"Maafkan ibu, Ra. Kamu jangan marah pada ibu ya, Ra," ucap ibu sembari mengelus kepalaku dengan lembut.Aku sedang berbaring, dengan kepala berada di pangkuan ibu. Kami sedang berada di sebuah bangku taman yang indah. Aku menatap wajah ibu yang terlihat bercahaya. Keriput di wajah ibu tampak menghilang. Aku mengernyitkan kening melihat ibu sangat cantik sekali. Aku jadi ingin berlama-lama memandangi wajah ibu."Memang aku marah kenapa, Bu? Tidak ada alasan untukku marah pada Ibu," sahutku.Aku tidak mungkin bisa marah pada ibu, walau bagaimanapun ibu membuatku kecewa, tapi aku tidak pernah marah pada beliau. Ibu adalah satu-satunya orang yang sangat aku sayangi di dunia ini. Mengingat aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi, dan hanya beliaulah yang ada untukku, yang selalu mendukungku saat Mas Hilman memilih pergi dariku. Ibu juga lebih memilih aku daripada putra kandungnya sendiri. Jadi aku tidak akan pernah bisa marah pada ibu. Kasih sayangnya padaku melebihi kasih sayang seorang
"Bagaimana keadaan ibu, Mbak?" tanyaku begitu sampai di samping Mbak Nuri.Kebetulan Mbak Nuri sedang ada di depan ruang rawat ibu saat aku datang. Dia sedang duduk sembari terlihat termenung, sesekali dia juga terlihat mengusap air matanya.Mbak Nuri menoleh ke arahku, lalu kemudian dia mengalihkan lagi pandangannya dariku. Dia menatap kosong dinding rumah sakit. Raut wajahnya terlihat sangat sendu."Ibu sedang diperiksa oleh dokter, Ra. Keadaan ibu menurun lagi," jawabnya terdengar getir."Semoga ibu tidak kenapa-napa, Mbak. Beliau pasti pulih kembali," ucapku berharap ibu bisa segera membaik lagi.Aku meraih tangan Mbak Nuri, lalu mengenggamnya lembut. Aku mencoba untuk menguatkan Mbak Nuri, padahal hatiku sejak tadi sudah gelisah. Mimpi semalam masih terbayang-bayang di pikiranku. Aku takut jika mimpi itu adalah pertanda yang buruk. Aku takut jika ibu akan benar-benar meninggalkanku.Mbak Nuri kembali menolehkan kepalanya ke arahku, dia menatapku dalam. Dapat kulihat jejak-jejak a
Aku menatap kosong ke arah tubuh yang terbujur kaku di depanku. Air mataku pun terus berlelehan tanpa bisa aku hentikan. Hatiku teramat sedih melihat jenazah ibu terbaring dengan berselimutkan kain. Ibu pun juga sudah dipakaikan kain kafan, kini hanya tinggal disholatkan saja.Mbak Nuri meminta jenazah ibu dibawa pulang ke rumah kami yang lama. Karena memang di situlah ibu tinggal semasa hidupnya. Aku pun setuju dengan Mbak Nuri.Sejak jenazah ibu dibawa pulang, aku tidak pernah pergi dari sisinya. Aku pun juga ikut dalam memandikan jenazah ibu, sebagai baktiku yang terakhir padanya. Setelah ini aku sudah tidak bisa lagi berada di sisi ibu. Hatiku sangat berat mengikhlaskan kepergian ibu yang tiba-tiba.Andai saja aku tidak membawa ibu pergi bersamaku, tentu sekarang ibu masih hidup. Tapi siapa yang akan tahu masa depan seseorang. Jika Yang Kuasa sudah menentukan takdir seseorang, tentu tidak akan ada yang bisa menolaknya. Begitu pun dengan kepergian ibu, tidak akan ada yang bisa menc
Pak Alif menatapku lekat dan tanpa kata, sepertinya dia masih terkejut dengan ajakanku menikah yang tiba-tiba. Aku harus meyakinkan Pak Alif jika aku serius dengan apa yang aku katakan padanya."Jangan. Jangan kamu putuskan sesuatu di saat hatimu sedang tidak baik-baik saja, Ra. Kumohon jangan membuat keputusan yang akan kamu sesali nantinya. Dan aku tidak mau kamu menyesalinya, Ra." Pak Alif membuka suaranya.Aku pun menatap Pak Alif dengan pandangan penuh tanya tentang maksud dari perkataannya."Jadi Pak Alif menolakku?" tanyaku."Bu-kan. Bukan maksudku seperti itu, Ra. Aku tidak bermaksud untuk menolakmu. Jujur, aku sangat bahagia jika kamu mau menikah denganku. Tapi aku tidak mau kamu terpaksa menikah denganku. Lebih baik kamu pikirkan lagi di saat hatimu sudah membaik, Ra," sahutnya."Iya, Ra. Kita bicarakan ini semua nanti. Sekarang kita pulang saja terlebih dahulu," imbuh Mbak Nuri sembari memegang tanganku.Aku mengalihkan pandangan dari Mbak Nuri, kemudian aku berkata, "tidak
