Semua Bab Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Bab 281 - Bab 290

525 Bab

S2| 72. Menunggu Operasi

"Louis, kamu dengar itu? Sepertinya Nenek Melanie sedang menangis," bisik Emily seraya melirik ke samping. Balita yang juga bersandar pada dinding pun mengangguk. "Mungkin, Nenek takut Bibi mati. Meskipun dia jahat, dia tetap ibunya." Emily pun menekuk lutut lalu melipat tangannya di atas situ. Sambil menyangga dagu, ia mengerutkan alis. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah ... ini terjadi karena ulah Nenek?" Louis meniru pose sang adik. "Ya, tadi Nenek Susan menyuruh kita cepat-cepat masuk kamar. Pelayan lain juga menghindar dari kita. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh kita ketahui." Emily mengembuskan napas samar. "Mungkin juga, kecelakaan yang dialami Bibi terlalu mengerikan untuk dilihat anak kecil. Tapi, apa pun yang terjadi, aku berharap Bibi cepat pulih." "Eng! Kalau begitu, bagaimana kalau kita berdoa lagi?" Mata sayu Emily terbuka lebih lebar. "Ide bagus, Louis. Kita juga harus mendoakan Philip agar tegar me
Baca selengkapnya

S2| 73. Nenek Penyebabnya

“Kenapa kamu berpikir begitu, Malaikat Kecil? Mama dan Papa tidak menyembunyikan apa pun dari kalian.” Kara menggeleng kaku. “Kalau tidak, mengapa kami dilarang ikut ke rumah sakit? Kami juga tidak diperbolehkan tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Bibir Louis semakin mengerucut. “Ya, Mama dan Nenek Susan hanya mengatakan kalau Bibi mengalami kecelakaan. Tapi kami meragukan hal itu. Mungkinkah karena Nenek Melanie penyebabnya? Mama tidak tega mengatakan kalau salah satu nenek kami adalah orang jahat?” Frank dan Kara tertegun mendengar perkataan Emily. Selang satu kedipan, Kara mendesah tak percaya. “Kenapa kamu menduga begitu, Sayang? Nenek Melanie adalah nenekmu.” “Itu karena tadi Nenek menangis kencang sekali. Kami bahkan bisa mendengarnya dari sini.” “Ya, kalau saja kita punya tetangga, aku yakin mereka pasti akan protes karena Nenek terlalu berisik.”  Sementara Frank terdiam, Kara memaksakan senyuman. “Nenek menangis karena sedi
Baca selengkapnya

S2| 74. Rahasia Gelap Melanie

Merasakan kehadiran seseorang, pelupuk Melanie bergetar. Saat mendapati keberadaan sang putra, ia terkesiap. “Frank ....” Tanpa terduga, Melanie merangkak lalu berhenti tepat di hadapan sang putra. Tangannya tak segan memegangi lutut Frank. “Di mana Barbara? Bagaimana keadaannya sekarang?” Frank bergeming memperhatikan wajah sang ibu. Kernyitan di dahinya tampak jujur. “Dia masih di rumah sakit, baru selesai menjalani operasi.” Melanie mendesah cepat. Ia bergeser lebih dekat. “Bagaimana keadaannya? Dia sudah sadar?” Raut Frank tetap datar. “Operasinya berjalan lancar. Tapi dia akan kesulitan menggerakkan lengan kanannya untuk sementara.” Melanie menurunkan pandangan. Matanya berkedip-kedip dan mulutnya membulat. Belum sempat ia mengucapkan syukur, Frank menyela, “Kenapa? Mama kecewa karena serangan Mama gagal membunuh seseorang?” Melanie kembali tercengang. Getaran pada bola matanya mulai kentara. “Apa maksudmu, Frank? Kau kira Mama tega membunuh putri Mama sendiri?” Frank bung
Baca selengkapnya

