"Umi duduk di tengah saja, ya. Di samping mas Bara. Katanya umi takut lihat bawah," ujar Cintya saat mereka hendak melanjutkan perjalanan ke kota Palu. Bara hanya menatap Cintya heran. Kelakuan Cintya semakin aneh, seolah dia ingin menghindar darinya. Untung saja umi menurut, tak banyak tanya. Sehingga mereka tak perlu menyiapkan jawaban palsu. Kali ini umi Khofsoh tak terlalu takut seperti tadi. Dia melakukan hal yang sama, saat penerbangan dari Surabaya ke Makasar. Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam. Ketiganya mencoba memejamkan mata, sekedar untuk mengistirahatkan raga yang mulai lelah. Meskipun tidak benar-benar tidur, setidaknya mereka bisa mengistirahatkan jiwa dan raga yang lelah. "Saya agak pusing, Mi." Cintya menyandarkan kepalanya yang terasa berputar. "Bara, ini Cintya pusing lho," ujar umi Khofsoh panik. Bara langsung menoleh ke istrinya. Dia melihat Cintya bersandar dengan mata terpejam. "Sabar ya, sebentar lagi kita sampai. Mau dimintakan obat?" Cinty
Jantung Bara berdegup lebih kencang dari biasanya. Melihat uminya mendelik penuh selidik, nyali Bara menciut. "U ... Umi kok sudah di sini? Cintya mana?" gugupnya. Kentara sekali kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Umi tanya, Kamu telfonan sama siapa?" tekan umi Khofsoh. Nalurinya mengatakan, kalau sedang ada yang ditutup-tutupi oleh anaknya. "Teman, Mi.""Mana ada teman manggil sayang?"Bara menunduk. Dia tak berani menatap mata uminya. "Teman lama, Mi. Sudah lama enggak ketemu," alibinya. Umi Khofsoh menggeleng tak percaya. "Anak umi tidak pernah bisa berbohong," lirih uminya. Umi Khofsoh lantas duduk di kursi berbentuk kayu bulat. Bara menjadi salah tingkah. Memang benar, dia tak pernah bisa berbohong di depan uminya. Namun, dia juga tak mungkin berkata jujur. Setidaknya untuk sekarang. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bara bingung, harus memulai pembicaraan dari mana. Sementara umi Khofsoh, sibuk menerka, dengan siapa putranya telfon. "Umi, s
Gema adzan Dhuhur menyambut kedatangan mereka di kota Cengkeh. Umi Khofsoh memperhatikan sekeliling bandara yang sepi. Hanya ada beberapa penumpang dan petugas yang berseliweran. "Kok sepi sekali?" tanya umi Khofsoh heran. Baru kali ini dia melihat bandara yang tak terlalu ramai. Tiga bandara yang dia lalui tak sesepi di sini. "Maklum Mi, ini kota kecil. Jadi, penerbangan tak seramai kota lain," jelas Bara. "Vilanya sudah dekat dari sini, di sebelah sana!" Cintya menunjuk arah utara. Umi Khofsoh mengikuti telunjuk Cintya, namun yang terlihat hanya pagar bandara. "Mbah Yah sudah dihubungi, Sayang?" tanya Bara, sambil melingkarkan tangan di pinggang ramping istrinya. "Sudah, Aisya juga sudah aku hubungi," jawab Cintya santai. Namun justru Bara kepanasan. Untung saja uminya sibuk melihat pemandangan sekitar, jadi tidak mendengar percakapan mereka. "Jemputannya mana?" tanya umi."Masih di jalan, Mi. Sebentar lagi sampai."Tak sampai sepuluh menit, mobil jemputan sudah datang. Bara m
Bara langsung menghampiri Cintya, setelah transaksi dengan sopir rental selesai. "Akhirnya rumah ini akan rame, Mbah," ujar Bara sambil memeluk istrinya dari samping."Alhamdulillah, mbah ikut senang dengarnya. Mari duduk dulu, saya ambilkan minum." Mereka duduk di kursi ruang tengah. Umi Khofsoh memperhatikan interior rumah anaknya, yang tampak rapi. "Umi nanti tidur di kamar ini, ya! Aku sama mas Bara di kamar atas," ujar Cintya sambil membukakan kamar di samping ruang keluarga. Umi Khofsoh mengikuti Cintya. Lampu dinyalakan. Cintya sudah meminta mbah Yah untuk membersihkan kamar ini sebelumnya. "Kamar yang di sebelah punya siapa?" tanya umi Khofsoh, menunjuk kamar yang terletak persis di sebelah kamarnya. "Itu kamar tamu, Mi. Kalau ada tamu yang menginap, tidurnya di situ." Umi Khofsoh hanya mengangguk. "Umi istirahat saja kalau capek.""Umi mau sholat dulu.""Habis sholat kita makan siang bareng, Mi. Sepertinya mbah Yah sudah masak.""Iya Nduk."Cintya melongok ke dalam ka
