"Hati-hati, Nak!" pesan umi Khofsoh, karena Bara berjalan tergesa. Bara begitu hati-hati saat menuruni anak tangga. Ada dua nyawa yang harus ia pertahankan. Cintya mengalungkan tangannya di leher Bara. Dia memperhatikan wajah Bara yang tampak tegang. "Duduk di sini dulu. Aku keluarkan mobil." Bara menurunkan Cintya di kursi teras. "Ini Bu, jilbabnya!" Mbah Yah menyerahkan jilbab instan berwarna moka kepada Cintya. Mbah Yah mencomotnya asal karena sama-sama panik. "Terima kasih, Mbah." Cintya mengenakan jilbab yang diberikan mbah Yah. Sementara itu, Bara tengah memanaskan mesin mobil yang sudah beberapa hari ini tak terpakai."Sakit perutnya, Nduk?" tanya umi Khofsoh. "Tidak Umi." Cintya tidak merasakan apa-apa. Mungkin karena saking paniknya. Umi Khofsoh menuntun Cintya menaiki mobil. Mbah Yah mengunci pintu rumah, lalu ikut duduk di bangku belakang. "Jauh rumah sakitnya?""Dekat, Umi. Enggak sampai lima menit sudah sampai," jawab Bara sambil fokus mengemudi. "Kita ke klinik
"Bu Cintya mengalami pendarahan. Pendarahan terjadi, karena adanya kontraksi rahim. Banyak penyebanya. Salah satunya karena hubungan suami istri, di trimester pertama," jelas bu bidan. "Boleh ditutup lagi bajunya!" ujar sang perawat. Umi membantu mengancingkan baju Cintya. Lalu, dia membantu menantunya bangun. Bu bidan kembali ke tempat duduknya. "Untuk saat ini, istrinya jangan dicampuri dulu, ya, Pak!"Muka Cintya memerah menahan malu. Baginya, membahas masalah ranjang merupakan hal tabu. Dibantu Bara, dia kembali duduk di hadapan bu bidan. "Apa ini bahaya, Bu?" Kali ini Bara memberanikan bertanya."Kalau tidak segera ditangani sangat berbahaya. Efeknya bisa menyebabkan keguguran dan juga nyawa ibunya terancam. Saya sarankan istirahat total, sampai dirasa tidak ada darah yang keluar. Namun, kalau selama tiga hari masih terus pendarahan, segera ke dokter kandungan. Karena saya tidak bisa meresepkan obat penguat kandungan. Itu di luar wewenang saya."Bara mengangguk menyimak penj
#Berbagi_Surga "Nduk." Cintya menjingkat kaget, kala umi Khofsoh menepuk pundaknya. "Eh iya, Mi," jawabnya sambil mengatur debar jantung yang berdetak lebih cepat, karena kaget. "Lagi mikirin apa, sih? Dari tadi dipanggil kok enggak nyahut," ujar umi Khofsoh pelan. Dia tidak mau, anak menantunya sampai stres, karena akan berakibat pada calon cucunya. "Enggak ada, Mi," bohong Cintya. Dia tidak mau gegabah menceritakan kecurigaannya pada umi.Setelah hampir setengah jam menunggu, Bara keluar bersama istri mudanya. Mereka diantar seorang wanita yang lebih muda dari umi Khofsoh. Dari perawakannya, Cintya tahu kalau itu ibu Aisya. Raut mereka juga sangat mirip. Bedanya, Aisya lebih tinggi dan kurus. "Aisya duduk di belakang sama umi, ya?" ujar Bara sambil membuka pintu belakang. Wajahnya mendadak pias, ketika beradu pandang dengan umi. Namun Aisya segera menguasai diri. Umi Khofsoh menggeser duduknya agak ke tengah, agar Aisya bisa masuk. "Umi," sapanya sambil meraih tangan umi. Dici
Umi Khofsoh menuju dapur, setelah memastikan Bara benar-benar menemani Cintya. Diraihnya gelas kaca berukuran sedang lalu mengisinya dengan air hangat. Tak lupa, umi Khofsoh meminta mbah Yah untuk mencarikan pembalut Cintya di kamar atas. Tok tokUmi Khofsoh mengetuk pintu kamar Aisya. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, dia beringsut masuk. "Dapat, Mas?" tanya Aisya dengan mata terpejam. Dia tidak tahu, kalau yang masuk mertuanya. "Bara sedang menemani Cintya. Jadi saya bawakan air putih hangat, agar nyeri perutmu reda." Sadar bukan suaminya yang datang, Aisya sontak bangun. Dia menjadi salah tingkah."Tidurlah. Saya hanya mau mengantarkan ini!"Tak lama, mbah Yah menyusul umi di kamar Aisya. Dia menyerahkan sebungkus pembalut, yang isinya tinggal setengah. Aisya masih diam. Dia takut berbicara. "Pakai ini dulu!" Umi Khofsoh meletakkan pembalut di samping Aisya. Aisya hanya mengangguk. "Bara umi minta menjaga Cintya."Lagi-lagi Aisya hanya mengangguk. Umi Khofsoh mencoba men