"Sepertinya kamu tidak sabar untuk mencari penggantiku, Ra." Mas Hilman melangkah semakin dekat dengan tempatku berada.Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Mas Hilman yang menghujam hatiku. Bukankah dia tidak berhak berkata seperti itu padaku? Mas Hilman sudah tidak punya hak untuk mengaturku."Ada apa kamu kemari, Mas?" tanyaku sembari menatap tajam Mas Hilman."Apa maksudmu, Ra? Memangnya aku tidak boleh kemari? Ini rumah ibuku, Ra. Jadi tidak ada yang berhak untuk melarangku kemari. Tidak kamu ataupun Mbak Nuri."Aku tersentak mendengar perkataan Mas Hilman. Dia memang masih berhak untuk datang kemari kapan pun. Tapi kenapa dia harus membawa Linda kemari?"Kamu—.""Memang tidak ada yang melarangmu kemari, Man. Tapi aku juga berhak atas rumah ini. Aku putri ibu, bagaimana pun aku juga berhak menentukan siapa yang boleh ada di sini." Suara Mbak Nuri tiba-tiba terdengar memotong ucapanku.Aku pun langsung menolehkan kepalaku ke arahnya. Mbak Nuri datang dari arah ruang depan semba
"Sidang perceraianmu akan digelar sebentar lagi, Ra. Tapi kamu tidak perlu datang," ucap Pak Alif melalui sambungan ponsel.Pak Alif menelpon karena dia mengabari bahwa dia tidak bisa datang kemari untuk sementara waktu. Tadi pagi Pak Alif ditelpon oleh asisten rumah tangganya, yang mengabarkan bahwa ayah Pak Alif sedang mencarinya. Ada keperluan mendesak yang harus Pak Alif lakukan."Iya, Pak," sahutku.Lalu kami sama-sama diam, aku bingung mau berkata apa lagi pada Pak Alif. Sedang Pak Alif, juga tidak menanggapi sahutanku tadi. Entah apa yang sekarang sedang Pak Alif pikirkan, aku tidak tahu."Hmm ... Ra," panggil Pak Alif setelah lebih dari sepuluh menit kami sama-sama tak bersuara."Ada apa, Pak?" tanyaku padanya."Apa kamu tidak apa-apa?" Pak Alif malah balik bertanya padaku tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu."Apa maksudnya, Pak?"Terdengar suara Pak Alif menghela napasnya panjang, dapat kupastikan bahwa dia tampak ragu untuk menjelaskan padaku tentang maksud dari pert
"Biar Ryan aku yang gendong, Mbak," ucapku pada Mbak Nuri yang terlihat kepayahan karena menggendong putra semata wayangnya itu. Memang badan Ryan berbeda dari balita seusianya, dia terlihat lebih besar dari usianya.Kami sedang berjalan di tengah pasar, sudah hampir setengah jam, kami sibuk berbelanja untuk keperluan konsumsi pengajian nanti.Aku sedang menenteng satu tas besar yang berisi penuh dengan belanjaan kami. Sementara Mbak Nuri sedang menggendong putranya itu."Baiklah, Ra. Biar aku yang membawa tas belanjaannya," sahut Mbak Nuri sembari menyerahkan Ryan padaku.Aku langsung menurunkan belanjaan, lalu meraih Ryan dari tangan Mbak Nuri. Setelah Ryan berada di dalam gendonganku, Mbak Nuri mengambil tas dan menentengnya."Ayo kita pulang," ucap Mbak Nuri.Aku pun mengangguk, lalu kami berjalan bersama keluar dari pasar. Setelah keluar dari pasar, kami pulang ke rumah dengan menaiki becak motor yang sering mangkal di depan pasar.Selang lima belas menit perjalanan kami pun tela