"Umi ... Umi kenapa?" teriak Cintya histeris.Sejurus kemudian, tubuh umi Khofsoh hampir limbung. Untung saja Cintya dengan cepat menangkapnya, sehingga tidak sampai jatuh. "Mas, cepat angkat umi!" Cintya semakin panik, karena umi tak sadarkan diri. Bara langsung mengangkat tubuh kecil uminya ke kamar. Mbah Yah dan Cintya tergesa-gesa mengikuti dari belakang. "Umi, bangun Mi!" Bara menepuk pelan pipi wanita yang di telapak kakinya ada surganya."Mbah, tolong carikan minyak kayu putih," perintah Cintya dengan nada bergetar karena khawatir. Baru kali ini dia melihat umi tak sadarkan diri. Mbah Yah tergesa mengambil minyak kayu putih di kotak obat. "Ini Bu."Cintya mengolesi jarinya dengan minyak kayu putih, lalu mendekatkan ke hidung sang mertua. "Bagaimana ini, Mas?" panik Cintya, karena umi juga belum sadar. Bara terus menepuk pelan pipi uminya. Cintya kembali mendekatkan ujung minyak kayu putih ke hidung umi. Setelah beberapa menit, usahanya berhasil. Umi mengerjap lalu matany
Sejak kejadian tadi pagi, suasana rumah mendadak sepi. Tak ada senyum di antara penghuninya. Umi Khofsoh masih mendiamkan Bara. "Umi," panggil Bara di depan pintu kamar. Dari tadi uminya hanya berdiam diri di kamar. Bahkan untuk makan saja, mbah Yah harus mengantarnya. Tak ada sahutan. Namun Bara tahu, uminya belum tidur jam segini. Dengan memberanikan diri, Bara membuka pintu. "Umi." Bara menghampiri umi yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Tangannya memegang tasbih, sementara matanya terpejam. Bara meraih tangan lembut uminya. Kepalanya ia sandarkan di pangkuan umi. "Umi jangan mendiamkan aku begini. Umi boleh memarahiku, tapi jangan pernah mendiamkanku." Bara mengiba, seperti anak kecil yang sedang merayu meminta coklat. TesCairan bening lolos dari mata umi yang masih terpejam. Sesungguhnya hatinya amat tersiksa. Ingin sekali ia membelai rambut anaknya, seperti waktu Bara masih kecil. Namun urung ia lakukan, mengingat Bara telah melakukan kesalahan fatal. "Umi, ji
"Hati-hati, Nak!" pesan umi Khofsoh, karena Bara berjalan tergesa. Bara begitu hati-hati saat menuruni anak tangga. Ada dua nyawa yang harus ia pertahankan. Cintya mengalungkan tangannya di leher Bara. Dia memperhatikan wajah Bara yang tampak tegang. "Duduk di sini dulu. Aku keluarkan mobil." Bara menurunkan Cintya di kursi teras. "Ini Bu, jilbabnya!" Mbah Yah menyerahkan jilbab instan berwarna moka kepada Cintya. Mbah Yah mencomotnya asal karena sama-sama panik. "Terima kasih, Mbah." Cintya mengenakan jilbab yang diberikan mbah Yah. Sementara itu, Bara tengah memanaskan mesin mobil yang sudah beberapa hari ini tak terpakai."Sakit perutnya, Nduk?" tanya umi Khofsoh. "Tidak Umi." Cintya tidak merasakan apa-apa. Mungkin karena saking paniknya. Umi Khofsoh menuntun Cintya menaiki mobil. Mbah Yah mengunci pintu rumah, lalu ikut duduk di bangku belakang. "Jauh rumah sakitnya?""Dekat, Umi. Enggak sampai lima menit sudah sampai," jawab Bara sambil fokus mengemudi. "Kita ke klinik
"Bu Cintya mengalami pendarahan. Pendarahan terjadi, karena adanya kontraksi rahim. Banyak penyebanya. Salah satunya karena hubungan suami istri, di trimester pertama," jelas bu bidan. "Boleh ditutup lagi bajunya!" ujar sang perawat. Umi membantu mengancingkan baju Cintya. Lalu, dia membantu menantunya bangun. Bu bidan kembali ke tempat duduknya. "Untuk saat ini, istrinya jangan dicampuri dulu, ya, Pak!"Muka Cintya memerah menahan malu. Baginya, membahas masalah ranjang merupakan hal tabu. Dibantu Bara, dia kembali duduk di hadapan bu bidan. "Apa ini bahaya, Bu?" Kali ini Bara memberanikan bertanya."Kalau tidak segera ditangani sangat berbahaya. Efeknya bisa menyebabkan keguguran dan juga nyawa ibunya terancam. Saya sarankan istirahat total, sampai dirasa tidak ada darah yang keluar. Namun, kalau selama tiga hari masih terus pendarahan, segera ke dokter kandungan. Karena saya tidak bisa meresepkan obat penguat kandungan. Itu di luar wewenang saya."Bara mengangguk menyimak penj