Bara yang bingung dengan perubahan istrinya, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Dia tak tahu, harus membujuk dengan cara apa lagi agar Aisya berhenti merajuk. "Bagaimana, kalau memang aku enggak bisa hamil?" tanya Aisya dengan suara menyayat hati. Aisya teringat percakapannya dengan umi, kalau salah satu tujuan pernikahannya adalah memperbanyak umat Rasul. Nyatanya, justru kakak madunya yang diberi amanah terlebih dahulu. "Kita baru satu bulan menikah. Jangan takut berlebihan," hibur Bara. "sekarang tidurlah, sudah malam." Bara mengecup kening Aisya. Dia sengaja menghindari perdebatan dengan istri mudanya. "Aku takut Mas akan meninggalkanku," lirih Aisya. "Kalian tadi mengobrol apa saja?" tanya Bara mengalihkan pembicaraan. Dia tahu, pasti terjadi sesuatu antara umi dan Aisya. "Aku sakit hati, Mas." Aisya menutup wajahhnya dengan kedua telapak tangan. Tak lama, tubuhnya kembali terguncang. Bara semakin tak tega melihat istri mudanya tersiksa. Entah apa yang dikatakan um
Bara menunduk dalam. Tak mudah membujuk Aisya yang terlanjur kecewa dengan sikap umi. Namun, mengantarkan Aisya pulang ke rumahnya, juga bukan pilihan tepat. Pasti umi Khofsoh semakin benci dengan Aisya. Bara ingin kedua istrinya mempunyai kedekatan dengan umi. "Kita makan, yuk!" ajak Bara agar Aisya tidak larut dalam kesedihan. "Mas kenapa sih, dari tadi malam selalu mengalihkan pembicaraan kalau aku bahas umi?" kesal Aisya. "aku enggak lapar, Mas. Aku hanya pengen pulang." Bara menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Rongga dadanya ikut sesak, memikirkan Aisya dan umi. Dalam hati, Bara juga menyesalkan sikap umi, yang terkesan membeda-bedakan Aisya dan Cintya. "Makan dulu, nanti sakit,"bujuk Bara."Biar saja aku sakit. Enggak ada yang peduli, kan?" "Siapa bilang. Aku enggak mau lihat Kamu ataupun Cintya sakit.""Aku capek, begini terus," keluh Aisya sambil tangannya menarik rumput yang tumbuh di samping pohon Kenanga. Tangannya terus meremas-remas rumput itu. "Ayo makan!" paksa
Cintya masih sibuk menenangkan umi Khofsoh. Dia juga meminta mbah Yah, untuk membawakan segelas air putih. Setelah meminum air, umi Khofsoh tampak lebih tenang dari sebelumnya. Dia terus memandangi wajah ayu Cintya yang tampak natural, tanpa riasan wajah. "Maafkan Bara, Umi," sesal Bara, telah membuat uminya menangis. "Umi ingin, berbicara bertiga dengan kalian, di taman." Cintya dan Bara saling berpandangan. Sepertinya ada yang ingin umi sampaikan. Belum sempat mereka berdiri, seorang tamu datang. Rupanya orang yang Cintya suruh bersih-bersih rumah, membantu mbah Yah. "Permisi, maaf saya terlambat datang," ucapnya sopan. "Enggak apa-apa, Mbak Eni. Nanti biar dikasih tahu mbah Yah, kerjanya apa. Mbah Yah ada di dapur," ujar Cintya."Iya, Bu," jawab mbak Eni. Dari segi usia, mbak Eni hampir sama dengan Cintya. Bedanya, mbak Eni terlibat lebih berumur. "Kalau begitu, saya langsung ke dapur, Bu. Permisi." Mbak Eni langsung menemui mbah Yah, karena merasa tidak enak, di hari perta
Cintya mengunci kamar, lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dipejamkan matanya sejenak, mencoba mengurai masalah yang menghampirinya. Bisikan untuk segera mengakhiri rumah tangganya, kian berembus kencang. Baginya, kesalahan Bara cukup fatal. Ditambah, dengan pengakuan umi yang memperkuat keinginannya untuk segera pisah. Namun, janin di rahimnya masih jadi penghalang. "Apa ini juga campur tangan Allah, agar aku mempertahankan rumah tangga dengannya?" gumam Cintya semakin bingung. Diremasnya rambut yang sudah mulai acak-acakan. Kepalanya juga pusing, memikirkan nasib pernikahannya ke depan. Perutnya terasa semakin tidak nyaman. Darah yang keluar juga semakin banyak. Cintya lantas beranjak ke kamar mandi. Karena bukan pertama kali, dia tidak terlalu panik. Tok tok tokPintu diketuk, saat Cintya baru saja keluar kamar mandi. Cintya sedang malas bertemu siapapun. Dia memilih tidak membukakan pintu. Namun, ketukannya semakin keras, membuat Cintya terpaksa membukakan pintu. ClekPintu
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.