"Jangan ladeni mereka, Ra. Biarkan saja mereka mengurus diri mereka sendiri."Kata-kata Mbak Nuri terngiang-ngiang di pikiranku. Mbak Nuri terlihat sangat tidak suka dengan keluarga baru Mas Hilman. Jujur, aku pun juga kurang suka pada mereka. Apa lagi aku sangat tahu, seperti apa ibu mertua Mas Hilman sekarang.Aku sedang duduk di teras rumah, menikmati semilir angin di malam yang cerah. Berada di dalam rumah terus membuatku seakan sesak, tidak bisa bernapas dengan lancar. Di mana-mana, aku selalu melihat kemesraan Mas Hilman dan Linda. Aku sangat muak sekali.Aku harus bersabar sampai tujuh hari meninggalnya ibu berlalu. Kurang dua hari lagi, aku bisa keluar dari rumah ini. Dan aku harus menahan diri melihat kemesraan mereka selama dua hari itu.Aku menarik napas panjang, lalu aku menghembuskannya perlahan. Aku melakukannya sekali lagi, sampai hatiku terasa sedikit tenang.Aku kembali termenung mengingat ucapan Pak Alif tadi pagi. Katanya, sidang perceraianku akan digelar. Rasanya p
Kuedarkan pandangan menuju tempat akad, dapat kulihat punggung seorang lelaki yang memakai setelan jas yang senada dengan gaun pernikahanku. Keningku berkerut melihat punggungnya, dalam hati aku bertanya-tanya siapa lelaki tersebut.Ada apa ini? Bukankah hari ini aku akan menikah dengan Mas Atar? Lalu, kenapa bukan dia yang duduk di sana? Kenapa dia malah berdiri seperti tamu undangan yang lainnya?Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otakku. Ya Allah ... apa lagi yang Engkau tetapkan untuk hamba-Mu ini? Aku menghiba, rasanya sudah tidak kuasa lagi jika harus menanggung penderitaan lebih lagi."Ra ... ayo. Para tamu undangan sudah menunggu mempelai perempuannya turun," ucap Mila membuatku menoleh padanya.Aku menatap Mila dengan pandangan penuh tanya, aku menuntut jawabannya melalui tatapan, karena untuk membuka mulut pun aku seakan tak kuasa lagi.Mila menerbitkan senyumnya dan berkata, "Sudah saatnya kamu bahagia, Ra. Sudah cukup selama ini kamu menderita. Berbahagialah dengan
"Apa kamu sudah benar-benar yakin, Ra?" tanya Mila di saat aku sedang mengepak baju-bajuku.Mila sekarang sedang berada di rumahku karena besok aku akan menikah dengan Mas Atar. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Besok aku akan benar-benar menikah dengan Mas Atar. Jujur, hatiku masih berat sekali, tapi aku tidak bisa lari begitu saja setelah memupuk harapan semua orang.Aku terdiam, lalu memandang Mila dengan senyum tipis menghiasi bibirku untuk meyakinkan Mila bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu jika Mila mengkhawatirkanku, mengingat besok sudah hari pernikahanku dengan Mas Atar. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi. Tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku akan membuat semua orang malu. Jika hanya aku yang malu tidak mengapa, tapi jangan keluarga Ibu Rani. Beliau adalah orang baik. Tidak sepatutnya aku membuat beliau malu."Kumohon pikirkan sekali lagi, Ra. Pumpung pernikahanmu belum terjadi." Kembali, Mila membujukku untuk memikirkan tentang keputus
"Ayo kita pergi, Ra." Masih pagi tapi Mas Atar sudah datang ke butik, membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Dia sedang duduk di depan meja kerjaku dengan posisi tangan bertopang dagu. Sementara aku baru saja akan mengerjakan pekerjaanku.Aku meletakkan pena ke atas meja, lalu memandang jengah lelaki yang bergelar calon suamiku itu. Aku sedang sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku sedang menumpuk dan harus segera aku selesaikan, mengingat sebentar lagi aku akan disibukkan dengan pernikahanku."Memang mau kemana, Mas? Kamu tahu aku sedang sibuk, bukan?" tanyaku dengan nada datar.Mas Atar terdengar mendecakkan lidahnya. "Aku sudah meminta ijin pada ibu, beliau pun menyetujuinya. Apalagi saat aku mengatakan ingin mencari cincin untuk pernikahan kita, beliau langsung bersemangat untuk menyuruhku menemuimu," jawabnya. "Bahkan beliau yang paling antusias dengan pernikahan kita. Sebegitu bahagianya ibu ketika tahu kita akan segera menikah," imbuhnya dengan senyum melebar.Aku membulatkan
