Home / Pernikahan / Maduku Putri Konglomerat / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Maduku Putri Konglomerat: Chapter 41 - Chapter 50

82 Chapters

Ajakan Menikah

Aku menatap kosong ke arah tubuh yang terbujur kaku di depanku. Air mataku pun terus berlelehan tanpa bisa aku hentikan. Hatiku teramat sedih melihat jenazah ibu terbaring dengan berselimutkan kain. Ibu pun juga sudah dipakaikan kain kafan, kini hanya tinggal disholatkan saja.Mbak Nuri meminta jenazah ibu dibawa pulang ke rumah kami yang lama. Karena memang di situlah ibu tinggal semasa hidupnya. Aku pun setuju dengan Mbak Nuri.Sejak jenazah ibu dibawa pulang, aku tidak pernah pergi dari sisinya. Aku pun juga ikut dalam memandikan jenazah ibu, sebagai baktiku yang terakhir padanya. Setelah ini aku sudah tidak bisa lagi berada di sisi ibu. Hatiku sangat berat mengikhlaskan kepergian ibu yang tiba-tiba.Andai saja aku tidak membawa ibu pergi bersamaku, tentu sekarang ibu masih hidup. Tapi siapa yang akan tahu masa depan seseorang. Jika Yang Kuasa sudah menentukan takdir seseorang, tentu tidak akan ada yang bisa menolaknya. Begitu pun dengan kepergian ibu, tidak akan ada yang bisa menc
Read more

Kedatangan Keluarga Mas Hilman

Pak Alif menatapku lekat dan tanpa kata, sepertinya dia masih terkejut dengan ajakanku menikah yang tiba-tiba. Aku harus meyakinkan Pak Alif jika aku serius dengan apa yang aku katakan padanya."Jangan. Jangan kamu putuskan sesuatu di saat hatimu sedang tidak baik-baik saja, Ra. Kumohon jangan membuat keputusan yang akan kamu sesali nantinya. Dan aku tidak mau kamu menyesalinya, Ra." Pak Alif membuka suaranya.Aku pun menatap Pak Alif dengan pandangan penuh tanya tentang maksud dari perkataannya."Jadi Pak Alif menolakku?" tanyaku."Bu-kan. Bukan maksudku seperti itu, Ra. Aku tidak bermaksud untuk menolakmu. Jujur, aku sangat bahagia jika kamu mau menikah denganku. Tapi aku tidak mau kamu terpaksa menikah denganku. Lebih baik kamu pikirkan lagi di saat hatimu sudah membaik, Ra," sahutnya."Iya, Ra. Kita bicarakan ini semua nanti. Sekarang kita pulang saja terlebih dahulu," imbuh Mbak Nuri sembari memegang tanganku.Aku mengalihkan pandangan dari Mbak Nuri, kemudian aku berkata, "tidak
Read more

Ranjangku

"Sepertinya kamu tidak sabar untuk mencari penggantiku, Ra." Mas Hilman melangkah semakin dekat dengan tempatku berada.Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Mas Hilman yang menghujam hatiku. Bukankah dia tidak berhak berkata seperti itu padaku? Mas Hilman sudah tidak punya hak untuk mengaturku."Ada apa kamu kemari, Mas?" tanyaku sembari menatap tajam Mas Hilman."Apa maksudmu, Ra? Memangnya aku tidak boleh kemari? Ini rumah ibuku, Ra. Jadi tidak ada yang berhak untuk melarangku kemari. Tidak kamu ataupun Mbak Nuri."Aku tersentak mendengar perkataan Mas Hilman. Dia memang masih berhak untuk datang kemari kapan pun. Tapi kenapa dia harus membawa Linda kemari?"Kamu—.""Memang tidak ada yang melarangmu kemari, Man. Tapi aku juga berhak atas rumah ini. Aku putri ibu, bagaimana pun aku juga berhak menentukan siapa yang boleh ada di sini." Suara Mbak Nuri tiba-tiba terdengar memotong ucapanku.Aku pun langsung menolehkan kepalaku ke arahnya. Mbak Nuri datang dari arah ruang depan semba
Read more