S2| 75. Keputusan Frank

“Jawab, Ma. Apakah karena emas itu adalah bayarannya? Mama rela menukar putra Mama dengan warisan yang entah kapan bisa Mama terima?” desak Frank, dengan napas yang mulai bergemuruh. “Mama melakukan itu demi kebaikanmu, Frank.” Frank menggeleng. “Mama melakukan itu demi kebahagiaan Mama. Mama tidak sanggup hidup dalam tekanan Kakek dan bayang-bayang Papa. Mama takut dihantui oleh penyesalan dan rasa bersalah.” Tiba-tiba, Melanie menutup kedua kupingnya. “Cukup, Frank.” Namun, Frank belum mau berhenti. “Dan setelah semua itu, Mama belum belajar juga? Mama masih saja egois. Mama tidak pernah memikirkan orang lain. Mama rela mengorbankan keluarga demi kepentingan Mama sendiri. Dan karena terbawa emosi, Mama bahkan melukai putri Mama sendiri.” “Tidak, Frank. Mama tidak sengaja. Barbara terluka karena kecelakaan.” “Mama pikir aku menerima Mama di rumah ini karena tidak tahu?” Sambil mengeratkan bibir, Frank menggeleng. “Justru akulah yang paling tahu. Mama adalah ancaman dan bahaya b
Baca selengkapnya

S2| 76. Aku Takut

"Sekarang,” Philip menelusuri anak rambut Barbara dengan jemarinya, “tunggulah sebentar. Aku harus mengabari perawat kalau kau sudah sadar." Philip menegakkan badan, hendak menekan tombol intercom. Namun, belum sempat ia bergeser, Barbara menggenggam tangannya erat. "Tolong ... jangan pergi. Aku takut." Philip bergeming melihat sorot mata yang tak berdaya itu. Sebagian hatinya pedih, sebagian lagi luluh. "Aku tidak akan ke mana-mana. Hanya perlu menekan tombol itu." Namun, Barbara menggeleng samar. "Aku takut. Jangan tinggalkan aku." Tangannya mulai gemetar. Philip tersenyum sendu. Sambil membungkuk, ia membelai rambut gadis itu. "Baiklah, aku tidak akan ke mana-mana." "Jangan melepas tanganku." Philip mengerutkan bibir. Tatapan Barbara telah menawan pikirannya. "Kamu begitu penakut. Tapi kenapa kamu berani menghentikan ibumu?" Kedipan mata Barbara melambat. Kerutan alisnya sedikit terurai. "Aku tidak mau ibuku menyakitimu." Philip mengembuskan napas samar. "Kau seharu
Baca selengkapnya

S2| 77. Di Mana Mama?

Sementara yang lain mengulum senyum, Philip mendesah malu. "Barbara sempat terbangun tadi. Dia ketakutan dan memintaku untuk terus memegang tangannya." Bibir Emily kembali maju. Lengkung alisnya turun. "Kasihan Bibi. Dia pasti tidak mau ditinggal sendiri." Tiba-tiba, Emily menyandarkan pipi gembulnya ke badan Philip. Tangannya menepuk-nepuk perut sang asisten. "Terima kasih sudah menemani Bibi, Philip." Louis tidak mau ketinggalan. "Ya, terima kasih sudah memperhatikan Bibi. Aku yakin, Bibi pasti sangat senang memiliki teman sepertimu." Philip tersenyum kecut. Penolakan halus dari Barbara masih tergambar jelas dalam benaknya. "Sama sekali bukan masalah, Tuan dan Nona Kecil." Ia menepuk-nepuk punggung mereka dengan sebelah tangan. Si Kembar tidak boleh mengetahui keresahannya. Tiba-tiba, Philip merasakan pergerakan tangan Barbara. Saat menoleh, Barbara mulai membuka mata. "Bibi kalian sudah bangun." "Benarkah?" Sementara Louis dan Emily berjinjit, Frank dan Kara menghampiri dar
Baca selengkapnya

S2| 78. Aku Tidak Menolakmu

"Itu karena Papa dan Mama adalah pasangan suami istri. Kami sudah menikah. Nanti kalian akan mengerti setelah beranjak dewasa," jelas Frank lembut. Bibir Louis mengerucut. Tangannya terlipat di depan dada. "Kupikir Mama tidak malu karena Papa menutup mata. Kehidupan orang dewasa memang membingungkan." "Ya," angguk Emily lucu, "terlalu banyak aturan. Tapi kalau Bibi lebih nyaman bersama Nora, apa boleh buat?" Frank tersenyum simpul. "Baiklah, nanti Papa akan meminta Nora datang menggantikan Philip. Mungkin setelah jam makan siang. Philip kamu tidak keberatan, kan?" Pria itu mengerjap. "Saya? Tentu saja tidak, Tuan." Philip berusaha terdengar biasa. Namun, semua orang tahu ia sedang membendung kekecewaan. Barbara diam-diam merasa tidak enak hati. Namun, itulah satu-satunya cara agar dirinya punya waktu menjauh dari Philip. Ia perlu menetralkan perasaan demi menjernihkan pikiran. Sayangnya, Barbara salah. Sejak Frank sekeluarga pergi dan ia selesai menjalani pemeriksaan ulang, Ph
Baca selengkapnya

S2| 79. Kalian Berpacaran?

