Jantung Bara berdegup lebih kencang dari biasanya. Melihat uminya mendelik penuh selidik, nyali Bara menciut. "U ... Umi kok sudah di sini? Cintya mana?" gugupnya. Kentara sekali kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Umi tanya, Kamu telfonan sama siapa?" tekan umi Khofsoh. Nalurinya mengatakan, kalau sedang ada yang ditutup-tutupi oleh anaknya. "Teman, Mi.""Mana ada teman manggil sayang?"Bara menunduk. Dia tak berani menatap mata uminya. "Teman lama, Mi. Sudah lama enggak ketemu," alibinya. Umi Khofsoh menggeleng tak percaya. "Anak umi tidak pernah bisa berbohong," lirih uminya. Umi Khofsoh lantas duduk di kursi berbentuk kayu bulat. Bara menjadi salah tingkah. Memang benar, dia tak pernah bisa berbohong di depan uminya. Namun, dia juga tak mungkin berkata jujur. Setidaknya untuk sekarang. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bara bingung, harus memulai pembicaraan dari mana. Sementara umi Khofsoh, sibuk menerka, dengan siapa putranya telfon. "Umi, s
Baca selengkapnya