Tubuhku seperti tertarik magnet ke arah jendela. Aku berdiri di depan jendela yang gordennya kini tampak bergelebaran. Pandanganku kosong menatap sesuatu yang ganjil di dekat pohon besar itu. Seolah di sana ada bayangan hitam besar yang kemudian mengecil lalu berubah menjadi sesosok manusia. Manusia yang belum bisa kulihat wajahnya itu tampak mendekat. Berjalan pelan saja ia, ke arah rumah kami, hingga jelaslah wajahnya yang ternyata tampak tampan itu. Jauh, jauh, jauh lebih tampan dari Mas Budi. Aku merinding mengakuinya, tapi itulah yang kulihat. Wajahnya seperti seorang indo, entah keturunan Belanda atau Inggris. Pasalnya, wajahnya putih bersih, rambutnya hitam agak kecokelatan. Matanya tampak kehijauan, dan entah kenapa pandangannya dari jauh begitu membiusku. Membuatku bergetar menatap ketampanannya. Terlebih tubuhnya yang atletis itu semakin menyuratkan kegagahan lelaki asing ini. “Sayang... hey, ayo kita tidur lagi. Besok pagi kalau kita nggak tidur kita nggak bisa bersihi
"Wirda... keluarlah, sayang... keluarlah... aku ingin mengenalmu lebih dekat,” kata suara itu seakan menggema di kamar. Aku melihat ke arah suamiku yang tampak masih pulas tertidur. Ingin sekali aku membangunkannya, agar mengawaniku yang merasakan keganjilan ini. Tapi, semakin lama suara itu menguasaiku, timbul getar aneh dalam tubuhku yang membuatku hanya ingin sendiri pergi menghampiri lelaki itu. Terlebih, yang kuhadapi kini adalah lelaki asing yang pastinya bila Mas Budi tahu akan membuatnya merasa cemburu. Kami pernah berada dalam krisis hubungan di saat aku yang memang kerap ramah kepada siapapun sempat disalah artikan oleh Mas Budi ketika ada salah satu kawan lama sekolahku sering bertemu denganku. Urusannya saat itu hanyalah membantu kawan lamaku itu agar ia bisa memberikan desain pakaian yang baik saat mereka hendak menikah. (Kebetulan saat itu aku masih cukup aktif mendesain gaun pernikahan). Tapi, masalah itu tidak sampai berlarut-larut. Setelah kami diundang dalam pesta
Aku berjalan dan semakin lama, pandangan di arah depanku yang semula adalah pohon beringin besar tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah perumahan aneh karena di setiap rumah dalam perumahan itu selalu muncul lelaki-lelaki tampan yang seakan menyambutku dan lelaki bernama Reynaldi tersebut. Reynaldi tampak melambaikan tangan kepada mereka sembari merengkuh tanganku, menggandengnya dengan erat, dan perlahan kurasakan aliran hangat merambat ke telapak tanganku. Rasanya sungguh menenangkan. Aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Ini benar-benar berbeda dari apa yang kurasakan saat aku memegang tangan Mas Budi. Dalam hatiku, aku sungguh celaka. Bisa-bisanya sekarang aku menikmati kenyamanan bersama lelaki lain, yang sungguh tak pernah kurasakan dalam diriku sebelumnya. Ya, aku sudah berkomitmen untuk menjadi istri yang setia, dan sebelum ini, meski ada beberapa pria yang datang menggodaku, aku selalu tak pernah menghiraukannya. Bagiku itu semua hanyalah cobaan. Tapi, saat ini, co
“Wirda...” kata lelaki itu kembali membelai kedua pipiku dengan amat lembut. Matanya benar-benar membiusku, membuat kedua mataku makin sayu, dan gejolak birahi segera menguasaiku. Sungguh sial, batinku. Seharusnya aku tidak boleh merasakan rasa seperti ini selain kepada suamiku. Tapi, gejolaknya makin lama makin memburu. Napasku sudah mulai terengah-engah, saat tangannya turun ke leherku, lalu ke dadaku, membuka kancin-kancing piyamaku. “J-Jangan... aku sudah punya suami... Reynaldi...” “Kau adalah kekasihku sejak lama, Wirda... aku sudah lama ingin sekali membahagiakanmu.” “Aku sudah bahagia bersama Mas Budi.” Namun, lelaki tampan ini malah menggeleng. “Tidak... kau tidak bahagia bersamanya. Tanyalah hatimu... kau selama ini merasa terkekang.” “Tidak, Rey...” “Iya... kau selalu mengelaknya karena kau merasa tugas seorang istri adalah patuh kepada suamimu. Tidak kurang tidak lebih. Tapi, itu salah. Kenapa? Karena kau tidak bisa jujur pada hatimu, Wirda. Kau sebenarnya ingin mem
