Sebentar, Reynaldi tersenyum melihatku. "Aku bisa membaca pikiranmu." Mendengarnya saat itu begitu percaya diri berbicara seperti itu, terus terang membuatku hanyut dan kubiarkan tangan dan bibirnya menancap di atas tubuhku yang perlahan berubah menjadi seperti yang kuinginkan. Pantas saja, Mas Budi selalu menatapku dengan heran dan berkata, "entah kenapa kau tambah cantik saja, " katanya. Aku tahu dia berniat ingin bercinta denganku, yang mana memanglah wajar, karena dirinya adalah suamiku. Tapi, tubuhku menolak. Tangan-tangan Mas Budi, kadang kurasa menjijikkan berada di atas tubuhku. Sungguh... aku sudah terkutuk. Aku tidak bisa merasakan ketulusan Mas Budi lagi. Yang kudambakan kini hanyalah keberadaan Reynaldi. Lelaki aneh yang tiba-tiba sudah menjadi bagian dari hidupku. Aku sendiri tak begitu yakin, bila aku dan dia sudah dijodohkan sejak lama. Aku bahkan sempat pula berpikir bahwa semua yang dikatakannya hanyalah akal-akalan lelaki tampan ini untuk memikatku. Untuk merelak
Setelah mimpi indah dan persenggamaan dengan Reynaldi mewarnai hari-hariku, hingga aku jadi ketagihan, Mas Budi mulai bersikap menahan diri. Meski kami masih berdebat beberapa kali, Mas Budi terlihat memerangkap emosinya. Ia berusaha membuat dirinya tidak terpancing oleh rentetan keketusanku yang membuatnya kadang naik pitam. Salah satu hal yang membuatnya kesal adalah, Mas Budi selalu menganggap aku melupakan suatu kejadian secara cepat. Ia menuduhku telah melakukan hal-hal yang sama sekali tidak kulakukan, atau aku sama sekali tidak sadar telah melakukannya. “Kau selalu melupakan segala sesuatunya dengan cepat! Dan kau tidak sadar bahwa kau baru saja...” “Cukup, Mas...” kataku sembari merasakan kepalaku yang penat dan panas. “Akus sudah lelah berdebat terus denganmu. Sekarang aku ingin tidur. Sebaiknya, kau pun menyimpan energimu itu untuk bekerja besok daripada berdebat denganku,” kataku sembari menutup pintu kamar dengan keras. Aku tak habis pikir. Dan tak tahu lagi, mana yang
Setelah aku berhasil memelorotkan celananya. Tampaklah batang bergerinjal itu berdiri tegak bak menara. Panjang... menantang wajahku. Mataku hampir melotot melihat benda itu lagi di hadapanku. Ya, benda ini telah melenakanku. Telah membuat mimpiku selalu indah setiap malam. Meski ular ini kerap menjelema ular sungguhan dan dalam mimpiku selalu melata, dan membelit kakiku sebelum masuk ke liang senggamaku, aku tak merasa itu sesuatu yang menakutkan. Yang ada aku selalu menantikannya. “Wirda... kau memang telah berubah.” “Ini semua karenamu.” “Tidak, sayang. Ini bukan karenaku. Tapi, karena dirimu sendiri.” “Kenapa?” “Karena kau baru sadar, bahwa inilah dirimu sebenarnya. Kau baru menyadari dirimu sendiri, setelah sekian lamanya kau tidak pernah menyadarinya.” “Oooh... besar sekali punyamu. Saat pertama kali aku melihatnya... jujur saja aku ketakutan...” “Kenapa? Ini sudah menjadi milikmu,” kata lelaki itu bersuara lembut, seraya membelai pipi dan rambutku, seperti orangtua yang
Sore itu, Mas Budi belum pulang. Aku seperti biasa, selalu berada di ruang menonton dalam keadaan gelap-gelapan. Tidak sendiri, kerap Reynaldi selalu menemani, ataupun beberapa anak buahnya kerap terdengar terkekeh-kekeh sembari bermain catur di halaman samping rumah. Kadang juga, aku kerap mendengar anak-anak tak kasat mata berlarian ke sana-ke mari. Ya, hanya suara saja yang kudengar. Kadang, kulihat seprai sudah berantakan, karena sebelumnya kudengar anak-anak gaib itu meloncat-loncat di sana. Mungkin mereka menganggap tempatku kini adalah taman bermain. Aku begitu malas, bangun dari sofaku di ruang tengah sebelum malam menjelang. Ya, semua pekerjaan rumah telah kutinggalkan, hingga hampir magrib datang, tiba-tiba saja seluruh anak buah Reynaldi itu berdiri secara berjajar di ruang tamu. Suara anak kecil yang semula memenuhi ruangan, tak lagi ada. Sepi. “Kenapa?” tanyaku sembari mengernyitkan kening. Aku melihat mereka sembari bersender di pintu yang terhubung antara ruang tam
