Apakah dia nyata? Apakah dia ilusi? Batinku terus bergemuruh tiap harinya. “Bilang padaku kalau ada sesuatu yang mencemaskanmu...” kata Mas Budi di atas meja makan. Saat itu, pukul enam sore. Sore itu ia tampak tidak mengambil lembur, dan bahkan dalam keadaan seperti ini, aku jauh lebih merasa senang bila dia sebaiknya kerja di luar saja. ”Aku nggak apa-apa, Mas,” kataku bernada agak ketus. Dan tentu saja, aku berdusta. “Lalu, kenapa? Apa kamu sakit?” kata suamiku mencoba perhatian sembari mengecek suhu tubuhku. Namun, saat ia mencoba meletakkan tangan ceking itu ke keningku, tiba-tiba saja aku merasa risih. Entah kenapa. Kadang, aku seperti merasa takut kalau ada seseorang yang cemburu bila Mas Budi memerhatikanku. Dan saat itu, aku segera menepis tangannya. “Kenapa kamu jutek begitu padaku?” “Sudah deh, Mas. Jangan berlebihan.” “Aku nggak berlebihan, tapi mulai kemarin sampai hari berikutnya... sampai sekarang... kamu aneh! Pertama, kamu bangun siang sekali. Saat aku telepo
Read more