"Jelaskan padaku, Ra. Jelaskan apa yang aku dengar dari Bayu kalau kamu akan menikah dengan Mas Atar itu salah." Suara Mila sedikit meninggi dari balik sambungan telepon.Aku mendesah, aku memang sudah memperkirakan jika Mila akan menuntut penjelasan padaku jika mendengar berita pernikahanku dengan Mas Atar.Tak terasa satu bulan telah berlalu semenjak aku meminta penjelasan pada Mas Atar. Kini, pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Ibu Rani meminta kami cepat-cepat menikah. Jadilah bulan depan pernikahan kami akan diadakan.Memang terkesan terburu-buru, tapi aku sudah pasrah. Jalan hidupku akan bagaimana, aku serahkan semuanya pada Yang Kuasa. Entah kebahagiaan ataupun kesengsaraan yang akan menemani sisa hidupku. Aku tidak tahu. Biar takdir yang akan menentukan nasibku kedepannya.Selama ini aku tidak menceritakan tentang pernikahanku dengan Mas Atar pada Mila. Aku tidak mau mengganggu bulan madu Mila. Di pikiranku, nanti saja saat hari pernikahan sudah dekat, agar Mila tidak terlal
Aku melangkah dengan gontai setelah keluar dari ruangan Ibu Rani. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku seolah menghilang. Semua yang baru saja terjadi mampu membuatku kehilangan semangat untuk memulai hariku."Kamu kenapa, Ra? Tidak enak badan?" tanya Sarah ketika aku telah sampai di meja kerjaku.Aku hanya menatap Sarah dengan tidak bersemangat. Sarah pun berjalan mendekat ke arahku. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya."Tidak demam. Tapi kenapa wajahmu terlihat pucat," ucapnya sembari mengerutkan kening."Aku tidak apa-apa, Sar. Mungkin aku hanya kecapekan saja," sahutku, tidak mau membuat Sarah semakin khawatir."Iya kali, Ra. Harusnya kamu istirahat saja di rumah."Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Sar. Pekerjaanku sudah banyak. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaanku."Sarah tampak menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu inginnya begitu, Ra. Aku nggak akan mengganggumu kalau begitu." Sarah pun beranjak menuju meja kerjanya.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sudah me
"Wah ... kamu sudah datang, Ra." Sarah menatapku dengan senyum yang aneh. Sorot matanya seolah sedang memandang takjub padaku.Aku baru saja datang, dan langsung menuju meja kerjaku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak datang ke butik."Ada apa, Sar?" tanyaku penasaran dengan senyum Sarah, biasanya aku juga tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi entah kenapa, senyum Sarah terasa aneh bagiku."Kamu jangan pura-pura deh, Ra," sahut Sarah.Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sarah. Pura-pura? Pura-pura apa maksudnya? Aku memandang Sarah dengan raut wajah penuh tanya."Ck ... kamu gimana sih, Ra. Masak nggak tahu. Kamu itu jangan pura-pura nggak tahu apa-apa. Mentang-mentang sebentar lagi jadi mantunya Bu Rani, kamu nggak mau berbagi kabar bahagia dengan kami," tutur Sarah mendecakkan lidahnya.Netraku membulat sempurna mendengar penuturan Sarah. Tidak. Dia pasti salah bicara. Aku ... aku tidak mungkin menjadi calon menantu Ibu Rani."Menantu Ibu Rani?