Barbara termenung. Sebagian hatinya ditumbuhi bunga, sebagian lagi dipenuhi semak. Sayang, logikanya memilih bagian yang semrawut."Kau masih memainkan kebohongan itu?" Philip tersentak. "Kau tidak percaya kalau aku jujur?" "Karena itu mustahil. Apa yang membuatmu terpikat padaku? Apakah rasa iba?" Philip menggeleng. "Ke mana perginya Barbara yang percaya diri?" "Coba sebutkan," tantang Barbara lirih. "Apa alasan logis untukmu tertarik padaku?" Philip terdiam, memberi kesempatan Barbara untuk lanjut meluapkan kegundahan. "Tidak ada, Philip. Keadaan sudah berubah. Aku bukan lagi Barbara yang dulu, yang selalu percaya diri dan tidak peduli pada apa pun. Aku sekarang tidak lebih dari gadis pengecut yang rapuh." "Justru karena kau begitu rapuh, aku terpanggil untuk menjagamu. Dan karena kau pengecut, aku punya lebih banyak kesempatan untuk melindungimu." Sebelum Barbara menggeleng, Philip menangkup wajahnya. "Selama ini, aku dilatih untuk tidak punya rasa takut. Aku selalu berpa
Baca selengkapnya

S2| 80. Interogasi Calon Mertua

"Papa," panggil Barbara lemah. "Kumohon, berhentilah menyudutkan Philip. Apakah Papa datang ke sini hanya untuk memarahinya?" Paul melunak. "Tidak, Sayang. Tadi pagi, Frank menelepon Papa. Dia menceritakan semuanya. Papa datang ke sini karena cemas. Bagaimana kondisimu sekarang?" Kerut alis Barbara kini ditemani senyum. "Jauh lebih baik. Berkat Philip." Paul melirik ke samping. Ekspresinya kembali sinis. "Dia bukan dokter. Kenapa kau malah membaik karenanya?" "Aku bisa selamat karena pertolongan dari Philip. Dialah yang membawaku ke rumah sakit, menungguku operasi, dan merawatku semalaman. Aku belum tentu bertahan kalau tidak ada dia." Paul mengembuskan napas panjang, tetapi sorot matanya masih sama. "Bukankah kau penyebab putriku terluka? Kalau bukan karenamu, Melanie tidak mungkin membawa pisau." Bibir Philip menciut. Dua tangannya merapat sopan di depan perut. "Maaf, Tuan. Saya sadar saya kurang tegas semalam. Kalau saja saya langsung merebut pisau dari istri Anda, Barbara
Baca selengkapnya

S2| 81. Philip Bukan Orang Miskin

"Papa, terima kasih telah menerima Philip," desah Barbara, penuh haru. Paul tersenyum kecil. Dengan hati-hati, ia memeluk putrinya. "Apa pun akan Papa lakukan demi kebahagiaanmu, Sayang." Sembari terpejam, Barbara meresapi kehangatan. Dalam hati, ia bersyukur ayahnya berbeda dengan sang ibu. "Maaf aku sudah membuat Papa khawatir," bisiknya.  "Ini bukan salahmu, Sayang. Mama-mu yang keterlaluan. Pantas saja Frank mengirimnya ke pusat rehabilitasi. Dia memang butuh penyembuhan mental." Senyum Barbara seketika lenyap. Bola matanya bergetar menanti penjelasan. "Pusat rehabilitasi?" Sementara Philip mendesah berat, Paul mematung. Ia baru sadar dirinya telah membongkar rahasia.  "Kakakmu belum menceritakannya?" Sambil menautkan alis, Paul membelai rambut putrinya. "Mungkin Frank tidak mau membuatmu terbebani. Dia terpaksa mengirim Mama ke sana. Tindakan Mama sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dia bisa saja mence
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2728293031
...
53
DMCA.com Protection Status