“Jangan terlalu terlibat dengan perasaannya, Putri,” katanya, sembari terus menjagaku dari mahluk-mahluk yang menjadi rakyat dari kerjaaan yang dipimpin oleh bangsa Gandarawa. “Namaku bukan putri. Namaku Wirda Kenangasari,” gumamku. “Kami mesti memanggilmu Tuan Putri, karena engkau sudah ditasbihkan sejak lama oleh para leluhur bangsa Gandarawa. Leluhurmu merawat leluhur kami meski kami hanyalah mahluk perewangan. Karena leluhurmu amat baik terhadap bangsa kami, bahkan sampai memberikan lahan yang amat luas supaya kami bisa membangun kerajaan kami setelah sebelumnya bangsa kami hampir punah karena pembangunan manusia, leluhur kami bersumpah bahwa keturunan leluhurmu akan selalu menjadi junjungan kami. Dan kau sudah direncanakan berjodoh dengan Tuan Raja.” “Reynaldi.” “Itu adalah nama yang dikenal oleh bangsa manusia. Nama aslinya adalah, Gandarakala Jagadtala.” “Nama yang asing.” “Ya... itu adalah nama-nama yang digunakan oleh para leluhur kami. Nama para bangsawan bangsa Gandar
Namun, karena pengkhaianatan tersebut tidak bisa dimaklumi begitu saja, maka istri dari suamimu harus diserahkan kepada kami. Sudah sewajarnya seperti itu. Akan tetapi, yang membuat kami tidak menduganya adalah, istri suamimu adalah Tuan Putri. Yang mana, memang sudah seharusnya menjadi ratu di kerajaan kami. Seperti yang sudah ditasbihkan sejak lama,” jelas Gantara tampak menjelaskan dengan penuh keramahan dan sopan santun. Aku kembali memalingkan pandanganku ke arah hantu-hantu itu. Hingga malam menjelang, mereka sama sekali tidak menyingkir. Dan aku masih tetap duduk di serambi dengan pengawalan ketat. Aku menonton mahluk-mahluk itu terhuyung-huyung. Mondar-mandir, lalu membentuk lingkaran. Mereka berjalan perlahan dalam pusaran pelan yang sabar. “Apa yang sebenarnya kita tunggu?” tanyaku masih penasaran. Kini, aku sudah mengenakan pakaian terbaikku. Sebuah gaun pesta berwarna putih dengan belahan dada rendah, yang semakin menunjukkan keseksian tubuhku. Aku tidak pernah berani m
Bola-bola api dengan ragam warna itu terus berkitaran hingga tiba akhirnya sebuah portal tampak di hadapanku. Aku melihat cahaya biru memancar deras. Sungguh tak kuduga, bahwa ini semua benar-benar nyata di hadapanku. Saat itu juga, aku langsung beringsut dari dudukku. Bersama itu pula, aku mencemaskan sesuatu hal yang lain. “Suamiku akan pulang,” kataku. “Tenang saja, Tuan Putri. Suamimu sedang berada dalam kemacetan. Kami sengaja menahannya di jalanan. Entah dengan situasi mobilmu yang melambat atau halangan-halangan lainnya.” “Begitu?” aku merasakan jantungku berdebar cepat. Semakin lama kulihat portal itu berpusaran di hadapanku, semakin itu pula, aku merasakan menggigil. Seolah demam sedang menyerangku. Detik itu juga kulihat prajurit gagah lain keluar dari portal dengan pakaian serba berbalut emas. Juga lengkap dengan senjata tombak emas dan pedang-pedang mereka yang berkilauan. Tubuhku makin menggigil melihat pemandangan sungsang ini. Tak lama dari itu, para dayang muncul.
“Makanlah, kekasih...” kata Reynaldi terdengar teduh dan menyejukkan. Sekaligus, semilir angin yang didatangkannya membuatku semakin resah dalam kungkungan berahi yang sekian lama makin memuncak, dan kupikir, aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Keliaranku harus segera dituntaskan. Bila tidak... aku hanya akan menjadi mahluk paling gila yang ada di sini. “Reynaldi...” Tanpa sadar, aku segera membuka mulutku dengan tatapan sayu pada lelaki itu, yang kupikir aromanya semakin membuatku mabuk akan gairah. Tak lama, Reynaldi menyuapiku sepotong daging mentah yang semula sudah kucicipi sedikit. “Enak, kan?” “Yaaaah.... enak... sssh...” Aku tak mengerti. Apakah ini benar-benar rasa daging mentah atau bukan, yang pasti ketika aku memakannya daging itu terasa tidak mentah sama sekali. Malah kurasakan seperti daging panggang yang baru saja diangkat dari pemanggangan. Mungkin, daging-daging ini baru saja dipanggang dengan menggunakan api neraka yang dibawanya. Mungkin. “Kita pergi, kek
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K