Beranda / Thriller / Digoda Suami Gaib / Bab 51 - Bab 60

Semua Bab Digoda Suami Gaib: Bab 51 - Bab 60

149 Bab

Bab 51: Karib yang Meniduri Istriku

Jantungku hampir berhenti merasakan keterguncangan yang akan segera kuhadapi. Tanpa sadar, aku menoleh kembali ke arah Kinanti yang masih bersender kecut di salah satu pilar selasar depan. “Sudah kubilang... kau hanya akan depresi... kau hanya akan lebih kecewa berkali-kali lipat, Budiman.” Kata-kata Kinanti seolah akan berubah menjadi kenyataan. Maka, aku buru-buru memasuki rumah dan mencari sumber desahan Wirda yang terus membesar seraya aku memasuki ruangan. “Ah...mmmhh...sssh....ah...ya, terusssshh...” “Wirda!” Aku lantas tertuju pada pintu kamar kami, lalu kudobrak pintu dan alangkah terkejutnya diriku tatkala melihat seorang lelaki sedang menghimpit tubuh istriku. Wirda tampak telanjang, sementara kedua kakinya mengangkang menerima hunjaman lelaki itu. Yang membuatku tak habis pikir adalah, di saat lelaki yang sudah amat kukenal itu hendak mengusaikan permainan birahi mereka, tangan Wirda malah memeluk lelaki itu lebih erat. “J-Jangan! Ah! Ah! Jangan berhenti! Dokter Riza
Baca selengkapnya

Bab 52: Awal Perpindahan

Wirda Aku tentu saja merasa berbahagia bisa menikahi suami seperti Budiman. Dia pekerja keras. Sangat perhatian padaku, bahkan ketika aku hanya terkena flu ringan sekalipun, Mas Budi lantas menyuruhku minum air yang banyak, minum obat, lalu membelikanku buah-buahan. Ketika aku merasa lemah dan capek dalam mengurus rumah (saat itu rumah di Semarang), Mas Budi lantas menghiburku agar rasa penatku menghilang. Kami pun selalu bercinta dengan sangat romatis. Kami selalu bercumbu setiap pagi datang, dan entah mulai sejak kapan itu menjadi rutinitas. Singkatnya, beberapa tahun setelah menikah, aku masih merasakan kehangatan dari Mas Budi, sama halnya seperti kami masih berpacaran dulu. Mas Budi selalu getol memujiku, begitu juga aku. Ia selalu berlebihan menilai sikap ramahku kepada orang-orang dari kalangan manapun. Ia selalu bilang, status ningratku ini kerap kali memengaruhiku dalam menerapkan tatakrama di kehidupan sehari-hari, dan itu membuat Mas Budi suka. Menonton film di teater
Baca selengkapnya

Bab 53: Keganjilan Pertama

Setelah Mas Budi selesai mengangkut beberapa kotak dari mobil, aku dan Mas Budi mulai menyapu dan mengepel. Kami bercanda sesekali, dan berpelukan sembari melihat ke arah pohon besar itu. “Kenapa pohon itu tidak ditebang saja?” “Entah.. Mungkin karena susah dan tidak ada yang mau menebangnya,” kata Mas Budi sembari memelukku dari belakang, dan kadang tangannya nakal menggerayang ke bukit kembarku. “Iccch.. Jangan, Mas... malu.” “Malu? Oleh siapa? Pohon besar?” Aku terkikik. Kami pun berciuman dan kembali membersihkan rumah. Aku kemudian pergi sesaat untuk sekadar mencari warung, pasalnya kami sudah kelaparan siang itu. Tapi, tak kusangka jarak dari rumah ke warung cukup jauh dengan berjalan kaki. Aku saat itu menyesal tidak meminta Mas Budi membawa sepada. Akhirnya, alih-alih ke warung, saat aku menemukan tukang bakso kami memutuskan untuk memesan bakso saja siang itu. Kami makan dengan romantis di rumah sembari ditunggui oleh mas-mas pedagang bakso. Mau bagaimana lagi, kalaupu
Baca selengkapnya

