Semua Bab Maduku Putri Konglomerat: Bab 31 - Bab 40

82 Bab

Ibu Pingsan

"Kamu ... kamu wanita yang jahat! Teganya kamu membuat Linda masuk rumah sakit!" tuduh Mas Hilman padaku sembari mengacungkan jari telunjuknya padaku.Aku mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan tuduhan Mas Hilman. Memangnya aku kenapa? Apa yang aku lakukan pada Linda? Bukankah dia sendiri yang telah datang ke rumahku terlebih dahulu? Lalu kenapa aku yang disalahkan?"Tutup mulutmu, Man! Jika kamu tidak tahu yang sebenarnya terjadi, jangan menuduh yang bukan-bukan!" sentak ibu pada Mas Hilman.Mas Hilman menatap ibu tajam, wajahnya pun merah padam dengan napas yang memburu. Dia terlihat sangat marah."Jangan ikut campur, Bu. Ini urusanku dengan Inara, wanita yang telah membunuh anakku!" teriak Mas Hilman membuatku tersentak.Aku? Membunuh anaknya? Kapan aku melakukannya? Bagaimana bisa Mas Hilman menuduhku melakukan hal keji seperti itu. Bahkan untuk membunuh hewan pun aku tidak tega, lalu bagaimana aku bisa membunuh bayinya? Tuduhan Mas Hilman sangat tidak masuk akal sekali."Apa
Baca selengkapnya

Mbak Nuri

"Tenanglah, Ra. Ibumu pasti akan baik-baik saja," ucap Pak Alif sembari mengusap punggungku tampak mencoba menenangkanku.Aku masih menangis sesenggukan sembari menggenggam tangan ibu yang telah berbaring di ranjang rumah sakit dengan mata tertutup. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, sejak dokter mengatakan bahwa ibu telah mengalami serangan jantung. Keadaan beliau sudah stabil, ibu sudah melewati masa kritisnya. Untung saja ibu cepat dibawa ke rumah sakit, jadi nyawanya bisa tertolong.Aku dan Pak Alif sedang berada di dalam ruang rawat ibu, sementara Mas Hilman sudah pergi entah kemana sejak tadi siang. Mungkin dia juga sedang mengurusi istrinya. Ah, aku sudah tidak mau tahu lagi urusan Mas Hilman. Dia bukan lagi seseorang yang perlu aku pedulikan.Sekarang yang terpenting adalah kesehatan ibu, aku sangat berharap untuk kesembuhan ibu. Aku ingin melihat kedua mata ibu terbuka kembali."Aku keluar sebentar, Ra," pamit Pak Alif.Aku hanya menganggukkan kepala menanggapi Pak Alif.
Baca selengkapnya

Melawan

"Aku sudah mengurus perceraianmu, Ra."Aku tersentak, lalu menolehkan kepala ke arah Pak Alif. Aku menatap Pak Alif dengan pandangan penuh tanya. Lalu sedetik kemudian Pak Alif membalas tatapanku. Sesaat pandangan kami pun bertemu."Iya, aku sudah langsung mengurus percerainmu dengan Hilman kemarin. Mungkin kurang lebih satu bulan lagi akan diadakan sidang pertama untuk perceraianmu," ucap Pak Alif lagi.Aku mengalihkan pandanganku setelah mendengar ucapan Pak Alif. Lalu aku menerawang menatap koridor rumah sakit dengan pandangan kosong.Kami sedang berada di depan ruang rawat ibu. Sejak ibu dirawat, Pak Alif selalu datang setelah restoran tutup. Dan sejak itu pula aku juga belum masuk kerja sama sekali. Mbak Nuri kemarin sudah pulang, dia sedang rindu dengan putra semata wayangnya yang dia tinggalkan di rumah. Sedangkan Mas Hilman hanya sesekali menjenguk ibu, bahkan tidak setiap hari. Aku selalu menghindar saat dia datang. Rasanya aku sudah tidak mau melihat wajahnya lagi.Hatiku te
Baca selengkapnya

