huft..., dasar para pria." "Tu-tunggu dulu! Lancelot...? A-adik...?" ucap Martis terbata. "Sudahlah, aku anggap kita sudah sepakat. Dan lihatlah,
Baca selengkapnya