Ternyata Sama

"Sidang perceraianmu akan digelar sebentar lagi, Ra. Tapi kamu tidak perlu datang," ucap Pak Alif melalui sambungan ponsel.Pak Alif menelpon karena dia mengabari bahwa dia tidak bisa datang kemari untuk sementara waktu. Tadi pagi Pak Alif ditelpon oleh asisten rumah tangganya, yang mengabarkan bahwa ayah Pak Alif sedang mencarinya. Ada keperluan mendesak yang harus Pak Alif lakukan."Iya, Pak," sahutku.Lalu kami sama-sama diam, aku bingung mau berkata apa lagi pada Pak Alif. Sedang Pak Alif, juga tidak menanggapi sahutanku tadi. Entah apa yang sekarang sedang Pak Alif pikirkan, aku tidak tahu."Hmm ... Ra," panggil Pak Alif setelah lebih dari sepuluh menit kami sama-sama tak bersuara."Ada apa, Pak?" tanyaku padanya."Apa kamu tidak apa-apa?" Pak Alif malah balik bertanya padaku tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu."Apa maksudnya, Pak?"Terdengar suara Pak Alif menghela napasnya panjang, dapat kupastikan bahwa dia tampak ragu untuk menjelaskan padaku tentang maksud dari pert
Read more

Bukan Babu

"Biar Ryan aku yang gendong, Mbak," ucapku pada Mbak Nuri yang terlihat kepayahan karena menggendong putra semata wayangnya itu. Memang badan Ryan berbeda dari balita seusianya, dia terlihat lebih besar dari usianya.Kami sedang berjalan di tengah pasar, sudah hampir setengah jam, kami sibuk berbelanja untuk keperluan konsumsi pengajian nanti.Aku sedang menenteng satu tas besar yang berisi penuh dengan belanjaan kami. Sementara Mbak Nuri sedang menggendong putranya itu."Baiklah, Ra. Biar aku yang membawa tas belanjaannya," sahut Mbak Nuri sembari menyerahkan Ryan padaku.Aku langsung menurunkan belanjaan, lalu meraih Ryan dari tangan Mbak Nuri. Setelah Ryan berada di dalam gendonganku, Mbak Nuri mengambil tas dan menentengnya."Ayo kita pulang," ucap Mbak Nuri.Aku pun mengangguk, lalu kami berjalan bersama keluar dari pasar. Setelah keluar dari pasar, kami pulang ke rumah dengan menaiki becak motor yang sering mangkal di depan pasar.Selang lima belas menit perjalanan kami pun tela
Read more

Teriakan

"Jangan ladeni mereka, Ra. Biarkan saja mereka mengurus diri mereka sendiri."Kata-kata Mbak Nuri terngiang-ngiang di pikiranku. Mbak Nuri terlihat sangat tidak suka dengan keluarga baru Mas Hilman. Jujur, aku pun juga kurang suka pada mereka. Apa lagi aku sangat tahu, seperti apa ibu mertua Mas Hilman sekarang.Aku sedang duduk di teras rumah, menikmati semilir angin di malam yang cerah. Berada di dalam rumah terus membuatku seakan sesak, tidak bisa bernapas dengan lancar. Di mana-mana, aku selalu melihat kemesraan Mas Hilman dan Linda. Aku sangat muak sekali.Aku harus bersabar sampai tujuh hari meninggalnya ibu berlalu. Kurang dua hari lagi, aku bisa keluar dari rumah ini. Dan aku harus menahan diri melihat kemesraan mereka selama dua hari itu.Aku menarik napas panjang, lalu aku menghembuskannya perlahan. Aku melakukannya sekali lagi, sampai hatiku terasa sedikit tenang.Aku kembali termenung mengingat ucapan Pak Alif tadi pagi. Katanya, sidang perceraianku akan digelar. Rasanya p
Read more

Pertengkaran

"Hei ... dasar kamu wanita gatal! Kamu pasti mencoba merayu Mas Hilman agar kembali bersamamu lagi 'kan?" hardik Linda.Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika Linda menghadangku. Aku bangun lebih awal hari ini, karena tidak mau keduluan orang-orang menggunakan kamar mandi, atau bahkan aku harus menunggu orang yang sedang bermesraan di dalam kamar mandi.Memang di rumah kami hanya ada satu kamar mandi saja. Jadi wajar kalau kami harus menggunakannya dengan bergantian.Aku hanya menatap Linda jengah. Dia menuduhku tanpa bukti yang jelas. Memangnya siapa yang menggoda suaminya? Berdekatan dengannya pun aku tidak sudi, lalu buat apa aku menggoda Mas Hilman? Aneh.Aku pun juga malas berhadapan dengan Linda. Pikirannya selalu buruk padaku. Padahal aku tidak berbuat apa-apa, tapi aku selalu mendapat tuduhan yang keji."Kenapa diam saja? Kamu pasti sudah merencanakan untuk merebut kembali Mas Hilman dariku 'kan?" sentak Linda."Benar! Kamu pasti sengaja menggoda Hilman." Suara ibu Linda
Read more