“Oooh... J-jangan...” aku berkali menolak, tapi tubuhku tidak bisa dikendalikan. Apa pula ini. Rasa ini benar-benar mengacaukan akal sehatku. Aku ingin menyingkir, tapi kedua bokongku malah menyambut sesuatu yang panjang dan keras itu. Malah, dengan binalnya aku menggoyangkan pinggulku, hanya demi merasakan benda keras itu menggesek bagian terlarangku. Kenapa ini? Kenapa aku sangat menginginkannya? Ketika Mas Budi melakukan hal yang serupa seperti ini, bahkan aku tidak mau. Seolah aku sudah lelah dan tidak bisa melakukan hubungan suami-istri. Tapi, kenapa dengan lelaki tampan ini? Kenapa bersamanya tubuhku merasa berbeda. Merasa aliran darahku mencepat dan kepalaku yang semula terasa berat kini merasa meringan, seolah pikiranku dibawa terbang melayang. Padahal ini hanyalah gesekan. “Mmmh...” “Wirda... kau kekasihku... kekasihku sejak awal, sayang... aku sebenarnya tidak rela kau menikah dengan Budiman. Aku sungguh cemburu. Maafkan aku, tapi aku telah memendam perasaanku sejak lama
“Akan kuwujudkan,” kata Reynaldi. Suaranya benar-benar telah membuatku terpedaya. Aku merasa lemas seusai mendengar nada berat dan bercampur berahi itu berkumpul di kedua telingaku. Sebentar, lelaki itu memerosotkan celanannya pula, dan mataku nyaris membelalak. Apa benar penglihatanku. Ada rasa takut sekaligus berahi ketika melihat benda pusakanya yang menggeliat dari dalam sarangnya. Besar. Panjang. Bergerinjal. Menantangku dengan gagah dan kekar. Sungguh berbeda sekali dengan kepunyaan Mas Budi yang standar. Sebenarnya, aku sangat ingin sekali menyingkirkan pandangan itu dari benda tumpul yang semakin lama terasa memesona; aku pun ingin menyingkirkan perbandingan yang ada dalam kepalaku; tapi semua itu sia-sia. Bahkan, tanpa kehendakku, mulutku menganga, dan mengeluarkan desahan kecil yang membuat napasku semakin memburu. Kupikir, pikiranku sudah rusak oleh pemandangan gila ini. Tanpa sadar, tanganku lantas merengkuh benda keras seperti pedang tumpul itu. Membelainya naik tur
Aku dipeluk erat oleh Mas Budi. Ia terus menyadarkanku di saat aku sedang dalam masa transisi antara merasa janggal dengan pengalaman gaibku dengan dunia nyata yang telah datang kembali menyelimuti tubuhku. “Mas Budi...” gumamku lemah. Ia tampak telah merapikan pakaianku lagi, setelah dengan gilanya aku melepaskannya hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat tersebut. Namun, sungguh. Itu semua bukan mimpi biasa. Ini semua terasa nyata. Seluruh indraku bahkan bisa merasakannya langsung setiap sentuhan dan belaian yang melambungkan alam bawah sadarku. Juga akal sehatku. “Ayo... kita kembali ke rumah... ayo,” kata Mas Budi terus merapikan pakaianku, lalu menggendongku untuk kembali ke rumah. Dari sana, kurasakan perbedaannya. Mas Budi terlihat susah payah menggendongku, dan aku sama sekali tidak merasakan kenyamanan yang sama dengan yang kurasakan saat digendong bagai seorang putri oleh Reynaldi. Aku menggeleng sesaat. Kupikir, itu hanyalah mimpi sesaat. Aku bermimpi berjalan, dan sec
Apakah dia nyata? Apakah dia ilusi? Batinku terus bergemuruh tiap harinya. “Bilang padaku kalau ada sesuatu yang mencemaskanmu...” kata Mas Budi di atas meja makan. Saat itu, pukul enam sore. Sore itu ia tampak tidak mengambil lembur, dan bahkan dalam keadaan seperti ini, aku jauh lebih merasa senang bila dia sebaiknya kerja di luar saja. ”Aku nggak apa-apa, Mas,” kataku bernada agak ketus. Dan tentu saja, aku berdusta. “Lalu, kenapa? Apa kamu sakit?” kata suamiku mencoba perhatian sembari mengecek suhu tubuhku. Namun, saat ia mencoba meletakkan tangan ceking itu ke keningku, tiba-tiba saja aku merasa risih. Entah kenapa. Kadang, aku seperti merasa takut kalau ada seseorang yang cemburu bila Mas Budi memerhatikanku. Dan saat itu, aku segera menepis tangannya. “Kenapa kamu jutek begitu padaku?” “Sudah deh, Mas. Jangan berlebihan.” “Aku nggak berlebihan, tapi mulai kemarin sampai hari berikutnya... sampai sekarang... kamu aneh! Pertama, kamu bangun siang sekali. Saat aku telepo
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K