Karma

Aku mengacak rambutku kasar ketika teringat tingkahku tadi malam. Bisa-bisanya aku memegang tangan Pak Alif tanpa sadar. Wajahku seketika memerah, menahan malu saat menyadari telah memegang tangan Pak Alif."Bodoh kamu, Ra. Bagaimana kamu bisa melakukannya? Mau ditaruh di mana mukamu jika bertemu dengan Pak Alif nanti?" Aku berguman sendiri, merasa telah bertindak bodoh.Gara-gara Mas Hilman aku sampai tidak sadar telah memegang tangan Pak Alif. Aku kembali mengacak rambutku frustasi."Kamu kenapa, Ra?" tanya Mbak Nuri sembari memegang pundakku.Aku menoleh, menatap kakak iparku itu dengan malu. Lalu berkata, "tidak kenapa-napa, Mbak."Mbak Nuri sudah tiba sedari subuh, kali ini dia datang bersama dengan suami dan juga putranya. Kata Mbak Nuri, suaminya sedang mengambil cuti untuk menemaninya merawat ibu. Aku pun tentu senang dengan kehadiran Mbak Nuri sekeluarga di sini."Kamu tidak berniat untuk kembali bekerja, Ra?" tanya Mbak Nuri sembari duduk di sampingku.Aku terdiam mendengar
Baca selengkapnya

Tidak Tahu Diri

"Jangan menuduhku sembarangan, Mas! Aku tidak tahu menahu tentang pengusiran yang dilakukan oleh Pak Alif pada keluargamu. Dan aku juga tidak mau tahu apapun tentang kalian. Jadi buat apa aku menyuruh Pak Alif untuk mengusir kalian?" Aku menatap tajam Mas Hilman, pagi-pagi dia sudah membuatku naik darah. Aku menghembuskan napas berat, merasa bosan dengan setiap tuduhan yang diberikan oleh Mas Hilman. Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Kenapa aku tidak bisa menjalani hidupku dengan tenang? Selalu saja Mas Hilman mengusikku."Sudahlah, Mas. Pergilah dari sini, aku butuh bekerja untuk menyambung hidupku. Temanku sudah menungguku. Lebih baik kamu renungkan apa yang terjadi padamu, Mas. Jangan hanya menyalahkanku terus menerus," ucapku dengan nada datar, aku merasa sudah lelah menghadapi Mas Hilman."Baiklah, aku akan pergi jika kamu mengabulkan keinginanku," ucap Mas Hilman.Aku mengernyitkan kening, merasa heran dengan Mas Hilman. Apa lagi yang dia harapkan dari wanita yang akan m
Baca selengkapnya

Ibu Sadar

Aku menatap dalam Mila yang masih lahap menyantap makan siangnya. Dari tadi aku terus bertanya-tanya dalam hati tentang Mila. Dia tidak bertanya tentang siapa Mas Hilman, bahkan sejak awal-awal dia mengenalku, dia tidak banyak bertanya tentangku."Apa tidak ada yang ingin kamu tanyakan padaku, Mil?" tanyaku mencoba memancing Mila.Mila menghentikan suapannya, lalu dia menatapku dengan kening berkerut."Memang apa yang perlu kutanyakan, Ra?" tanya Mila malah tidak menjawab pertanyaanku.Aku menghela napas panjang, merasa bodoh sudah bertanya pada Mila. Ah, sudahlah. Aku juga tidak perlu menjelaskan apapun pada Mila, jika dia tidak ingin bertanya."Nggak, Mil. Kamu teruskan saja makanmu. Kelihatannya kamu sangat lapar sekali," sahutku sembari mengalihkan pandanganku dari Mila.Netraku tak sengaja melihat sosok Pak Alif, aku ingin sekali bicara padanya tentang kedatangan Mas Hilman tadi pagi. Tapi, saat aku akan bangkit dan menghampirinya, dia sudah pergi. Aku menekuk wajahku ketika Pak
Baca selengkapnya

Mempermainkan

Aku berjalan dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Andai saja di rumah sakit boleh berlarian, tentu aku akan langsung berlari ke kamar rawat ibu. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan ibu. Hatiku sejak tadi sudah berdebar-debar.Aku menghela napas lega, ruang rawat ibu sudah terlihat dari pandanganku. Aku pun semakin mempercepat langkahku. Aku mengatur napasku ketika sudah sampai di depan pintu ruang rawat ibu.Lalu, aku pun langsung membuka pintu tersebut, kulihat Mbak Nuri sedang duduk di samping ranjang ibu sembari memainkan ponselnya. Aku pun segera masuk dan berjalan mendekati Mbak Nuri.Netraku berkaca-kaca melihat ibu sedang berbaring dengan mata tertutup, lalu aku pun menepuk pundak Mbak Nuri. Dia langsung menoleh ke arahku."Ibu baru beristirahat setelah meminum obatnya, Ra," ucap Mbak Nuri padaku."Iya, Mbak," sahutku mengerti jika ibu harus banyak-banyak beristirahat untuk pemulihan kondisinya."Kamu baru pulang, Ra?" tanya Mbak Nuri pelan, takut jika ibu akan terbangu
Baca selengkapnya