Kedatangan Mila

"Ya Allah, aku kangen sekali denganmu, Ra," ucap Mila sembari memelukku.Aku pun membalas pelukan dari Mila dengan erat. Berada di pelukan Mila membuatku seketika ingin menangis. Sudah lama aku menahan air mataku, semenjak kepergian ibu. Tidak ada tempat untukku menumpahkan segala kesedihan dalam hatiku.Memang ada Mbak Nuri yang akan siap mendengarkan keluh kesahku, tapi aku tidak tega membebaninya dengan kesedihanku sementara dia juga pasti sangat sedih dengan kepergian ibu. Mana mungkin aku berani menambah beban untuk Mbak Nuri.Air mataku perlahan luruh dan makin lama makin deras, mengalir membasahi bahu Mila. Isak tangisku pun mulai keluar dari bibirku. Aku sudah tidak bisa memgendalikan diriku lagi. Air mataku benar-benar tumpah kali ini."Yang sabar, Ra." Mila mengelus punggungku lembut, dia tampak mencoba untuk menenangkanku.Di depan semua orang aku berlagak kuat, tidak menangis setelah acara pemakaman ibu, tapi sejujurnya aku menyimpan semua kesedihanku yang mendalam.Aku m
Read more

Jangan Menikah

Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang tidak jauh dari rumah ibu. Aku sedang dalam perjalanan mengambil kue pesanan Mbak Nuri yang akan dipakai untuk acara nanti malam.Biasanya kue pesanan Mbak Nuri selalu diantar oleh Mbak Kinanti, tapi hari ini dia sedang banyak orderan. Jadi aku yang akan mengambilnya hari ini.Sementara Mila sedang beristirahat. Aku tidak berani membangunkan tidur nyenyaknya. Dia pasti sangat capek hingga tidak sadar jika aku telah meninggalkannya sendirian di kamar.Aku berjalan sembari bermain ponsel, berbalas pesan dengan Pak Alif. Katanya, dia akan datang besok. Sekalian menjemputku untuk kembali ke rumah yang aku tempati sebelumnya. Tidak mungkin 'kan jika aku berlama-lama tinggal satu atap dengan Mas Hilman dan keluarganya. Bisa-bisa tekanan darahku meninggi terus menerus.Sudut bibirku terangkat kala membaca pesan Pak Alif yang lucu. Pak Alif ternyata bisa melucu juga. Padahal, raut wajah Pak Alif selalu terlihat serius dan terkesan dingin.Sebuah tanga
Read more

Kembali

"Sudah selesai bersiap, Ra?" Mila menepuk pundakku, aku tersentak, tersadar dari lamunanku.Aku sedang mengemasi barang-barangku tadi, begitu selesai, anganku menerawang mengingat momen-momen kebersamaanku dengan ibu. Lalu tiba-tiba Mila sudah datang saja."Bukannya jawab malah ngelamun lagi, Ra. Ngelamunin apa sih?" tanya Mila lagi.Aku tersenyum tipis, "Maaf, Mil. Aku sedang teringat kenanganku bersama dengan ibu.""Sabar ya, Ra. Do'akan saja agar ibumu tenang di alam sana," sahut Mila.Aku pun mengangguk menanggapi ucapan Mila. Lalu, aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar ibu, mencoba merekam suasana kamar yang akan sangat aku rindukan. Mungkin, setelah ini aku tidak akan pernah datang lagi kemari. Perceraianku dengan Mas Hilman pasti akan segera selesai, dan kami benar-benar akan menjadi orang asing yang tidak memiliki ikatan apapun."Ra ... ayo kita pergi. Pak Alif sudah menunggu kita dari tadi."Aku menoleh ke arah Mila. Benar apa kata Mila, kami harus segera pergi. Aca
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status