"Ah, aku juga permisi, Mas," pamitku.Aku harus segera pergi sebelum Mas Atar menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkanku. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku langsung melangkah meninggalkan Mas Atar dan Kiara yang berada di dalam gendongannya."Tunggu, Ra. Kamu berhutang sesuatu padaku," ucapnya menahan langkahku. Aku berhenti seketika mendengar ucapan Mas Atar.Aku menoleh ke arahnya, menatap takut-takut padanya. Tapi aku terperangah ketika melihatnya tersenyum tipis ke arahku. Aku mengusap-usap mataku, mencoba memastikan jika mataku tidak salah lihat. Barusan aku benar-benar melihatnya tersenyum.Mas Atar tersenyum? Lelaki es itu tersenyum? Aku sampai melongo melihatnya. Rasanya tidak percaya jika lelaki yang selalu berwajah datar itu tersenyum walaupun tidak begitu terlihat. Tapi aku yakin dia sedang tersenyum tadi."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya terlihat mengernyitkan kening. Sepertinya dia heran karena aku melihatnya sembari mengusap-usap mat
"Apa?" tanya Mas Alif tampak terkejut dengan jawabanku. Wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.'Maaf, Mas. Aku harus berbohong demi kebaikan semuanya.'Perlahan aku meriah tangan Kiara dan mengajaknya melangkah mendekat ke arah Mas Alif. Setelah sampai di depannya, aku berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Kiara. Kutatap mata polos gadis kecil di hadapanku itu dengan lembut.'Maafkan aku karena memanfaatkanmu ya, Nak. Semoga kamu mau membantu.'Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Sayang, salim dulu sama Om Alif, ya," ucapku pada Kiara dengan nada lembut.Netra bening Kiara menatapku dengan polosnya, tapi tak urung juga dia menganggukkan kepalanya, mengikuti perintahku. Tangan mungilnya terulur ke arah Mas Alif, sementara Mas Alif masih berdiri mematung. Tampak sekali jika dia benar-benar terkejut dengan kebohonganku."Halo, Om," tutur Kiara dengan tangan yang masih terulur.Mas Alif tersentak, lalu kemudian dia ikut berjongkok dan membalas
Aku mematut diriku di cermin, mencoba menyembunyikan mata bengkakku sebaik mungkin. Setelah dirasa mataku yang bengkak tertutup make up, aku pun bangkit dari duduk. Lalu aku segera keluar dari kamar.Aku memandang takjub suasana pesta yang sangat ramai. Mila benar-benar menjadi ratu di hari pernikahannya. Pernikahan Mila sangatlah mewah, benar-benar pernikahan impian setiap wanita. Aku pun dulu sangat memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi dulu aku sudah bahagia dengan pernikahan sederhana yang Mas Hilman berikan.Akan tetapi semuanya telah hancur sia-sia. Dan aku pun telah menempuh hidupku sendirian.Aku mendesah kasar. Tidak baik mengingat-ingat hal yang menyakitkan. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mila. Aku harusnya mengesampingkan perasaanku.Aku melangkah menuruni tangga, mencoba bergabung dengan orang-orang yang hadir di pesta pernikahan Mila. Tapi setelah sampai di ujung tangga, seseorang menarik tanganku. Aku pun menoleh, menatap orang yang menarik tanganku. Netraku membul