Ungkapan Perasaan

"Jawab aku! Jawab aku kenapa kalian bisa mempermainkan aku seperti ini?"Aku menatap nyalang Mbak Nuri dan Pak Alif dengan rahang yang mengeras. Tanganku pun mengepal erat.Mbak Nuri terlihat melangkah maju hendak mendekat ke arahku, "Kami bisa jelaskan semuanya, Ra," ucap Mbak Nuri dengan tangan terulur hendak meraih lenganku.Aku pun menghindar sehingga tangan Mbak Nuri hanya menangkap udara saja. Aku benar-benar merasa marah pada mereka, hingga rasanya aku tidak mau mendengar apapun dari mereka. Tapi aku juga ingin tahu, apa alasan mereka mempermainkanku seperti ini."Apa lagi alasannya Mbak?" tanyaku pada Mbak Nuri yang terlihat terkejut saat aku menghindar darinya."Ibu yang menginginkan semua ini, Ra. Ibu ingin melihatmu bahagia dengan menikahi Alif," sahut Mbak Nuri.Aku melebarkan mataku mendengar ucapan Mbak Nuri. Aku tidak percaya jika ibu menginginkan aku bahagia dengan menikahi Pak Alif. Memangnya standart kebahagiaan adalah pernikahan?Apa mereka tidak melihat pernikahank
Baca selengkapnya

Mimpi

"Maafkan ibu, Ra. Kamu jangan marah pada ibu ya, Ra," ucap ibu sembari mengelus kepalaku dengan lembut.Aku sedang berbaring, dengan kepala berada di pangkuan ibu. Kami sedang berada di sebuah bangku taman yang indah. Aku menatap wajah ibu yang terlihat bercahaya. Keriput di wajah ibu tampak menghilang. Aku mengernyitkan kening melihat ibu sangat cantik sekali. Aku jadi ingin berlama-lama memandangi wajah ibu."Memang aku marah kenapa, Bu? Tidak ada alasan untukku marah pada Ibu," sahutku.Aku tidak mungkin bisa marah pada ibu, walau bagaimanapun ibu membuatku kecewa, tapi aku tidak pernah marah pada beliau. Ibu adalah satu-satunya orang yang sangat aku sayangi di dunia ini. Mengingat aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi, dan hanya beliaulah yang ada untukku, yang selalu mendukungku saat Mas Hilman memilih pergi dariku. Ibu juga lebih memilih aku daripada putra kandungnya sendiri. Jadi aku tidak akan pernah bisa marah pada ibu. Kasih sayangnya padaku melebihi kasih sayang seorang
Baca selengkapnya

Ibu Meninggal

"Bagaimana keadaan ibu, Mbak?" tanyaku begitu sampai di samping Mbak Nuri.Kebetulan Mbak Nuri sedang ada di depan ruang rawat ibu saat aku datang. Dia sedang duduk sembari terlihat termenung, sesekali dia juga terlihat mengusap air matanya.Mbak Nuri menoleh ke arahku, lalu kemudian dia mengalihkan lagi pandangannya dariku. Dia menatap kosong dinding rumah sakit. Raut wajahnya terlihat sangat sendu."Ibu sedang diperiksa oleh dokter, Ra. Keadaan ibu menurun lagi," jawabnya terdengar getir."Semoga ibu tidak kenapa-napa, Mbak. Beliau pasti pulih kembali," ucapku berharap ibu bisa segera membaik lagi.Aku meraih tangan Mbak Nuri, lalu mengenggamnya lembut. Aku mencoba untuk menguatkan Mbak Nuri, padahal hatiku sejak tadi sudah gelisah. Mimpi semalam masih terbayang-bayang di pikiranku. Aku takut jika mimpi itu adalah pertanda yang buruk. Aku takut jika ibu akan benar-benar meninggalkanku.Mbak Nuri kembali menolehkan kepalanya ke arahku, dia menatapku dalam. Dapat kulihat jejak-jejak a
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status