Bab 54 : Seperti Dihipnotis

Tubuhku seperti tertarik magnet ke arah jendela. Aku berdiri di depan jendela yang gordennya kini tampak bergelebaran. Pandanganku kosong menatap sesuatu yang ganjil di dekat pohon besar itu. Seolah di sana ada bayangan hitam besar yang kemudian mengecil lalu berubah menjadi sesosok manusia. Manusia yang belum bisa kulihat wajahnya itu tampak mendekat. Berjalan pelan saja ia, ke arah rumah kami, hingga jelaslah wajahnya yang ternyata tampak tampan itu. Jauh, jauh, jauh lebih tampan dari Mas Budi. Aku merinding mengakuinya, tapi itulah yang kulihat. Wajahnya seperti seorang indo, entah keturunan Belanda atau Inggris. Pasalnya, wajahnya putih bersih, rambutnya hitam agak kecokelatan. Matanya tampak kehijauan, dan entah kenapa pandangannya dari jauh begitu membiusku. Membuatku bergetar menatap ketampanannya. Terlebih tubuhnya yang atletis itu semakin menyuratkan kegagahan lelaki asing ini. “Sayang... hey, ayo kita tidur lagi. Besok pagi kalau kita nggak tidur kita nggak bisa bersihi
Baca selengkapnya

Bab 55: Lelaki Bernama Reynaldi

"Wirda... keluarlah, sayang... keluarlah... aku ingin mengenalmu lebih dekat,” kata suara itu seakan menggema di kamar. Aku melihat ke arah suamiku yang tampak masih pulas tertidur. Ingin sekali aku membangunkannya, agar mengawaniku yang merasakan keganjilan ini. Tapi, semakin lama suara itu menguasaiku, timbul getar aneh dalam tubuhku yang membuatku hanya ingin sendiri pergi menghampiri lelaki itu. Terlebih, yang kuhadapi kini adalah lelaki asing yang pastinya bila Mas Budi tahu akan membuatnya merasa cemburu. Kami pernah berada dalam krisis hubungan di saat aku yang memang kerap ramah kepada siapapun sempat disalah artikan oleh Mas Budi ketika ada salah satu kawan lama sekolahku sering bertemu denganku. Urusannya saat itu hanyalah membantu kawan lamaku itu agar ia bisa memberikan desain pakaian yang baik saat mereka hendak menikah. (Kebetulan saat itu aku masih cukup aktif mendesain gaun pernikahan). Tapi, masalah itu tidak sampai berlarut-larut. Setelah kami diundang dalam pesta
Baca selengkapnya

Bab 56: Ketampanannya Mempengaruhiku

Aku berjalan dan semakin lama, pandangan di arah depanku yang semula adalah pohon beringin besar tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah perumahan aneh karena di setiap rumah dalam perumahan itu selalu muncul lelaki-lelaki tampan yang seakan menyambutku dan lelaki bernama Reynaldi tersebut. Reynaldi tampak melambaikan tangan kepada mereka sembari merengkuh tanganku, menggandengnya dengan erat, dan perlahan kurasakan aliran hangat merambat ke telapak tanganku. Rasanya sungguh menenangkan. Aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Ini benar-benar berbeda dari apa yang kurasakan saat aku memegang tangan Mas Budi. Dalam hatiku, aku sungguh celaka. Bisa-bisanya sekarang aku menikmati kenyamanan bersama lelaki lain, yang sungguh tak pernah kurasakan dalam diriku sebelumnya. Ya, aku sudah berkomitmen untuk menjadi istri yang setia, dan sebelum ini, meski ada beberapa pria yang datang menggodaku, aku selalu tak pernah menghiraukannya. Bagiku itu semua hanyalah cobaan. Tapi, saat ini, co
Baca selengkapnya

Bab 57: Lelaki yang Telah Ditakdirkan

“Wirda...” kata lelaki itu kembali membelai kedua pipiku dengan amat lembut. Matanya benar-benar membiusku, membuat kedua mataku makin sayu, dan gejolak birahi segera menguasaiku. Sungguh sial, batinku. Seharusnya aku tidak boleh merasakan rasa seperti ini selain kepada suamiku. Tapi, gejolaknya makin lama makin memburu. Napasku sudah mulai terengah-engah, saat tangannya turun ke leherku, lalu ke dadaku, membuka kancin-kancing piyamaku. “J-Jangan... aku sudah punya suami... Reynaldi...” “Kau adalah kekasihku sejak lama, Wirda... aku sudah lama ingin sekali membahagiakanmu.” “Aku sudah bahagia bersama Mas Budi.” Namun, lelaki tampan ini malah menggeleng. “Tidak... kau tidak bahagia bersamanya. Tanyalah hatimu... kau selama ini merasa terkekang.” “Tidak, Rey...” “Iya... kau selalu mengelaknya karena kau merasa tugas seorang istri adalah patuh kepada suamimu. Tidak kurang tidak lebih. Tapi, itu salah. Kenapa? Karena kau tidak bisa jujur pada hatimu, Wirda. Kau sebenarnya ingin mem
Baca selengkapnya

Bab 58: Mulai Hilang Akal

“Oooh... J-jangan...” aku berkali menolak, tapi tubuhku tidak bisa dikendalikan. Apa pula ini. Rasa ini benar-benar mengacaukan akal sehatku. Aku ingin menyingkir, tapi kedua bokongku malah menyambut sesuatu yang panjang dan keras itu. Malah, dengan binalnya aku menggoyangkan pinggulku, hanya demi merasakan benda keras itu menggesek bagian terlarangku. Kenapa ini? Kenapa aku sangat menginginkannya? Ketika Mas Budi melakukan hal yang serupa seperti ini, bahkan aku tidak mau. Seolah aku sudah lelah dan tidak bisa melakukan hubungan suami-istri. Tapi, kenapa dengan lelaki tampan ini? Kenapa bersamanya tubuhku merasa berbeda. Merasa aliran darahku mencepat dan kepalaku yang semula terasa berat kini merasa meringan, seolah pikiranku dibawa terbang melayang. Padahal ini hanyalah gesekan. “Mmmh...” “Wirda... kau kekasihku... kekasihku sejak awal, sayang... aku sebenarnya tidak rela kau menikah dengan Budiman. Aku sungguh cemburu. Maafkan aku, tapi aku telah memendam perasaanku sejak lama
Baca selengkapnya

Bab 59: Rasa Nikmat Akan Gendam

“Akan kuwujudkan,” kata Reynaldi. Suaranya benar-benar telah membuatku terpedaya. Aku merasa lemas seusai mendengar nada berat dan bercampur berahi itu berkumpul di kedua telingaku. Sebentar, lelaki itu memerosotkan celanannya pula, dan mataku nyaris membelalak. Apa benar penglihatanku. Ada rasa takut sekaligus berahi ketika melihat benda pusakanya yang menggeliat dari dalam sarangnya. Besar. Panjang. Bergerinjal. Menantangku dengan gagah dan kekar. Sungguh berbeda sekali dengan kepunyaan Mas Budi yang standar. Sebenarnya, aku sangat ingin sekali menyingkirkan pandangan itu dari benda tumpul yang semakin lama terasa memesona; aku pun ingin menyingkirkan perbandingan yang ada dalam kepalaku; tapi semua itu sia-sia. Bahkan, tanpa kehendakku, mulutku menganga, dan mengeluarkan desahan kecil yang membuat napasku semakin memburu. Kupikir, pikiranku sudah rusak oleh pemandangan gila ini. Tanpa sadar, tanganku lantas merengkuh benda keras seperti pedang tumpul itu. Membelainya naik tur
Baca selengkapnya

Bab 60: Kegalauan yang Asing

Aku dipeluk erat oleh Mas Budi. Ia terus menyadarkanku di saat aku sedang dalam masa transisi antara merasa janggal dengan pengalaman gaibku dengan dunia nyata yang telah datang kembali menyelimuti tubuhku. “Mas Budi...” gumamku lemah. Ia tampak telah merapikan pakaianku lagi, setelah dengan gilanya aku melepaskannya hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat tersebut. Namun, sungguh. Itu semua bukan mimpi biasa. Ini semua terasa nyata. Seluruh indraku bahkan bisa merasakannya langsung setiap sentuhan dan belaian yang melambungkan alam bawah sadarku. Juga akal sehatku. “Ayo... kita kembali ke rumah... ayo,” kata Mas Budi terus merapikan pakaianku, lalu menggendongku untuk kembali ke rumah. Dari sana, kurasakan perbedaannya. Mas Budi terlihat susah payah menggendongku, dan aku sama sekali tidak merasakan kenyamanan yang sama dengan yang kurasakan saat digendong bagai seorang putri oleh Reynaldi. Aku menggeleng sesaat. Kupikir, itu hanyalah mimpi sesaat. Aku bermimpi berjalan, dan sec
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
15
DMCA.com Protection Status